Sakramen Duka buat Adinda Terluka
kuterima kabar dalam subuh yang gelap
ada deras airmata tangisan
mengalir sepanjang dinihari tadi
yang telah bergulat antara
maut dan kematian dini
saling napsu untuk berkejaran
telah melepas penderitaannya berliku-liku
telah melepas kesakitannya berkepanjangan
engkau keluhkan dengan suara nyeri
dan ngeri!
mulai di ranjang rumah sakit dalam kota
disuntik infus cacat berulangkali
sampai tubuhnya terbujur kaku
roh nyawanya yang masih muda belia
mampu menembus langit dan cakrawala
tanpa dendang lagu
tanpa tabuhan rebana pujian untuk sang pencipta bumi dan lautan
Tuhan telah izinkan berakhirnya sepi luka ini
sampai pada akhirnya kita harus berpisah
sementara saja, adinda
di pekuburan tua ini, setua duka cita kita
dari debu dan kembali ke tanah
TPU Menteng Pulo, Senin 7/6/2021
Analisis Puisi:
Puisi "Sakramen Duka buat Adinda Terluka" karya Pulo Lasman Simanjuntak menyampaikan perasaan mendalam tentang kehilangan, penderitaan, dan pemakaman. Dalam karya ini, penyair mengungkapkan kesedihan yang mendalam akibat kematian seorang yang sangat dekat, mungkin seorang saudara atau sahabat, yang harus menghadapi ujian hidup yang penuh derita. Melalui pilihan kata yang kuat dan gambaran visual yang mengharukan, puisi ini menggambarkan sakramen duka sebagai proses pemakaman, baik secara fisik maupun spiritual.
Kabar dalam Subuh yang Gelap: Awal dari Perjalanan Duka
Puisi ini dimulai dengan gambaran yang sangat kuat: "kuterima kabar dalam subuh yang gelap." Subuh, sebagai waktu yang identik dengan awal hari baru, justru menjadi simbol dari awal sebuah perasaan duka yang mendalam. Gelapnya subuh menandakan ketidakpastian, kesedihan yang datang dengan tiba-tiba, dan perasaan kehilangan yang mengguncang hati. Dalam kegelapan itu, kabar yang diterima oleh penyair adalah kabar yang mengubah segalanya – sebuah kabar duka yang datang mengiris hati.
Kata-kata seperti "deras airmata tangisan" dan "mengalir sepanjang dinihari tadi" menggambarkan betapa beratnya penderitaan yang dirasakan, baik oleh si penderita maupun orang-orang yang mencintainya. Tangisan itu menggambarkan duka yang mengalir tak terbendung, seakan air mata tersebut menjadi saksi dari setiap kesakitan yang dirasakan.
Maut dan Kematian: Dua Hal yang Saling Berkejaran
Penyair juga menggambarkan dengan gamblang proses antara kehidupan dan kematian yang saling berebut: "maut dan kematian dini saling napsu untuk berkejaran." Ini adalah gambaran metaforis dari perjuangan terakhir seorang manusia, di mana antara hidup dan mati seakan berada dalam jarak yang begitu tipis. Maut bukan lagi sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata, yang datang mengejar tanpa ampun, sementara kematian dini berarti kematian yang datang lebih cepat dari waktu yang seharusnya.
Konflik ini mengingatkan pembaca bahwa kematian selalu membawa kesedihan, namun dalam beberapa kasus, kematian adalah sebuah pelepasan dari penderitaan yang tak terhingga. Penyair menggambarkan dengan penuh emosi betapa seseorang yang mengalami penderitaan panjang, seperti yang digambarkan dalam baris "telah melepas penderitaannya berliku-liku," akhirnya harus menghadapi kenyataan bahwa akhir dari semua penderitaan itu adalah kematian.
Kehidupan yang Terhenti: Proses di Rumah Sakit dan Akhirnya Tubuh yang Kaku
Puisi ini juga menggambarkan detik-detik terakhir sang adinda yang terbaring di ranjang rumah sakit. Penyair mengisahkan bagaimana proses perawatan yang penuh derita tidak mampu menyelamatkan nyawa yang sudah terancam: "disuntik infus cacat berulangkali sampai tubuhnya terbujur kaku." Kata "infus cacat berulangkali" menambah kesan bahwa penderitaan yang dialami sangatlah berat, dengan proses perawatan yang tidak membawa hasil yang diinginkan.
Dalam baris "roh nyawanya yang masih muda belia mampu menembus langit dan cakrawala tanpa dendang lagu, tanpa tabuhan rebana pujian untuk sang pencipta bumi dan lautan," penyair menyatakan bahwa meskipun jiwa yang muda dan penuh potensi itu seharusnya memiliki kehidupan panjang, ia terpaksa berpisah dari dunia ini. Tanpa tabuhan pujian atau kemegahan, sang roh meninggalkan dunia dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Perpisahan yang Sementara: Pemakaman dan Kembali ke Tanah
Akhir dari puisi ini membawa pembaca pada pemakaman sang adinda. Dalam baris "Tuhan telah izinkan berakhirnya sepi luka ini," terdapat penyerahan yang penuh ketenangan dan keikhlasan. Kepergian seseorang memang merupakan akhir dari segala derita, namun rasa kehilangan tetaplah ada. Penyair mengakui bahwa akhirnya mereka harus berpisah, meskipun hanya sementara.
“Di pekuburan tua ini, setua duka cita kita dari debu dan kembali ke tanah” memberikan kesan bahwa kehidupan adalah siklus yang berulang. Kita berasal dari tanah dan akhirnya kembali lagi ke tanah, seiring berjalannya waktu. Meskipun begitu, kenangan dan rasa cinta akan tetap ada, seperti puisi ini yang berusaha menggambarkan kenangan indah dan beratnya perpisahan.
Makna dari Sakramen Duka
Secara keseluruhan, puisi "Sakramen Duka buat Adinda Terluka" menyajikan sebuah refleksi tentang hidup, penderitaan, kematian, dan pemakaman. Melalui kata-kata yang penuh emosi dan simbolisme, Pulo Lasman Simanjuntak berhasil menggambarkan kedalaman perasaan seseorang yang kehilangan orang terdekatnya.
"Sakramen" di sini mengandung makna yang lebih dalam, bukan sekadar pemakaman fisik, tetapi juga pemakaman spiritual dari segala duka yang menyertai. Penyair menggambarkan dengan jujur bahwa perpisahan adalah bagian dari kehidupan, tetapi kehilangan tetaplah sebuah proses yang menyakitkan dan penuh emosi. Pemakaman bukanlah akhir dari segalanya, karena kenangan dan kasih sayang yang ditinggalkan tetap abadi dalam hati.
Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh makna, puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya menghargai hidup dan menghormati mereka yang telah pergi, meskipun proses perpisahan itu tak pernah mudah.
Karya: Pulo Lasman Simanjuntak
Biodata Pulo Lasman Simanjuntak: