Puisi: Saudara-Saudara Sebangsaku (Karya Kahlil Gibran)

Puisi "Saudara-Saudara Sebangsaku" karya Kahlil Gibran menyentuh tema-tema seperti persaudaraan, kebangsaan, kepemimpinan, dan ....

Saudara-Saudara Sebangsaku


Apakah yang kaucari, Saudaraku setumpah darah?
Inginkah kau agar kubangunkan bagimu
Istana megah gemerlapan, dihiasi
Kata-kata hampa bernada palsu,
Atau kuil-kuil pemujaan beratap khayalan dan semu
Atau kausuruh aku menghancurkan segala
Yang telah dibangun oleh para zalim dan penipu?
Haruskah tanaman si Munafik, dan si culas
Kucabuti semuanya dan kutebas
Dengan tanganku ini? Sebutlah keinginanmu
Yang tidak waras!

Apakah yang harus kulakukan untukmu
Saudara-saudara sebangsaku? Perlukah aku mendengkur,
Bagai anak kucing tidur, demi kepuasanmu?
Ataukah aku harus meraung bagai singa.
Demi kepuasanku sendiri? Aku
Telah menyanyi untukmu, tetapi kau
Tidak juga menari, aku 'lah menangis di depanmu
Tetapi kau tidak mau mengerti.
Haruskah aku menangis sambil menyanyi?

Jiwamu pedih menderita
Kelaparan ilmu, sedangkan buahnya
Berserakan, lebih banyak dari
Bebatuan di lembah ngarai.

Hatimu kering, layu kehausan,
Sedangkan sumber-sumber kehidupan
Mengairi keliling rumahmu.
Mengapa tak dari sana kaulepaskan dahagamu?
Laut pasang dan surut
Bulan pun purnama dan menciut
Dan Abad-abad mengarungi musim
Panas dan dinginnya.
Silih berganti segala yang ada,
Bagai bayangan-bayangan dewa
Yang belum lahir, melayang-layang terbang
Antara surya dan mayapada.
Tetapi Kebenaran tak kenal perubahan
Tiada pula bakal surut menghilang;
Lalu mengapa kau berupaya merusak wujudnya?

Telah kuseru kau dalam keheningan
Malam tenang, 'tuk memandang kegemilangan
Bulan terang, serta keagungan
Hamparan cemerlang bintang-bintang.
Tetapi kau tersentak bangun dari mimpimu,
Meraih pedang dalam ketakutan,
Sambil berteriak: “Di mana musuh?
Harus kita bunuh, sebelum dia menyerang kita!”
Di kala pagi tiba, dan aku berseru lagi kepadamu,
Karena musuhmu menghadang di ambang pintu,
Kau tidak bangun, sedang tercekam mimpi ketakutan
Dalam pergulatan sengit mati-matian.
Dengan iring-iringan hantu kelam
Bayangan mengancam.

Dan t'lah kukatakan kepadamu: “Mari
Kita daki puncak gunung ini
Dan bersama kita nikmati
Keindahan jagad raya.”
Kau telah menjawab: “Di dasar lembah ini
Telah hidup kakek-moyang kami
Dalam naungan keteduhannya mereka mati,
Dikuburkan dalam gua-gua.
Betapa mungkin kami sampai hati
Meninggalkan tempat ini, demi tanah rantau
Yang tidak pernah mereka jangkau?”
Dan kukatakan lagi kepadamu: “Mari
Kita menuju dataran permai
Yang mempersembahkan limpahan hasil bumi
Kepada hariban bahar.”
Dan kau telah menjawabku dengan malu-malu
“Gerung geram dari rongga lautan
Akan menakutkan roh-roh kami
Dan kedahsyatan kedalaman
Bakal membuat kami mati kaku.”

Aku menyintaimu, Saudara sebangsaku
Tetapi cintaku padamu terasa pedih dan pilu
Tiada pula gunanya bagimu.
Sekarang aku membencimu
Dan kebencian itu laksana banjir bah,
Yang menyapu bersih semua ranting kering
Dan rumah-rumah rapuh, sampai rubuh.

Aku iba pada kelemahanmu, Saudara
Sebangsaku, tetapi bekas-kasihku
Hanya menambah kerentaanmu
Dan meningkatkan ketakpedulianmu
Yang gersang bagi Kehidupan
Dan sekarang kusaksikan kerapuhanmu
Yang dibenci oleh jiwaku
Dan sangat dia takuti.

Telah kutangisi penghinaan yang kauderita,
Serta ketaklukan yang bisu kausangga;
Airmataku t'lah bercucuran
Dan mengental membatu kristal,
Tetapi sia-sia telah kucoba,
Membakar musnah kelemahanmu
Yang bertahan; tetapi ini telah menguakan
Selubung penutup mataku.

Air mataku tak pernah menyentuh
Hatiku yang tercemar bisa ampuh,
Namun telah dapat membasuh
Kegelapan jelaga dari dalam sanubariku,
Sekarang aku memperolokkan penderitaanmu
Sebab ketawa itu gelegar halilintar
Yang mendahului badai taufan;
Tidak pernah tiba sesudahnya.

Apa yang kauinginkan Saudaraku setumpah darahku?
Maukah kau kutunjuki
Bayangan penampilan di wajah air kali?
Mari ke mari dan lihat sendiri
Betapa keburukanmu membuat ngeri!

Pandang dan renungkan! Ketakutan 'lah mengecat
Rambutmu menjadi sepucat
Abu, yang mengendap di dasar tungku,
Dan kegetiran hidup 'lah mengubah
Matamu menjadi tanpa gairah,
Tinggal cekungan hitam yang hampir padam,
Sedangkan hatimu yang pengecut
Menyentuh pipimu yang mengeriput
Terbenam antara tonjolan tulang yang menciut.

El Maut 'lah menjamah bibirmu yang luntur
Dan meninggalkannya kuning lesi,
Bagai daiun kering di bumi musim gugur.

Apakah yang kaucari, Saudaraku setumpah darahku?
Apa yang kauminta dari
Kehidupan yang tiada lagi
Menganggap putra sejati?

Jiwamu membeku dalam genggaman
Para pendeta dan menyihir renta,
Sedangkan badanmu gemetaran,
Menggigil ketakutan dalam cengkeraman
Penguasa zalim dan penumpah darah.
Tanah airmu digoyang gempa, akibat gemuruh
Tapak-tapak kaki barisan musuh
Yang datang merampas dan membuat rusuh.

Apa yang dapat kauharapkan, walau kau kini
Tegak berdiri di depan wajah matahari?
Pedangmu bersarungkan karet sarat,
Dan tombak-lembingmu patah berat.
Perisai tamengmu penuh lubang,
Bagaimana kau berani bertanding perang?

Kemunafikan menjadi agamamu
Dan kepalsuan merupakan kehidupanmu.
Kekosongan adalah akhirmu
Jadi, mengapa kaulanjutkan umurmu?
Bukankah kematian menjadi satu-satunya
Kenyamanan kaum penderita?

Kehidupan itu suatu tekad keputusan
Yang menyertai keremajaan
Dan suatu kerajinan
Yang mengikuti kedewasaan
Dan suatu kebijaksanaan
Yang mengejar kepikunan
Tetapi kau, Saudara sebangsaku
Yang terakhir tua dan renta
Kulitmu keriput
Dan ukuran kepalamu menyusut.
Kejar-mengejar berlarian dalam lumpur, kalian
Saling melempar bebatuan.

Ilmu pengetahuan itu Cahaya, memperkaya
Kehangatan kehidupan, dan siapa saja,
Boleh mencarinya, akan tetapi kau
Saudara sebangsaku, mencari kegelapan
Dan menyingkiri cahaya, menunggu
Terbitnya air dari batu.
Dan kesengsaraan bangsamu
Adalah kejahatanmu; tak kauampuni kau dari
Dosa-dosamu, sebab kau cukup menyadari
Apa yang sedang kaujalani.

Peri kemanusiaan adalah sungai yang cemerlang,
Yang bersenandung dalam perjalanan yang riang
Membawa bersamanya rahasia gunung
Yang dialirkan ke dalam jantung
Samudra; tetapi kau, Saudara sebangsaku
Tak ubahnya genangan rawa-rawa
Yang dicemari hama serangga
Dan ular-ular berbisa.

Roh itu pelita keramat bernyala biru,
Yang membakar dan memangsa tetumbuhan layu
Dan tumbuh besar bersama angin prahara
Menyirami wajah-wajah para dewa
Tetapi kau, saudaraku sebangsa, . . . jiwamu
Laksana abu liar yang disebar-pencar
Di atas hamparan salju putih
Yang oleh badai taufan disapu bersih
Ke dasar lembah-ngarai,
Parit dan sungai.

Jangan menakuti bayangan Maut, Saudaraku,
Sebab kebesaran dan iba kasihnya
Tak sudi mendekati kekerdilanmu.
Dan jangan gentar menghadapi pedang,
Karena benda itu pun akan enggan
Terhujam dalam benaman jantung kecilmu.

Aku mencintaimu, Saudara sebangsaku,
Karena kau membenci kegemilangan dan keagungan.
Aku membencimu, karena kau membenci
Diriku sendiri.
Aku musuhmu, sebab kau menolak menyadari
Bahwa kalian musuh para bidadari.

Analisis Puisi:

Puisi "Saudara-Saudara Sebangsaku" karya Kahlil Gibran adalah sebuah karya yang penuh dengan makna dan mendalam, yang menyentuh tema-tema seperti persaudaraan, kebangsaan, kepemimpinan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai universal.

Pencarian Identitas Bangsa: Puisi ini membahas pencarian identitas dan jati diri bangsa atau kelompok manusia tertentu. Penyair menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah pemikiran tentang apa yang seharusnya menjadi tujuan dan orientasi sebuah bangsa.

Konflik dalam Bangsa: Puisi ini menggambarkan konflik internal dalam sebuah bangsa atau kelompok manusia. Terdapat perbedaan pendapat dan perpecahan yang muncul dalam upaya mencari arah dan makna yang benar.

Panggilan untuk Keadilan: Puisi ini menunjukkan panggilan untuk keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Penyair menunjukkan bahwa kehidupan harus dijalani dengan berkeadilan dan tanpa ketidaksetaraan.

Pemahaman Kebenaran: Terdapat penggambaran tentang pemahaman akan kebenaran. Penyair ingin mengingatkan bahwa kebenaran adalah suatu konsep yang konstan dan tidak berubah, meskipun dunia selalu berubah.

Kritik terhadap Kemunafikan: Puisi ini mengkritik kemunafikan dalam masyarakat. Penyair mencela sikap pura-pura dan kebohongan yang mengakar dalam kelompok manusia.

Hubungan dengan Alam: Terdapat metafora yang menggunakan alam sebagai gambaran. Ini menunjukkan bahwa alam mengikuti aturan-aturan yang tetap, dan manusia harus belajar dari alam dalam mencari kebijaksanaan.

Panggilan untuk Penyadaran: Puisi ini adalah panggilan untuk penyadaran diri dan refleksi atas tindakan dan keputusan yang diambil oleh suatu kelompok manusia. Penyair mengeksplorasi konsep penghancuran dan pembangunan kembali sebagai sarana penyadaran.

Dua Sisi Kasih: Penyair mencerminkan dua sisi kasih, yaitu kasih sayang dan kebencian. Ada perasaan yang kuat terhadap kelompok manusia yang dimaksud, dan penyair merasa terpanggil baik untuk mencintai maupun membenci mereka.

Puisi "Saudara-Saudara Sebangsaku" adalah sebuah karya yang penuh dengan emosi dan pemikiran mendalam. Kahlil Gibran menggunakan bahasa yang kuat dan gambaran-gambar yang mendalam untuk menggambarkan kompleksitas hubungan antara kelompok manusia dan tantangan yang dihadapi dalam mencari makna dan keadilan dalam kehidupan.

Puisi Kahlil Gibran
Puisi: Saudara-Saudara Sebangsaku
Karya: Kahlil Gibran
Buku: Lagu Gelombang (1989)
Diterjemahkan oleh: Sri Kusdyantinah

Biodata Kahlil Gibran:
  • Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Lebanon.
  • Kahlil Gibran meninggal dunia pada tanggal 10 April 1931 di New York, Amerika Serikat.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.