Puisi: Gempa Bumi Majene (Karya Husain Landitjing)

Puisi "Gempa Bumi Majene" menciptakan suatu lukisan kata-kata yang kuat dan penuh emosi untuk merespon bencana gempa bumi di Majene. Dengan ...
Gempa Bumi Majene


ada lagikah makna peringatan besar yang lain di luar bencana
di luar segala ini, di sini?
tidakkah arah kejadian semacam ini, Tuhan, telah memanggil-manggil
untuk bisa datang lebih mendekat pada rahmat luhur-Mu,
ketika bumi menghamilkan kemualan liar dalam detik-detik pesona
sementara getaran nanar mempercepat takut menggila
yang semakin jauh dari Kasih-Mu;
ah, Tuhan, kami sudah mengada dalam kegelapan semesta yang fana
menista diri dengan keluh
lantaran duka dan sunyi,
kepada-Mu;
tatkala langit pucat planit jauh pun tersedu
gerimis jatuh resah di pohon-pohon
di siang suram yang panas
sebab suara arus gaib di bawah tanah ini,
semacam keinginan-keinginan terpendam di balik baju compang-camping
ketika waktu membisu
ketika masa rindu membatu
di sini,
dalam getaran-getaran tak pasti
dalam sayup angin selatan
lewat kaca jendela; yang memecah sepi bumi
bagai gema jam dengan kentongan di tikungan jalan yang suram
( — suara gaib dari langit
sementara bumi batuk-batuk hampa
bagai nenek tua
sementara para malaikat turun perlahan
dari sorga — ),
Maka Tuhan telah bersabda:
"jadilah, lalu jadilah ia"
ketika mana mendadak bumi bergoyang bagai buaian
menggoncang-goncang geram ikatan segala ini
putus
pecah menghambur
mengepul dan meluncur
semacam daun musim gugur
bergerak ke dalam,
tertimbun, menghilang
lalu mati,
berpuluh-puluh orang; binatang-binatang, pohon rindang merebah
rumah demi rumah, bangunan megah
sebab bumi tua telah bertingkah
dan matahari kota Majene pingsan seketika
ketika maut sibuk berserak-serak di tanah-tanah bergoyang
sementara angin lembut berembus,
tiada juga mampu membawa penawar
bagi mereka yang kehilangan sesuatu;
maka terdampar tanya tiba-tiba:
apa sudah demikian jauhkan kami dari pada-Mu, Tuhan,
dengan dosa-dosa hitam legam ini?
tidakkah bumi ini Kau hamparkan bagi kami, Tuhan,
hingga mana Kau murka
dan menjadikan gempa bumi di sisi kami, di tengah-tengah rumah?
Tuhan:
teteskan Kasih-Mu dalam musibah besar semacam ini, teteskan
kami telah kehabisan segala kata; kata untuk doa kami
kepada-Mu,
waktu memecah kesunyian ini
kesunyian dari rahmat-Mu;
kami adalah siang suram yang panas terbakar
kami adalah malam larut dari Caya-Mu yang agung,
hembuskan angin lembut-Mu atas kegelisahan ini, Tuhan, sebab
kami akan mengerti segala semesta yang fana; kami, —
akan menerima dengan tulus seperti yang Kau hendaki
di sini,
kami akan mengerti segala semesta yang fana; kami, —
akan menerima dengan tulus seperti yang Kau hendaki
di sini,
ketika arus angkara mengganas dalam tanah
bagai nafsu kemualan bumi yang tua, yang makin menggila
nanar merajalela,
ketika mencium udara luar di atas kota ini,
mengaduh bagai suara rindu
mencari arah pelepasan
akan desakan-desakan gaib
( — mungkin mirip suatu renungan yang besar dan luhur
dari manusia yang sunyi
di tengah gemuruh dunia
yang tiada bunyi
yang tiada caya — ),
dari suatu mukjizat yang penuh rahasia
lewat pancuran air waktu,
dalam tahun-tahun fana
dalam kata-kata
dalam sajak-sajak yang mengalir
dalam laut jiwa yang resah
dalam duka,
yang turun merendah di sini,
Majene,
dan di kota-kota dunia dalam senja
ketika mana dentang hidup tiada gema
di atas padang rumput hijau
padang kasih,
yang telah dijanjikan;
kini,
di tempat ini,
kemualan bumi tua telah jauh mengganggu waktu
arus deras mengombak dalam tanah liat kelabu
mengaum bagai harimau
di siang suram,
dan di sana, dimana maut berserak-serak mencari daging-daging fana
dimana hantu dan roh-roh pada kikuk sendiri
karena,
kemerdekaan telah dinistakan,
keadilan hanya tinggal menyakitkan hati
keangkuhan jadi milik kenyataan
dengan bunyi mulut komat-kamit yang kehilangan arti
kadang membelit dan menyerahkan duka
sebelum istirah penghabisan;
sementara itu,
tanya berlompatan tiba:
apa sudah demikian jauhkah kami dari pada-Mu, Tuhan
dalam saat-saat begini?
dalam setiap musibah dari alam semesta yang fana
sudah demikian beratkah dosa dan kutuk atas hidup kami
hingga Kau tinggalkan di bumi yang semakin gelisah?
Ah, Tuhan,
kami akan mencoba untuk bisa mendekat lagi kepada-Mu
sebab kami mengerti segala ketakkekalan ini,
sebab kami mengerti,
kesementaraan, adalah
bagai uap pagi hari yang dingin mempesona, yang, —
sejenak punah menghilang,
kemudian kami pun mati, mati;


Sumber: Horison (September, 1969)

Analisis Puisi:
Puisi "Gempa Bumi Majene" menciptakan suatu lukisan kata-kata yang kuat dan penuh emosi untuk merespon bencana gempa bumi di Majene. Dengan penggunaan bahasa yang kaya, puisi ini menyampaikan kegelisahan, pertanyaan, dan keputusasaan manusia di tengah-tengah musibah.

Ekspresi Kekuatan Alam: Penyair menggunakan bahasa yang mendalam untuk menggambarkan kekuatan alam. Pilihan kata seperti "bumi menghamilkan kemualan liar" menciptakan gambaran dramatis tentang gempa bumi sebagai proses kelahiran yang penuh keganasan.

Imbauan Spiritual: Puisi mengandung unsur-unsur spiritual dengan sering memanggil Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mencerminkan pencarian makna dan hubungan manusia dengan kebesaran Tuhan di tengah-tengah bencana.

Gelombang Rasa dan Emosi: Melalui penggunaan kata-kata yang mendalam seperti "duka," "sunyi," dan "kesunyian," puisi ini merangkul gelombang emosi dan kehampaan yang dialami oleh para korban gempa.

Pertanyaan Filosofis: Puisi mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang eksistensi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan refleksi mendalam tentang makna hidup dan penderitaan.

Citra Nusantara yang Kuat: Citraan atau imaji yang digunakan menciptakan gambaran yang kuat. Misalnya, "langit pucat planit" menciptakan gambaran tentang keadaan atmosfer dan kondisi langit setelah gempa bumi.

Gema Kerinduan dan Keragu-raguan: Puisi ini menciptakan gema kerinduan dan keragu-raguan terhadap Tuhan. Penyair menyuarakan kerinduannya akan rahmat Tuhan di tengah-tengah penderitaan dan keragu-raguannya apakah manusia telah menjauh dari Tuhan.

Sikap Kehancuran dan Kehilangan: Melalui gambaran kehancuran fisik dan emosional, puisi ini menyoroti kehilangan yang mendalam yang dialami oleh korban gempa bumi. Rumah-rumah hancur dan orang-orang kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.

Pesan Kemanusiaan: Puisi ini menyampaikan pesan kemanusiaan dengan mengekspos kerentanan manusia di hadapan kekuatan alam. Penderitaan dan kehilangan yang dialami oleh masyarakat menjadi panggilan untuk belas kasihan dan pertolongan.

Puisi "Gempa Bumi Majene" tidak hanya merespon bencana secara fisik, tetapi juga menggali kedalaman emosi dan spiritual manusia di tengah-tengah penderitaan. Dengan menggunakan bahasa yang indah dan kuat, puisi ini menjadi suatu bentuk pengenangan dan refleksi mendalam terhadap gempa bumi yang mengguncang Majene.

Husain Landitjing
Puisi: Gempa Bumi Majene
Karya: Husain Landitjing

Biodata Husain Landitjing:
  • Husain Landitjing lahir pada tanggal 23 September 1938 di Makale, Dati II Tana Toraja, Sulawesi.
© Sepenuhnya. All rights reserved.