Puisi: Pagi Seorang Penganggur (Karya Iman Budhi Santosa)

Puisi "Pagi Seorang Penganggur" karya Iman Budhi Santosa menggambarkan perasaan seorang penganggur yang tengah menghadapi hari-harinya tanpa ...
Puisi Pagi
Seorang Penganggur

Tuhanku
hari ini takada yang tercatat dalam buku
tak ada ruang yang terbaik buat menunggu
tak pernah lagi hari-hari kuhitung
batu-batu lelap menatap
lewat jendela yang terbuka
terdengarlah senantiasa teriakan-teriakan
serta gemuruh roda-roda kehidupan
yang digerakkan tangan-tangan
kembali akupun mengaca pada diri sendiri
ketika Kau tetap bernama Sunyi
ketika segalanya hadir: puisi
Tuhanku
hari ini untuk pertama kali
kuucapkan pada-Mu:
selamat pagi
sebab ketika haripun lewat
aku merasa hidup memang bukan milikku pasti

1969

Sumber: Horison (Januari, 1970)

Analisis Puisi:
Puisi "Pagi Seorang Penganggur" karya Iman Budhi Santosa menggambarkan perasaan seorang penganggur yang tengah menghadapi hari-harinya tanpa pekerjaan.

Hubungan dengan Tuhan: Puisi dimulai dengan panggilan kepada Tuhan ("Tuhanku"), mengekspresikan hubungan yang erat antara penyair dan Tuhan. Penyair merenungkan keadaannya di bawah pandangan Ilahi, menciptakan atmosfer spiritual.

Ketidakadaan dalam Catatan: Baris "hari ini tak ada yang tercatat dalam buku" mencerminkan rasa pengangguran yang dirasakan penyair. Ia merasa kehidupannya tidak memiliki pencapaian yang terlihat atau diakui.

Takada Ruang untuk Menunggu: Puisi menyiratkan ketidakpastian dan kegelisahan dengan menyatakan "tak ada ruang yang terbaik buat menunggu." Penggunaan kata "terbaik" menunjukkan bahwa pengangguran tersebut tidak memiliki tempat yang layak atau dihormati untuk menunggu pekerjaan.

Hari-Hari yang Tidak Dihitung: Baris "tak pernah lagi hari-hari kuhitung" menciptakan gambaran kehilangan arah dan tujuan dalam hidup penyair. Ketidakpastian dan kekosongan mengelilingi penganggur ini.

Batuan Lelap Menatap: Gambaran batu-batu yang "lelap menatap" menggambarkan ketidakberdayaan dan kematiannya dalam menentukan masa depan. Batu-batu tersebut menjadi simbol ketidakaktifan dan kekakuan.

Teriakan dan Gemuruh: Penggunaan kata-kata seperti "teriakan-teriakan" dan "gemuruh roda-roda kehidupan" menciptakan kontras dengan keheningan penganggur. Ini mencerminkan kehidupan yang terus berputar, sementara penganggur merasa terdiam dan terpinggirkan.

Mengacu pada Diri Sendiri: Penyair kemudian "mengaca pada diri sendiri," menunjukkan introspeksi diri yang mendalam, mungkin merenungkan peran dan eksistensinya di dunia ini.

Nama Tuhan, Sunyi: Penggunaan "Sunyi" sebagai nama Tuhan menarik perhatian. Ini bisa mencerminkan kehadiran Tuhan yang lebih tenang dan lembut, yang menyaksikan setiap peristiwa dan perasaan penyair.

Puisi sebagai Keberadaan: Puisi mencapai puncaknya dengan pernyataan bahwa ketika "segalanya hadir: puisi," penyair menyambutnya sebagai bentuk keberadaan yang nyata dan bermakna.

Selamat Pagi: Puisi ditutup dengan penyair menyampaikan "selamat pagi" kepada Tuhan, menciptakan kesan pengakuan terhadap hari yang baru dan hidup yang terus berlanjut.

Puisi "Pagi Seorang Penganggur" adalah puisi yang menciptakan gambaran intens dan introspektif tentang kehidupan seorang penganggur. Dengan menggunakan bahasa yang mendalam dan simbolisme yang kuat, penyair menyampaikan perasaan kekosongan, introspeksi, dan ketidakpastian yang dialami oleh individu tersebut.

Iman Budhi Santosa
Puisi: Pagi Seorang Penganggur
Karya: Iman Budhi Santosa

Biodata Iman Budhi Santosa:
  • Iman Budhi Santosa pada tanggal 28 Maret 1948 di Kauman, Magetan, Jawa Timur, Indonesia.
  • Iman Budhi Santosa meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2020 (pada usia 72 tahun) di Dipowinatan, Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.