Surat untuk Oy
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa
Oy, itu sepenggal lagu yang kuingat darimu
Selalu dengan mata berbinar kau bernyanyi, cinta itu adalah tanah ini katamu
Lalu kukecup keningmu di bawah lampu kota yang mulai redup senja itu
Kita diam dalam kesunyian mengurai rindu yang bercinta di langit berkali-kali
Air mata kita jadi telaga ketika sudah tiba kita harus tinggalkan kota
Hanya kita yang bisa saling paham, bahkan saat diam
Sebab kita tak sempat berkata-kata, sebab kita selalu terluka
Karena perang adalah tragedi hitam yang kita tulis di setiap lembar buku
Oy, ingin aku kabari tentang segala gulana yang memenuhi langitku
Kisah tragedi kemanusiaan yang pilu itu terjadi di mana-mana
Di perbatasan kota hingga di pedalaman dan bukit-bukit
Kulihat cahaya lampu kian temaram
Lalu orang-orang terperangkap kegelapan
Kita mengingat ladang-ladang yang kerontang
Sebab pemukiman sudah mulai habis terbakar
Tangisan anak-anak bergema di sudut-sudut negeri
Aku seperti membaca hikayat kejatuhan
Kembangkan layar, kita berperahu menyusuri sungai-sungai esok pagi, katamu pelan
sambil mengusap sisa air mataku.
Oy, kita memang akhirnya belajar bagaimana membaca alam
Kita tulis sejuta keheningan di tengah gemuruh rindu yang bergolak
Bulir-bulir air mengaliri pipi hingga jadi sungai duka
Bersamaan saat mendengar seorang anak berteriak ibu-bapakku mati!
Hingga dia kita temukan tak lagi punya air mata
Oy, bertahun-tahun kita membaca soal darah yang tumpah ruah
Dari puing-puing sisa bencana kemanusiaan yang menyakitkan itu
Lalu kita menyenandungkan kidung obituari
Di langit mendung Tanjung Priuk, Aceh, Poso, Ambon, Sampit, Wamena,
kerusuhan 98 hingga tragedi di Semanggi
Kita bersembunyi dari segala batu, kayu, pedang, dan senapan yang berdesing
Memasung jiwa dan orang-orang melupakan kemanusiaannya sendiri
Melupakan hukum tuhan karena keangkuhan telah merobek-robeknya
Kita hanya bisa berteriak pada semua amarah dan dendam itu
Ribuan nyawa telah melayang dan menuai asa yang tak selesai
Atau memang ingin berkhianat pada nasib yang dingin, sedingin air mata
Karena esoknya aku hanya bisa menabur kamboja putih dalam hening
Oy, aku akan terus mengemban cinta dan membacakan sajak-sajak perdamaian
Hingga akhirnya semua tragedi itu berlalu meski menyisakan luka
Tapi tak lagi menimbun air mata sebab hidup tak bisa terhenti
Oy, subuh ini kukayuh perahu tanpamu
Sebab harus kautanam seribu bunga di tanahmu
Esok pagi atau bulan depan aku akan datang! Teriakmu
Ya kita redam semua perang oy, seruku
Kitapun berjarak beribu-ribu kilometer
Meski jarak itu tak pernah bergerak
Jadi lebih dekat atau semakin jauh
Tapi telah membuat aku terkubur dalam sunyi
Aku jadi semakin gugup di antara metafora rindu yang pongah
Di antara diksi-diksi yang telah aku ciptakan sendiri
Oy, terbanglah bersama seribu sayap merpati
Agar bisa kutitipkan pesan, jangan kirim air matamu!
Tapi berperahulah lagi menujuku.