Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ada yang Tertinggal (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Ada yang Tertinggal" karya Gunoto Saparie bercerita tentang pengalaman manusia dalam menjalani hidup. Setiap pertemuan selalu meninggalkan ...
Ada yang Tertinggal

ada yang tertinggal dan tersisa
dari setiap pertemuan kita
ada yang selalu tak sempurna
dari setiap kebahagiaan manusia
 
ada sepotong roti di meja
ada senyum bocah di depan pintu
namun selalu belum lengkap terasa
namun bahkan cinta pun betapa fana

2020

Analisis Puisi:

Puisi "Ada yang Tertinggal" karya Gunoto Saparie adalah karya pendek namun penuh makna. Dengan bahasa sederhana dan imaji yang dekat dengan keseharian, penyair berhasil menggugah kesadaran pembaca tentang ketidaksempurnaan hidup dan kefanaan cinta. Meskipun ringkas, puisi ini menyimpan kedalaman refleksi yang bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ketidaksempurnaan dalam hidup dan kefanaan cinta. Penyair ingin menegaskan bahwa setiap kebahagiaan manusia selalu menyisakan kekurangan, selalu ada sesuatu yang tertinggal, yang tak pernah bisa sepenuhnya diraih.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman manusia dalam menjalani hidup. Setiap pertemuan selalu meninggalkan jejak, setiap kebahagiaan terasa belum lengkap, bahkan cinta pun tidak abadi. Dengan gambaran sederhana seperti sepotong roti di meja dan senyum bocah di depan pintu, penyair menghadirkan keseharian yang sarat makna.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa hidup tidak pernah benar-benar sempurna. Selalu ada yang kurang, selalu ada yang tertinggal. Pesan ini mengingatkan kita untuk menerima kekurangan sebagai bagian dari kehidupan dan tidak terjebak dalam pencarian kesempurnaan semu. Selain itu, cinta yang dianggap sebagai puncak kebahagiaan manusia pun pada akhirnya fana, sehingga manusia perlu menyadari sifat sementara dari segala hal.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, reflektif, dan melankolis. Penyair seakan duduk merenung, menyadari betapa kehidupan penuh dengan momen sederhana namun tak pernah benar-benar utuh. Ada ketenangan sekaligus kesedihan halus yang terasa dalam larik-lariknya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah belajar menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hidup. Jangan terlalu mengejar kesempurnaan yang mustahil diraih. Kebahagiaan ada dalam hal-hal kecil, meski tidak lengkap. Selain itu, manusia diajak untuk menyadari kefanaan cinta, sehingga penting untuk mensyukuri momen-momen yang ada selagi masih bisa dinikmati.

Imaji

Puisi ini menggunakan imaji keseharian yang sederhana namun kuat:
  • “ada sepotong roti di meja” memberi gambaran visual yang konkret tentang kesederhanaan hidup.
  • “ada senyum bocah di depan pintu” menghadirkan imaji kegembiraan polos yang hangat.
Kedua imaji ini memberi sentuhan realitas yang dekat dengan pembaca, sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam momen sederhana pun masih ada rasa kurang atau tidak lengkap.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Majas repetisi: pengulangan kata “ada” di awal larik untuk memberi penekanan bahwa selalu ada sesuatu yang tertinggal atau tidak sempurna.
  • Majas paradoks: “namun selalu belum lengkap terasa / namun bahkan cinta pun betapa fana” menampilkan pertentangan antara harapan akan kelengkapan dan kenyataan kefanaan.
  • Majas metafora: roti dan senyum bocah digunakan sebagai simbol kehidupan yang sederhana namun tidak pernah sepenuhnya sempurna.
Puisi "Ada yang Tertinggal" karya Gunoto Saparie adalah refleksi puitis tentang hidup yang tak sempurna dan cinta yang fana. Dengan bahasa sederhana dan imaji yang dekat dengan keseharian, penyair mengajak pembaca merenungkan hakikat hidup: bahwa selalu ada yang tertinggal dari pertemuan, kebahagiaan, bahkan cinta. Puisi ini mengajarkan penerimaan, rasa syukur, dan kesadaran akan keterbatasan manusia.

Gunoto Saparie
Puisi: Ada yang Tertinggal
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.