Puisi: Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka (Karya Hadi Utomo)

Puisi "Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka" menggambarkan penderitaan, penindasan, dan hilangnya harapan rakyat kecil dalam konteks politik dan ...
Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka

Dimana kau sembunyikan
wajah mereka yang sebenarnya
wajah anak rakyat yang tengah meratapi
mimpinya yang raib
engkaukah itu perompak
yang telah begitu tega menjarah
dan mencaploknya hingga ludas tandas
Sia-sia saja aku mencarinya
barangkali telah kau benamkan
wajah mereka di antara tetimbunan
sampah bekas nasi bungkus – plastik
air mineral – sobekan kain spanduk
-poster karton – keranda bamboo
pecahan botol bom Molotov – tali rafia
dan bercak darah yang tercecer
mengering di antara selokan dan trotoar

Sia-sia saja aku mencarinya
di antara puluhan ribu jejak kaki
yang berubah jadi kepulan debu
dalam insiden unjuk rasa berdarah
hari itu

Ah, sejarah yang panjang
selalu saja berulang
mesin penindasan tidak berhenti menderu
di atas kepala mereka
ujung pisau belatimu menempel di tenggorokan
dengan kejamnya kau seret mereka
ke pojok
kau lucuti bagikan pesakitan
dan telunjukmu di atas jidad
mereka:
"Kedaulatan dan perjanjian rakyat
sudah
menjadi tembelek atau tai ayam
Menangislah untuk Locke dan
Rousseau,
Demokrasi sudah ditelan bumi
Merataplah untuk Voltaire dan
Montesqueu..."

Sampai hari ini
aku masih sia-sia mencarinya
wajah anak rakyat yang kehilangan
mimpi
tentang indahnya demokrasi.

Tegal, 2001

Analisis Puisi:

Puisi "Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka" karya Hadi Utomo adalah sebuah karya yang menggambarkan penderitaan, penindasan, dan hilangnya harapan rakyat kecil dalam konteks politik dan sosial. Dengan narasi yang penuh kecaman terhadap kekuasaan dan penguasa, puisi ini menyajikan gambaran suram tentang mereka yang terpinggirkan dan kehilangan hak-hak dasar mereka. Melalui simbolisme kuat dan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah, Hadi Utomo mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakadilan sosial dan keteguhan hati mereka yang terzalimi.

Wajah yang Hilang: Representasi Rakyat yang Terpinggirkan

Puisi ini dimulai dengan pertanyaan provokatif, "Dimana kau sembunyikan / wajah mereka yang sebenarnya / wajah anak rakyat yang tengah meratapi / mimpinya yang raib." Dalam kalimat ini, Hadi Utomo menyoroti kehilangan identitas dan hak-hak rakyat kecil yang tidak lagi diperhatikan dalam arus perkembangan zaman. Wajah "anak rakyat" yang dirujuk dalam puisi ini adalah representasi mereka yang terabaikan dan dipinggirkan dalam struktur sosial dan politik yang tidak adil. Wajah-wajah ini mewakili penderitaan mereka yang tidak bisa bersuara, yang mimpinya lenyap, terabaikan oleh ketidakadilan yang terus berlangsung.

Ketidakmampuan untuk menemukan wajah-wajah tersebut menjadi simbol dari ketidakpedulian negara atau pihak berkuasa terhadap rakyat kecil. Mereka hilang di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, terkubur dalam kemiskinan, penindasan, dan ketidaksetaraan.

Penindasan dan Kezaliman: Tanggung Jawab Penguasa

Selanjutnya, puisi ini dengan tajam mengarahkan kritik kepada mereka yang berkuasa, "engkaukah itu perompak / yang telah begitu tega menjarah / dan mencaploknya hingga ludas tandas." Kata-kata ini menyebutkan perompak dengan konotasi yang sangat kuat, merujuk pada pihak yang dengan sengaja merampas hak dan kehidupan rakyat kecil demi kepentingan pribadi atau kelompok. Hadi Utomo menggambarkan mereka sebagai perampok yang tidak hanya menghisap kekayaan negara, tetapi juga menghancurkan kehidupan rakyat yang seharusnya dilindungi.

Kritik ini semakin tajam dengan penggambaran suasana tempat mereka yang terpinggirkan. Wajah-wajah yang hilang itu diyakini telah "dibenamkan" di antara sampah-sampah sosial, seperti "sampah bekas nasi bungkus – plastik / air mineral – sobekan kain spanduk / -poster karton – keranda bamboo." Sampah-sampah tersebut adalah metafora dari kehidupan mereka yang terbuang, diabaikan, dan dihancurkan oleh sistem yang ada. Benda-benda yang dianggap remeh ini menjadi simbol dari kenyataan pahit yang dialami oleh mereka yang tidak pernah diperhitungkan dalam proses-proses politik atau ekonomi.

Kekerasan dan Kematian: Jejak Unjuk Rasa Berdarah

Puisi ini juga mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa berdarah yang terjadi dalam sejarah unjuk rasa dan perlawanan rakyat. Dengan kata-kata seperti "di antara puluhan ribu jejak kaki / yang berubah jadi kepulan debu / dalam insiden unjuk rasa berdarah / hari itu," Hadi Utomo mengingatkan kita pada pengorbanan yang telah dilakukan oleh banyak orang dalam mencari keadilan dan demokrasi. Jejak kaki yang berubah menjadi debu melambangkan usaha-usaha rakyat yang sia-sia, perjuangan yang terhenti karena kekerasan dan penindasan.

Istilah "unjuk rasa berdarah" ini menggambarkan realitas yang mengerikan, di mana mereka yang berani menuntut hak-hak mereka sering kali dihadapkan pada kekuatan represif yang kejam, baik itu dalam bentuk kekerasan fisik maupun penindasan politik. Puisi ini mencerminkan betapa seringnya suara rakyat kecil dikalahkan oleh kekuatan yang lebih besar, yang terus melanggengkan ketidakadilan.

Kritik terhadap Demokrasi dan Pemikiran Barat

Hadi Utomo juga mengkritik gagasan demokrasi dan pemikiran-pemikiran besar Barat yang seharusnya membela hak-hak rakyat. Dalam bait "Kedaulatan dan perjanjian rakyat / sudah / menjadi tembelek atau tai ayam / Menangislah untuk Locke dan / Rousseau, / Demokrasi sudah ditelan bumi," terdapat sindiran tajam terhadap gagasan-gagasan demokrasi yang sebenarnya tidak terwujud dalam realitas sosial dan politik. Locke dan Rousseau, yang dikenal sebagai pemikir besar yang mengemukakan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, dijadikan simbol untuk menggambarkan bahwa cita-cita demokrasi mereka sudah "ditelan bumi."

Kalimat "Demokrasi sudah ditelan bumi" menunjukkan bahwa idealisme demokrasi, yang seharusnya menjadi dasar pemerintahan yang adil, telah terkubur oleh realitas buruk yang terjadi di masyarakat. Demokrasi hanya tinggal sebuah nama besar tanpa wujudnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, Hadi Utomo menunjukkan bahwa meskipun secara teoritis demokrasi mengusung nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan, dalam praktiknya hal tersebut seringkali tidak tercapai, bahkan terkadang justru menjadi alat penindasan bagi mereka yang lemah.

Simbolisme Kesia-siaan dan Keputusasaan

Penyampaian kesia-siaan dalam mencari wajah mereka yang hilang, yang berulang-ulang disebutkan dalam puisi ini, menciptakan kesan putus asa. Wajah-wajah yang hilang itu mewakili kehancuran harapan dan impian rakyat kecil yang terabaikan. Pencarian ini adalah simbol dari perjuangan yang sia-sia, di mana meskipun ada upaya untuk menemukan keadilan dan kebenaran, hal itu selalu berakhir dengan kekecewaan.

Bait terakhir puisi ini, "Sampai hari ini / aku masih sia-sia mencarinya / wajah anak rakyat yang kehilangan / mimpi / tentang indahnya demokrasi," mengungkapkan rasa keputusasaan yang mendalam. Mereka yang terpinggirkan tidak hanya kehilangan hak-hak mereka, tetapi juga kehilangan impian akan masa depan yang lebih baik, sebuah masa depan yang dijanjikan oleh prinsip-prinsip demokrasi.

Puisi "Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka" karya Hadi Utomo merupakan kritik sosial yang tajam terhadap sistem pemerintahan yang tidak mempedulikan rakyat kecil. Melalui gambaran-gambaran suram tentang penindasan, kekerasan, dan kehancuran mimpi, puisi ini menunjukkan bagaimana demokrasi yang ideal sering kali tidak terwujud dalam kenyataan. Hadi Utomo mengajak pembaca untuk merenung tentang ketidakadilan sosial yang ada di sekitar kita, serta untuk menyadari bahwa banyak suara rakyat kecil yang tenggelam dan terlupakan dalam kebisingan sejarah.

Dengan gaya bahasa yang penuh makna dan simbolisme yang kuat, puisi ini berhasil menggugah perasaan dan memaksa kita untuk melihat kenyataan pahit yang seringkali tersembunyi. Wajah-wajah yang hilang itu bukan hanya representasi dari rakyat yang terpinggirkan, tetapi juga peringatan akan pentingnya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.

Hadi Utomo
Puisi: Dimana Kau Sembunyikan Wajah Mereka
Karya: Hadi Utomo

Biodata Hadi Utomo:
  • Hadi Utomo lahir pada tanggal 26 Januari 1939 di Pekalongan, Batang, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.