“Eh, kemarin aku nemu akun Twitter kamu, rame banget! Itu akunmu, kan?” Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba salah satu temanku mengatakan bahwa dia menemukan akun media sosialku. Hal yang aku takutkan dan hindari, aku tidak mau temanku menemukan akun itu. Aku tidak pernah membahas dan memberitahu teman-temanku perihal akun itu. Akun itu seharusnya tidak diketahui oleh teman-temanku.
Kejadian menyedihkan menimpaku ketika sedang bersantai di ruang kelas. Salah satu temanku tiba-tiba mengatakan dia menemukan akun Twitter milikku. Bagai tersambar petir di siang hari, aku kaget bukan kepalang.
Aku memang memiliki dua akun Twitter, satu menggunakan nama asli untuk berinteraksi dengan orang-orang yang aku kenal dan satu lagi menggunakan nama lain. Akun kedua itu adalah akun yang lebih sering aku gunakan untuk menyelami aplikasi biru. Bisa dibilang akun itu adalah buku harianku, sehingga aku tidak mau seorang pun yang mengenalku tahu.
Malangnya, teman sekelasku menemukan akun itu. Ck, nanti semua ocehanku bisa diketahui.
Segera aku cek aplikasi burung biru itu. Aku hapus semua cuitan yang sekiranya menggambarkan diriku, aku ganti nama julukan, foto profil, keterangan, dan semua yang ada pada akunku. Aku juga menghapus beberapa pengikut yang sekiranya mencurigakan.
Karena kejadian itu, aku gembok akunku hampir setengah bulan. Selama itu pula aku menahan diri untuk tidak bercuit di Twitter. Merepotkan.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dan neko-neko di akunku, tetapi hampir semua keluh-kesah dan kejadian sehari-hari aku tuangkan di sana. Beberapa cuitan terbaru milikku isinya curhat mengenai seseorang yang aku taksir baru-baru ini.
Ehem, sepertinya terakhir kali aku bercuit dengan heboh saat sekilas melihatnya mengenakan kaos putih ketika kami berpapasan. Malangnya, lelaki lucu yang membuatku gemas setengah mati itu satu kelas denganku.
Karena alasan itu, ketika salah satu teman kelasku menemukan akunku, rasanya aku ingin menenggelamkan diri.
Fenomena mengenai akun Twitter kedua ini sudah banyak aku temui pada beberapa temanku, utamanya remaja. Akun mereka tidak mengandung informasi data diri asli mereka. Katanya, “Orang real life dilarang mendekat.” Takut tidak bisa bebas berekspresi, katanya.
Bagiku tidak ada yang salah dengan tidak mencantumkan identitas asli pada akun sosial media apabila memang tidak mau akun tersebut diketahui oleh orang-orang yang dikenal dan tidak bisa leluasa bermedia sosial.
Tetapi, kita juga tidak bisa seenaknya menggunakan identitas orang lain. Jangan mentang-mentang tidak mencantumkan identitas asli kemudian menggunakan identitas orang lain dengan seenaknya.
Kita perlu bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan terlalu membagikan informasi pribadi yang bisa mengundang kejahatan. Era saat ini banyak sekali ditemukan kejahatan yang bermula dari media sosial seiring perkembangan teknologi yang cepat.
Kita perlu waspada terhadap informasi yang kita sebarluaskan dan kita baca dari media sosial karena tidak semua yang kita baca dari media sosial itu benar.
Setelah kejadian penemuan akun oleh temanku, aku menjadi lebih berhati-hati saat akan bercuit di Twitter. Aku lebih selektif mengenai siapa yang aku ikuti dan siapa yang mengikuti akunku.
Aku masih tetap menjadikan Twitter sebagai buku harianku, tetapi aku lebih membatasi diri agar tidak terlalu banyak menceritakan tentang hidupku di media sosial demi mengantisipasi hal-hal buruk.
Aku lebih nyaman menggunakan Twitter daripada media sosial yang lain karena bagiku Twitter lebih cepat menyebarkan berita terbaru dan banyak hal-hal aneh serta lucu aku temukan di Twitter.
Omong-omong, berandaku tidak lagi ada cuitan tentang seseorang yang kusukai. Iya, bisa ditebak, dia sudah punya pacar. Biasalah, nasib remaja yang bagiannya hanya mendapat peran sebatas mengagumi. Tetapi, tidak apa-apa. Bukan masalah besar, namanya juga hidup.
Kalau kata Tsana, “Banyak hal yang harus di-gapapa-in.”
Lagipula, jika aku terus mengaguminya juga tidak akan mendatangkan uang untuk aku belikan makanan yang enak-enak. Dengan kata lain, lanjut mengaguminya tidak akan membuatku kenyang.
Akhirnya, beranda media sosial itu kembali berisi cuitan tentang kehidupan sehari-hariku. Tidak lupa juga masih berseliweran cuitan orang dengan balasan bijak, aneh, lucu, dan tidak masuk akal khas warga Twitter.
Biodata Penulis:
Dwi Kurniawati lahir di Klaten dan menetap di Surakarta. Jatuh cinta dengan novel dan suka mengekspresikan perasaan dengan tulisan. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Sebelas Maret.