Puisi: Rancangan (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Rancangan" karya Mardi Luhung mengajak pembaca untuk merenungkan sifat eksistensi dan peran pujian dalam menggambarkan sesuatu yang lebih ...
Rancangan
(: belajar dari Bahauddin Naqshband)

Jika dia meluaskan tubuhnya, tentu punggung bukit terselimuti.
Dan jika dia menciutkan bayangannya, tentu lubang semut
termasuki. Dia bisa sewarna dengan merah, jingga, atau hijau.

Atau bisa juga dengan kebeningan. Tak tertebak ketika menjejak.
Tak terlihat ketika melekat. Dia paham bagaimana mesti membuang,
memilih, atau menyimpan. Menghitung, membagi, menambah,

atau mengurangi. Sebab soal jatuh dan bangun telah dilampaui.
Pada setiap sumur dia menimba. Pada setiap batu dan pasir
dia merancang. Merancang rumah atau gua. Gua atau hamparan

jalan. Jika malam diganti pagi, dan pagi diganti sore, dia mengalir
sesuka-sukanya. Naik-turun. Lurus-belok. Tak terpegang. Dia
menyapa yang tepekur di tepi telaga. Yang menuding kilau

matahari. Terus menceburkan diri dan selurup. Dia juga yang
menyimak tembok. Tembok yang katanya bermulut. Dari mulut
itu dia tahu, betapa aneh, jika ada kabar yang menyatakan, tentang

si anak yang dikutuk jadi karang. Hanya karena tak mengenal wajah
si ibu. Dan ada juga yang begitu percaya, bahwa apa yang tertulis di
kitab, bukan lagi milik si penulis. Sebab si penulis telah mati.

Dikubur di entah. Ibarat gajah di pelupuk mata tak terlihat, tapi
semut di seberang lautan terpandang, begitulah adanya dia.
Semacam titik yang jauh. Yang dianggap begitu mengganggu.

Padahal sebaliknya. Lalu lewat bebaris puisi, dia berbisik pada siapa
saja yang ingin memuji. Dan ringkasan bisikannya itu begini: "Kita
memuji Yang Terpuji. Tapi pujian kita tak pernah menjadi

pujian. Sebab pujian kita cuma gaung pendek untuk mendengar
bagaimana sempurnanya Yang Terpuji memuji diri-Nya sendiri."

Gresik, 2018

Analisis Puisi:

Puisi "Rancangan" karya Mardi Luhung adalah sebuah karya yang memadukan imajinasi dan refleksi mendalam mengenai eksistensi, desain, dan pemahaman tentang diri dan dunia. Dalam puisi ini, Luhung menggunakan gaya bahasa yang kaya dan simbolisme yang kompleks untuk mengeksplorasi tema-tema tentang perubahan, batasan, dan makna pujian.

Tema dan Makna

  • Eksplorasi Bentuk dan Ukuran: Puisi ini dimulai dengan gambaran tentang perubahan bentuk dan ukuran, "Jika dia meluaskan tubuhnya, tentu punggung bukit terselimuti. Dan jika dia menciutkan bayangannya, tentu lubang semut teratasi." Luhung menggambarkan suatu entitas atau ide yang memiliki kemampuan untuk berubah-ubah sesuai dengan situasi dan konteks. Ini bisa diartikan sebagai metafora untuk fleksibilitas dan adaptasi dalam kehidupan atau cara pandang seseorang.
  • Ketidakpastian dan Keselarasan: Luhung menunjukkan bagaimana entitas ini bisa menjadi sewarna dengan "merah, jingga, atau hijau," atau "kebeningan," mencerminkan kemampuannya untuk menyatu dengan berbagai keadaan atau warna. Ini menandakan ketidakpastian dan variabilitas dalam eksistensi, serta bagaimana makna atau identitas bisa berubah tergantung pada konteks.
  • Desain dan Rancangan: Bagian berikut dari puisi, "Dia paham bagaimana mesti membuang, memilih, atau menyimpan. Menghitung, membagi, menambah, atau mengurangi," menyiratkan pemahaman mendalam tentang desain dan perancangan. Luhung menggunakan metafora ini untuk menggambarkan proses kreatif atau perencanaan yang melibatkan keputusan dan penyesuaian. "Dia merancang rumah atau gua. Gua atau hamparan jalan," menggambarkan kemampuan untuk menciptakan berbagai bentuk struktur dan lingkungan, baik itu nyata maupun metaforis.
  • Refleksi Tentang Waktu dan Keberadaan: Puisi ini juga menyentuh konsep waktu dan perubahan, "Jika malam diganti pagi, dan pagi diganti sore, dia mengalir sesuka-sukanya." Ini menunjukkan bagaimana entitas ini tidak terikat oleh waktu dan ruang, melainkan mengalir bebas dan mengikuti arus perubahan. Luhung menggarisbawahi sifat fluiditas dan ketidakpastian dalam eksistensi.
  • Kritik Terhadap Pujian dan Eksistensi: Bagian akhir puisi membawa pembaca pada refleksi tentang pujian dan eksistensi, "Kita memuji Yang Terpuji. Tapi pujian kita tak pernah menjadi pujian." Luhung menyatakan bahwa pujian manusia sering kali tidak cukup untuk menggambarkan keagungan atau kesempurnaan dari entitas yang dipuji. Pujian itu hanya "gaung pendek" yang tidak benar-benar mencerminkan "Yang Terpuji" atau entitas yang dipuji.

Gaya Bahasa dan Teknik

  • Metafora dan Simbolisme: Luhung menggunakan metafora yang kuat untuk menggambarkan perubahan dan desain, seperti "punggung bukit," "lubang semut," dan "tembok yang bermulut." Simbolisme ini menambahkan kedalaman pada makna puisi dan membantu menggambarkan konsep-konsep abstrak dengan cara yang konkret dan dapat dibayangkan.
  • Penggunaan Kontras: Kontras antara bentuk dan ukuran, serta waktu yang berubah, digunakan untuk menunjukkan fleksibilitas dan sifat perubahan dari entitas ini. Luhung memperlihatkan bagaimana sesuatu bisa berada dalam berbagai bentuk dan keadaan, serta bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan dan waktu.
  • Kritik Sosial dan Filosofis: Puisi ini mengandung kritik sosial dan filosofis, terutama dalam refleksinya tentang pujian dan eksistensi. Dengan menyatakan bahwa pujian kita tidak pernah benar-benar memuji dengan sempurna, Luhung mengajak pembaca untuk merenungkan batasan dalam bahasa dan pemahaman manusia terhadap hal-hal yang lebih besar dari diri mereka.

Makna dan Refleksi

  • Pentingnya Adaptasi dan Fleksibilitas: Puisi ini menekankan pentingnya adaptasi dan fleksibilitas dalam kehidupan. Entitas yang digambarkan dapat berubah bentuk dan ukuran sesuai dengan situasi, mencerminkan bagaimana kita juga perlu beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian dalam hidup.
  • Kritik terhadap Eksistensi dan Pujian: Luhung menyajikan kritik yang mendalam terhadap cara manusia memuji dan memahami eksistensi. Pujian sering kali tidak dapat mencerminkan keseluruhan realitas atau keagungan dari sesuatu yang lebih besar, dan puisi ini mendorong pembaca untuk mempertanyakan dan merenungkan keterbatasan dalam pemahaman mereka.
Puisi "Rancangan" karya Mardi Luhung adalah puisi yang kaya akan simbolisme dan refleksi filosofi, menggali tema-tema tentang perubahan, desain, dan batasan dalam pemahaman manusia. Dengan gaya bahasa yang kompleks dan metafora yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan sifat eksistensi dan peran pujian dalam menggambarkan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Mardi Luhung
Puisi: Rancangan
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.