Puisi: Genosida (Karya Pulo Lasman Simanjuntak)

Puisi "Genosida" karya Pulo Lasman Simanjuntak menggambarkan ketidakadilan, penderitaan, dan perlawanan terhadap eksploitasi budaya serta kebijakan ..
Genosida

di sebuah gedung kesenian purba
terbelah empat penjuru kota
diprotes sejak pandemi mewabah

masih saja sejumlah berkas puisi terluka
disebar di meja pengadilan rakyat
entah sampai kapan dapat didendangkan
menjadi suatu kemenangan

penyair masih dikurung dalam sangkar
bangunan cagar budaya ikut dibakar
akankah menjadi taman impian lautan makar
semata-mata karya seni diciptakan hanya
untuk memperoleh keuntungan kaum kapital yang garang

kini mereka masih ketakutan
harus membayar tiket pertunjukan
digelar di halaman parkir buat
orang-orang yang lalu lalang tak karuan
bahkan bunyi petasan sampai juga
di atas pentas tarian tradisi berkepanjangan

ini rumah budaya milik siapa, tanya kawan pujangga pandai bersilat lidah
ia rajin tidur di tenda-tenda kematian
menatap bintang dan langit kehidupan dari layar kekeringan
nyaris angin puting beliung
membawanya terbang tinggi
ke negeri-negeri kepalsuan

aku hanya terdiam
membawa lari sejumlah pertanyaan keabadian
yang harus kuberitakan
di atas cawan lebur penderitaan
kelaparan akan firman serta
meniup harta terpendam

Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta
Kamis, 30 September 2022

Analisis Puisi:

Puisi "Genosida" karya Pulo Lasman Simanjuntak adalah sebuah karya yang menggambarkan ketidakadilan, penderitaan, dan perlawanan terhadap eksploitasi budaya serta kebijakan kapitalis.

Kritik terhadap Pandemi dan Eksploitasi Budaya: Puisi ini membawa pembaca ke dalam sebuah gedung kesenian purba yang terbelah empat penjuru kota, menciptakan gambaran tentang keserakahan dan penindasan budaya. Pandemi yang melanda tidak hanya mengancam kesehatan fisik, tetapi juga merusak dan menindas warisan budaya.

Lukisan Penderitaan Penyair dan Seniman: Penyair menggambarkan penyair dan seniman yang terkurung dalam sangkar, secara metaforis melambangkan penindasan terhadap ekspresi kreatif dan kebebasan berbicara. Bangunan cagar budaya yang dibakar mencerminkan upaya penghancuran terhadap identitas budaya.

Pertanyaan tentang Pemilikan Budaya: Dengan pertanyaan "ini rumah budaya milik siapa?", penyair menyoroti konflik hak atas warisan budaya. Seniman dan penyair, sebagai penjaga budaya, bertanya tentang siapa yang seharusnya memiliki dan mengendalikan warisan budaya tersebut.

Perlawanan dan Kebingungan: Meskipun terjebak dalam ketakutan dan ketidakpastian, penyair menyampaikan perlawanan terhadap eksploitasi dan penindasan. Dia menolak menjadi bagian dari sistem yang memanfaatkan seni dan budaya hanya untuk keuntungan kapitalis.

Penyelamatan Budaya dan Firman: Dalam kesendirian dan penderitaan, penyair membawa pertanyaan-pertanyaan keabadian dan kebenaran, serta harapan akan kebangkitan dan penyelamatan budaya. Firman dan kekayaan terpendam, dalam konteks puisi ini, mungkin merujuk pada kebenaran yang tersembunyi dalam budaya dan seni.

Melalui gambaran penderitaan dan perlawanan terhadap eksploitasi budaya, Pulo Lasman Simanjuntak menciptakan sebuah puisi yang menggugah kesadaran dan menantang pembaca untuk merenungkan peran seni dan budaya dalam masyarakat. Puisi ini menyoroti pentingnya melawan penindasan dan mempertahankan identitas budaya dalam menghadapi tantangan zaman.

Pulo Lasman Simanjuntak
Puisi: Genosida
Karya: Pulo Lasman Simanjuntak

Biodata Pulo Lasman Simanjuntak:
    Pulo Lasman Simanjuntak lahir di Surabaya, 20 Juni 1961. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik (STP/IISIP-Jakarta). Lasman Simanjuntak belajar sastra secara otodidak. Hasil karya sajaknya pertama kali dipublikasikan sewaktu masih duduk di bangku SMP, yakni dimuat di ruang sanjak anak-anak Harian Umum Kompas tahun 1977.

    Kemudian pada tahun 1980 sampai tahun 2022 sajak-sajaknya mulai disiarkan di Majalah Keluarga, Dewi, Nova, Monalisa, Majalah Mahkota, Harian Umum Merdeka, Suara Karya, Jayakarta, Berita Yudha, Media Indonesia, Harian Sore Terbit, Harian Umum Seputar Indonesia (Sindo), Koran Media Cakra Bangsa (Jakarta), Majalah Habatak Online, dan banyak lagi lainya.

    Selain di Media Online dan Media Offline, sajaknya juga termuat dalam 17 Buku Antologi Puisi Bersama Penyair di seluruh Indonesia.

    Buku kumpulan sajak tunggalnya yang sudah terbit Traumatik (1997), Kalah atau Menang (1997), Taman Getsemani (2016), Bercumbu dengan Hujan (2021), Tidur di Ranjang Petir (2021), Mata Elang Menabrak Karang (2021), Rumah Terbelah Dua (2021).

    Pada saat ini Pulo Lasman Simanjuntak sedang mempersiapkan penerbitan buku Antologi Puisi Tunggal ke-8 berjudul Bila Sunyiku Ikut Terluka (2022).

    Beberapa karya puisinya juga telah diterjemahkan (dialihaksarakan) kepada penulisan aksara Arab Melayu.

    Pada Minggu 18 September 2022 puisinya berjudul Pohon Itu Kesunyian atau The Tree Was Silent mendapat sertifikat keunggulan dari Global Poetry Forum karena dinilai puisi tersebut luar biasa.

    Namanya juga telah masuk dalam buku Pintar Sastra Indonesia (2001) yang disunting oleh Pamusuk Eneste, serta buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017) yang disunting oleh Maman S. Mahayana bersama Sutardji Calzoum Bahchri, Abdul Hadi W.M, Rida K.Liamsi, Ahmadun Y. Herfanda, dan Hasan Aspahani.

    Pada tahun 2021 ia mendapat piagam dan medali penghargaan Setya Sastra Nagari (30 tahun Kesetiaan Sastra Indonesia) oleh Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia.

    Pada bulan Juni dan Juli 2022 berturut-turut karya puisinya memperoleh juara III dan juara II Puisi Pilihan Terbaik oleh Komunitas Sastra SNW ( Sastra Nusa Widhita).

    Saat ini Lasman Simanjuntak aktif sebagai anggota Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Komunitas dari Negeri PociSastera Sahabat Kita (berpusat di Sabah Malaysia) serta Ketua Komunitas Sastra Pamulang (KSP).

    Anda mungkin menyukai postingan ini

    © 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.