Puisi: Di Kota Raya, Cerita Senja (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Di Kota Raya, Cerita Senja" karya Diah Hadaning menggambarkan keadaan kota raya di waktu-waktu yang berbeda—rembang senja, lepas senja, dan ...
Di Kota Raya, Cerita Senja (1)

Di kota raya saat rembang senja
muncul sesosok berhala
menyamar diri Sang Resi
usai lakukan tapa brata
terima anugerah adi.

Orang-orang hormat memuji
berkidung tanda bahagia
siluman resi lepas pesan-pesan
membuat bingung para kawula
terlena antara pesona dan sengsara
pagi, senja
siang, malam
siksa raga
siksa jiwa
harap sebuah ampunan.

Siluman resi lupa hukum alam
yang punya bahasa sendiri.

Bogor, Februari 2004

Di Kota Raya, Cerita Senja (2)

Di kota raya saat lepas senja
para petinggi berbusana aneh
bertopeng hitam
suara berdengung
menyulam doa
jadi kisah perjuangan
sepertinya
di tanah kelahiran
tanpa darah 'ngalir di sungai
sepertinya
di pusara keramat
doa bisa menutup durhaka.

Suatu hari di bulan nanti
ketika para kawula tak terima
namun tak berdaya
diam-diam simpan suara.

Bogor, Februari 2004

Di Kota Raya, Cerita Senja (3)

Di kota raya pemilik meja bersulam hijau
nyata lebih punya kuasa
di kota raya para dalang
nyata pintar rangkai cerita
sebenarnya ini batas jaman Kaliyuga
bocah samar hadir angkat bicara
segera panggil kakek Sabdopalon
agar menagih janji sekarang juga
minta dia obati obati tanah perdikan
derita sakit kelewat lama
langit kehilangan matahari dan rembulan.

Di kota raya dalangnya dalang kembang
perangnya perang kembang
pemirsa tertawa sampai berlinang
pakem-pakem dibuat tumbang
bocah samar mengerang.

Bogor, Februari 2004

Catatan:
Bocah samar = makhluk halus wujud bocah
Kaliyuga = sang pembawa sengsara
Sabdopalon = abdi setia Prabu Brawijaya V yang menolak masuk Islam lalu moksa di kawasan Gunung Lawu dengan sumpah setelah 500 tahun akan menagih janji untuk membuat Jawa seperti semula, tentram damai.

Analisis Puisi:

Puisi "Di Kota Raya, Cerita Senja" karya Diah Hadaning merupakan karya yang kaya akan simbolisme dan refleksi sosial. Puisi ini terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan keadaan kota raya di waktu-waktu yang berbeda—rembang senja, lepas senja, dan masa kini—serta memperlihatkan dinamika antara realitas, kekuasaan, dan penderitaan.

Bagian Pertama: Di Kota Raya, Cerita Senja (1)

Pada bagian pertama, puisi mengawali dengan gambar berhala yang menyamar sebagai Sang Resi. Penggambaran ini menciptakan suasana mistis di kota saat rembang senja. Berhala yang menyamar sebagai resi setelah melakukan tapa brata (puasa atau meditasi) dan menerima anugerah adi (istimewa) mencerminkan dualitas antara yang terlihat dan yang sebenarnya. Penghormatan dan pujian dari orang-orang menunjukkan bagaimana masyarakat bisa terbuai oleh penampilan luar tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi di baliknya.

Kehadiran siluman resi yang "lepas pesan-pesan" menciptakan kebingungan di kalangan rakyat, terjebak antara pesona dan penderitaan. Hal ini mengindikasikan bagaimana manipulasi dan penipuan dapat membuat masyarakat terjebak dalam siklus penderitaan. "Siluman resi lupa hukum alam" menandakan bahwa meskipun terlihat bijak, siluman tersebut mengabaikan kebenaran dan hukum alam yang mendasar.

Bagian Kedua: Di Kota Raya, Cerita Senja (2)

Bagian kedua menggambarkan situasi di kota raya setelah senja, dengan fokus pada para petinggi yang berbusana aneh dan bertopeng hitam. Ini menggambarkan situasi kekuasaan dan kekeliruan yang bersembunyi di balik penampilan luar yang tidak biasa. Doa yang dijadikan "kisah perjuangan" mencerminkan bagaimana doa dan retorika politik dapat digunakan untuk menutupi ketidakadilan dan manipulasi.

Ada kesan bahwa meskipun masyarakat merasa tidak puas dan tidak berdaya, mereka terpaksa menyimpan ketidakpuasan mereka secara diam-diam. "Diam-diam simpan suara" mencerminkan ketidakmampuan rakyat untuk berbicara secara terbuka tentang ketidakadilan yang mereka alami.

Bagian Ketiga: Di Kota Raya, Cerita Senja (3)

Bagian ketiga menyajikan gambaran lebih suram tentang keadaan kota raya, di mana "pemilik meja bersulam hijau" memiliki kekuasaan yang nyata dan dalang-dalang yang "pintar rangkai cerita" menciptakan narasi yang mengelabui masyarakat. Di sini, puisi menghubungkan situasi ini dengan batas jaman Kaliyuga, sebuah era penuh penderitaan dan kesengsaraan menurut ajaran Hindu dan Buddha.

"Bocah samar" yang "hadir angkat bicara" menggambarkan sosok yang mungkin mewakili suara kebenaran yang terabaikan atau tidak terlihat. Dia memanggil kakek Sabdopalon, yang merupakan tokoh legendaris yang dipercaya akan menagih janji untuk memperbaiki keadaan. Panggilan ini menunjukkan harapan akan perubahan dan perbaikan di tengah penderitaan yang berkepanjangan. "Langit kehilangan matahari dan rembulan" mencerminkan kehampaan dan kehilangan yang dirasakan oleh masyarakat.

Akhir puisi menunjukkan bagaimana pertunjukan atau "perang kembang" menjadi tontonan kosong, sementara rakyat tertawa hingga berlinang air mata, menutupi kenyataan pahit yang ada. Bocah samar "mengerang" menunjukkan suara kebenaran yang tertekan di bawah lapisan kebohongan dan manipulasi.

Secara keseluruhan, puisi ini mengeksplorasi tema-tema kompleks tentang kekuasaan, manipulasi, dan penderitaan dalam konteks sosial. Dengan menggunakan simbol-simbol dan referensi kultural, Diah Hadaning mengajak pembaca untuk merenungkan dinamika kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat.

"Puisi: Di Kota Raya, Cerita Senja III (Karya Diah Hadaning)"
Puisi: Di Kota Raya, Cerita Senja
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.