Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

Puisi: Dari Jejak Berdarah 1949 (Karya Ahmad Yani AZ)

Puisi "Dari Jejak Berdarah 1949" karya Ahmad Yani AZ menggambarkan perjuangan rakyat Kuala Tungkal dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dari Jejak Berdarah 1949

Ketika tanahku berhujankan gerimis darah
Meski sesaat tertatih di ujung tombak, parang bungkul atau badik dan keris langkah takkan surut ntuk menancapkan BELATI KEMERDEKAAN pada TIANG NURANI DAN ABADI
Negriku Kuala Tungkal adalah warisan yang tak lagi sekedar DONGENG SEBELUM TIDURNYA PARA BOCAH
Dan ketika tanahku menangisi luka bunda pertiwi
Di antara pedang-pedang dan bambu runcing terhunus di ujung ufuk pagi
Meski kini hanya ada goresan catatan BERDARAH usang pada prasasti Taman Yudha Satria Pengabuanku, Pahlawan Pejuangku
Namun semangat Selempang Merah takkan padam termakan zaman
Sayap-sayap itu takkan patah
Walau kini hanya mampu menaburkan kamboja dan wangi melati di atas puing-puing pusara
Meski kita saat ini hanya mampu mengais sisanya
Meski kini hanya mampu menyerahkan bait-bait doa
Bersama SANG SAKA MERAH PUTIH yang semakin tegar menuju BUMI SERENGKUH DAYUNG SERENTAK KE TUJUAN MASA DEPAN
Ketika tanahku membumikan peluh makna kemerdekaan dalam hutan belantara UJUNG JABUNG
Kini KITA kembali memungut sisanya menuju jalan pulang mengais makna yang sempat tercecer di pelataran waktu
Untuk menata kehidupan KUALA TUNGKAL HEBAT DAN LEBIH CEMERLANG Meski beragam suku yang melebur namun KITA ADALAH SATU DALAM GENGGAMAN.. BERSAMA TUA TENGGANAI, TOKOH ADAT, TOKOH MASYARAKAT, GENERASI MUDA DAN RAKYAT. AKAN SEMAKIN MERAWATMU BARISAN SELEMPANG MERAH DI ANTARA BENING HARU AIR MATA

PAHLAWAN NEGERI KUALA TUNGKALKU
PANGLIMA ADUL
PANGLIMA SALEH
PANGLIMA CAMAK
PANGLIMA HAMID
PANGLIMA SAMAN
NAMAMU, JASAMU TAKKAN HILANG DI HATI KAMI

Kuala Tungkal, 6 Agustus 2014 pukul 03. 00 dini hari/21 Agustus 2014, pukul 21.45 WIB

Analisis Puisi:

Puisi "Dari Jejak Berdarah 1949" karya Ahmad Yani AZ adalah sebuah karya yang menggugah jiwa dan penuh dengan semangat heroik. Melalui bait-bait yang kaya akan makna, puisi ini menggambarkan perjuangan rakyat Kuala Tungkal dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan bahasa yang mendalam dan penuh emosi, Ahmad Yani AZ berhasil menangkap esensi dari pengorbanan dan keberanian para pahlawan.

Puisi ini dimulai dengan gambaran yang dramatis: "Ketika tanahku berhujankan gerimis darah." Kalimat ini menggambarkan betapa kerasnya perjuangan yang dialami oleh rakyat Kuala Tungkal, di mana darah menjadi bagian dari hujan yang turun di tanah mereka. Penggunaan metafora seperti "tombak, parang bungkul atau badik dan keris" menunjukkan alat-alat sederhana yang digunakan dalam perjuangan, tetapi juga mengisyaratkan kekuatan dan keteguhan hati mereka.

Ahmad Yani AZ kemudian menekankan bahwa perjuangan ini tidak akan surut: "langkah takkan surut untuk menancapkan BELATI KEMERDEKAAN pada TIANG NURANI DAN ABADI." Kata-kata ini menunjukkan tekad yang kuat untuk mencapai kemerdekaan, yang dianggap sebagai sesuatu yang suci dan abadi. Negeri Kuala Tungkal digambarkan sebagai warisan yang tidak hanya menjadi dongeng sebelum tidur, tetapi sebagai kenyataan yang harus dihormati dan dijaga.

Penghormatan untuk Para Pahlawan

Puisi ini memberikan penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang: "Di antara pedang-pedang dan bambu runcing terhunus di ujung ufuk pagi." Gambar pedang dan bambu runcing mencerminkan alat-alat yang digunakan dalam perjuangan kemerdekaan, sementara "ujung ufuk pagi" melambangkan harapan dan permulaan baru yang diharapkan datang setelah perjuangan panjang.

Ahmad Yani AZ juga menekankan bahwa meskipun saat ini hanya ada goresan catatan berdarah di prasasti Taman Yudha Satria, semangat para pahlawan tidak akan pernah padam: "Namun semangat Selempang Merah takkan padam termakan zaman." Selempang Merah mungkin merujuk pada simbol keberanian dan perlawanan yang dikenang oleh generasi penerus. Bahkan jika kita hanya bisa menaburkan bunga di pusara mereka, semangat mereka tetap hidup dalam hati kita.

Kesatuan dalam Keberagaman

Puisi ini juga menyampaikan pesan tentang kesatuan dalam keberagaman: "Meski beragam suku yang melebur namun KITA ADALAH SATU DALAM GENGGAMAN." Kuala Tungkal digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan berbagai suku yang bersatu untuk merawat dan menjaga warisan perjuangan. Ahmad Yani AZ menyoroti pentingnya persatuan dan kolaborasi antara tokoh adat, masyarakat, generasi muda, dan rakyat untuk mencapai tujuan yang lebih cemerlang.

Penghormatan Akhir

Di akhir puisi, Ahmad Yani AZ memberikan penghormatan khusus kepada pahlawan-pahlawan negeri Kuala Tungkal: "PAHLAWAN NEGERI KUALA TUNGKALKU / PANGLIMA ADUL / PANGLIMA SALEH / PANGLIMA CAMAK / PANGLIMA HAMID / PANGLIMA SAMAN." Nama-nama ini diabadikan sebagai simbol keberanian dan pengorbanan yang tidak akan pernah dilupakan. Mereka adalah pahlawan yang jasanya terus dikenang dan dihormati oleh generasi penerus.

Puisi "Dari Jejak Berdarah 1949" karya Ahmad Yani AZ adalah sebuah karya yang kaya akan makna dan penuh dengan semangat perjuangan. Melalui bahasa yang mendalam dan simbolisme yang kuat, puisi ini menggambarkan pengorbanan dan keberanian para pahlawan Kuala Tungkal dalam mempertahankan kemerdekaan. Pesan tentang persatuan dalam keberagaman dan pentingnya menghormati warisan perjuangan juga menjadi inti dari puisi ini. Ahmad Yani AZ berhasil menyampaikan sebuah kisah yang tidak hanya mengingatkan kita pada masa lalu, tetapi juga menginspirasi kita untuk terus menjaga dan merawat nilai-nilai perjuangan tersebut.

Puisi Ahmad Yani AZ
Puisi: Dari Jejak Berdarah 1949
Karya: Ahmad Yani AZ

Biodata Ahmad Yani AZ:

Ahmad Yani AZ lahir di Kuala Tungkal (Bungsu dari 9 bersaudara, 11 Februari 1969. Sejak kelas 4 SD sudah mulai mencoba untuk terjun ke dunia kepenulisan dan sampai SLTA maupun saat melanjutkan studi pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta sampai sekarang ini. Yang pada waktu itu mengikuti test pada Universitas Jambi, IKIP Karang Malang dan Institut Seni Indonesia Jurusan Tari, justru lulus pada Akademi Komunikasi Jurnalistik Yogyakarta (tahun 1993).

Di samping menekuni dunia kepenulisan, juga sambil aktif mengisi waktu masuk di sanggar Natya Lakshita Yogyakarta pimpinan Didik Nini Thowok (3 bulan) dan LPK. Kepenyiaran Radio & TV (Jurusan Kepenulisan Naskah 1994).

Selesai di Akademi Komunikasi Yogyakarta dan kembali ke kampung halaman, kemudian menjadi Freelance Journalist (dan magang) di Harian Independent (yang sekarang Jambi Independent) kemudian aktif menulis di rubrik opini dan budaya di Pos Metro, Jambi Ekspres dan sempat menjadi Kabiro/Reporter Mingguan Jambi Post (1998-2000), Pimred Bulletin Poltik KIN RADIO (2004), kemudian diminta menjadi staf redaksi Mingguan Media Pos Medan (lebih kurang 1,5 tahun: 2002), Wakil Sekretaris Pincab. Pemuda Panca Marga (2001–2014), Bagian Seni Budaya/Pariwisata Pemuda Panca Marga Tanjab Barat 2014-2018 dan 2009-2012 Freelance Journalist: Harian Radar Tanjab, Pos Metro, Jambi Eks, Jambi Independent, Infojambi, Tipikor Meda, Harian Jambi, Tribun, Staf Disporabudpar Tanjab Barat (November 2014 sampai sekarang Wartawan/Pengasuh Rubrik Seni dan Sastra Harian Tungkal Post). Putra bungsu H. Ahmad Zaini (Tokoh Pejuang/Anggota Veteran, Anggota Laskar Hisbullah, Barisan Selempang Merah & Saksi/Pelaku Sejarah).
© Sepenuhnya. All rights reserved.