Puisi: Keliru (Karya A.A. Navis)

Puisi "Keliru", A.A. Navis mengajak pembaca untuk merenung tentang perjalanan hidup dan tantangan yang dihadapi dalam mencapai harapan.
Keliru


Kau gantung tinggi
lalu gapai-gapai
tuntutan naluri beripuh
mandi peluh menanti rubuh.

Selama hayat pasti
takkan tercapai
walau melolong
mulut sampai terkoyak.



15 April 1949

Analisis Puisi:
Puisi "Keliru" yang ditulis oleh A.A. Navis merupakan karya sastra yang sarat dengan makna dan simbolisme. Puisi ini mengeksplorasi tema perjalanan manusia dalam mencapai harapan, serta tantangan dan kesulitan yang mungkin dihadapi dalam proses tersebut. Melalui penggunaan bahasa yang puitis, Navis menyajikan gambaran yang mendalam mengenai realitas hidup.

Struktur Puisi: Puisi ini terdiri dari dua bait, yang secara keseluruhan membentuk suatu narasi tentang perjuangan manusia. Struktur bait yang pendek namun padat memberikan kesan efektifitas dan kekuatan dalam menyampaikan pesan.

Metafora Gantung Tinggi dan Gapai-Gapai: Pada bait pertama, "Kau gantung tinggi / lalu gapai-gapai", Navis menggunakan metafora gantung tinggi untuk menggambarkan harapan atau cita-cita yang tinggi. Aktivitas gapai-gapai mencerminkan usaha manusia dalam mencapai tujuannya. Metafora ini menggambarkan perjalanan hidup sebagai sebuah upaya yang terus-menerus untuk meraih sesuatu yang diidamkan.

Tuntutan Naluri Beripuh: "tuntutan naluri beripuh," menggambarkan beban atau tekanan yang muncul dari dorongan alamiah manusia untuk mencapai sesuatu. Kata "beripuh" memberikan nuansa berat dan melelahkan, menyoroti perjuangan yang tak jarang penuh liku-liku.

Mandi Peluh Menanti Rubuh: "mandi peluh menanti rubuh," menyampaikan gambaran bahwa proses perjuangan tidaklah mudah. Mandi peluh menjadi simbol dari usaha dan kerja keras yang diperlukan, sementara "menanti rubuh" menggambarkan ketidakpastian hasil akhir.

Harapan yang Takkan Tercapai: Di bait kedua, Navis menyatakan bahwa selama hidup pasti "takkan tercapai" walau seberapa keras manusia berusaha. Ini mencerminkan realitas bahwa tidak semua harapan dan impian dapat terwujud, dan kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup.

Melolong Mulut Sampai Terkoyak: Puisi ditutup dengan gambaran dramatis, "walau melolong / mulut sampai terkoyak." Ini bisa diartikan sebagai ekspresi keputusasaan atau kefrustrasian manusia yang mungkin merasa terpukul oleh kegagalan. Melolong adalah ungkapan suara kehancuran atau keputusasaan yang mendalam.

Melalui puisi "Keliru", A.A. Navis mengajak pembaca untuk merenung tentang perjalanan hidup dan tantangan yang dihadapi dalam mencapai harapan. Metafora, simbolisme, dan pilihan kata-kata yang kuat memberikan kedalaman makna pada setiap bait. Meskipun puisi ini mungkin terasa penuh dengan ketidakpastian, tetapi di dalamnya terdapat keindahan dan kebenaran tentang realitas hidup yang perlu dihayati oleh setiap pembaca.

A.A. Navis
Puisi: Keliru
Karya: A.A. Navis

Biodata A.A. Navis:
  • A.A. Navis (Haji Ali Akbar Navis) lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924.
  • A.A. Navis meninggal dunia di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 22 Maret 2003 (pada usia 78 tahun).
  • A.A. Navis adalah salah satu sastrawan angkatan 1950–1960-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.