Analisis Puisi:
Puisi "Surga" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang mendalam dan penuh refleksi, yang membahas pencarian surga dalam kehidupan manusia. Melalui penggunaan bahasa yang sederhana namun sarat makna, penyair menggali konsep surga dalam hubungannya dengan sosok ibu, serta makna yang lebih luas tentang kehidupan, kenangan, dan keabadian. Dengan merujuk pada telapak kaki ibu sebagai simbol surga, puisi ini menawarkan gambaran tentang bagaimana kehidupan dan pengorbanan seorang ibu dapat dianggap sebagai jalan menuju surga, sekaligus mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan surga itu sendiri.
Surga dalam Perspektif Ibu
Puisi ini dimulai dengan pertanyaan yang paling mendasar dalam pencarian spiritual manusia: "di manakah surga itu?". Pertanyaan ini menggambarkan pencarian universal atas kebahagiaan dan kedamaian. Jawaban yang diberikan oleh orang yang disebutkan dalam puisi ini, yaitu "di telapak kaki ibu", memberikan suatu petunjuk yang sangat simbolis. Telapak kaki ibu, yang seringkali dianggap sebagai simbol penghormatan dan rasa syukur, di sini dimaknai sebagai tempat yang penuh dengan kasih sayang dan pengorbanan, yang mengarah pada pencapaian kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bagi banyak orang, ibu adalah sosok yang memberi kehidupan dan mendidik dengan penuh kasih sayang. Dalam konteks puisi ini, telapak kaki ibu menjadi representasi dari surga, yang mengandung makna bahwa surga dapat ditemukan dalam kasih ibu yang tak terbatas, pengorbanannya, dan ketulusan hatinya. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan betapa pentingnya penghormatan kepada ibu sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati.
Pencarian yang Tak Pernah Berakhir
Namun, penyair mengakui dalam puisi ini bahwa meskipun ia diberi jawaban mengenai di mana surga itu, pemahaman sepenuhnya tetap sulit dicapai: "namun aku tak sepenuhnya tahu / hanya dapat meraba-raba maksudmu". Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat petunjuk yang jelas, pencarian makna surga dalam kehidupan tetap menjadi perjalanan yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Seperti halnya dalam kehidupan nyata, kita seringkali tidak dapat sepenuhnya memahami kedalaman kasih sayang seorang ibu, bahkan meskipun kita merasakannya.
Meraba-raba maksud ini bisa diartikan sebagai usaha manusia untuk mengerti sesuatu yang lebih besar, yang tidak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata atau pemahaman rasional. Pengalaman batin dan spiritual sering kali berada di luar jangkauan akal manusia, dan inilah yang membuat pencarian makna surga menjadi proses yang terus berlangsung sepanjang hidup.
3. Kitab Tanpa Nama: Pencarian Makna yang Lebih Dalam
Pada bagian berikutnya, penyair menyebutkan "pada kitab tanpa nama itu / kubaca lagi tentang silsilahmu", yang bisa diartikan sebagai usaha untuk menemukan jawaban dalam teks atau ajaran yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kitab ini bisa merujuk pada segala bentuk pengetahuan atau pengalaman hidup yang mengarah pada pemahaman tentang kehidupan dan pencarian surga, yang mungkin tidak selalu berbentuk kitab suci, tetapi juga bisa berupa kenangan, ajaran hidup, atau bahkan pengalaman spiritual pribadi.
Frasa "kisah surga-neraka / sesuatu yang terasa jauh, tapi ada" menggambarkan konsep dualitas dalam kehidupan, di mana surga dan neraka sering kali dianggap sebagai dua sisi yang tidak terpisahkan. Meskipun kedua konsep ini mungkin terasa jauh dan tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh akal, tetapi keduanya ada dalam kehidupan manusia, dalam tindakan, pilihan, dan perasaan kita. Keduanya adalah gambaran dari kondisi jiwa manusia, yang senantiasa berada dalam perjalanan antara kebahagiaan dan penderitaan.
Keindahan Puisi dan Nirwana
Penyair kemudian memohon untuk diberikan "keindahan puisi / nirwana yang tak terasa fana / membekas di ingatan, di hati". Bagian ini menyiratkan bahwa puisi dan seni memiliki peran penting dalam pencarian spiritual manusia. Puisi dianggap sebagai jalan untuk meraih keindahan dan kedamaian abadi, atau nirwana, yang tidak terlepas dari kehidupan fana ini. Keindahan puisi dianggap sebagai bentuk kebahagiaan yang dapat membekas dalam ingatan dan hati, meskipun ia tidak selalu dapat dijelaskan atau diukur.
Sebagai bentuk ekspresi seni, puisi memiliki kekuatan untuk menyentuh perasaan terdalam pembacanya, menghubungkan manusia dengan pengalaman dan makna yang lebih besar. Dalam konteks ini, puisi menjadi alat untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat universal dan abadi, yang tak dapat digapai dengan cara yang biasa.
Kenangan tentang Ibu yang Muncul Secara Tiba-tiba
Puisi ini diakhiri dengan refleksi tentang kenangan yang muncul tentang ibu, "bagaimana mungkin aku mengerti / kenangan tentang ibu muncul sesekali". Kenangan ini datang secara tiba-tiba, mungkin dalam bentuk rasa rindu atau pengakuan tentang betapa besar peran ibu dalam kehidupan seseorang. Munculnya kenangan tentang ibu menunjukkan bahwa surga bukan hanya sebuah tempat, melainkan juga sebuah perasaan yang terhubung dengan kenangan dan pengalaman batin.
Kenangan ini mungkin tidak selalu hadir secara konstan, tetapi ketika ia datang, kenangan itu mengingatkan kita tentang kehadiran ibu yang memberi kasih sayang dan mengarahkan kita pada makna yang lebih dalam tentang kehidupan dan surga itu sendiri.
Puisi "Surga" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggugah perasaan dan menggali makna tentang surga, kehidupan, dan cinta. Melalui simbol telapak kaki ibu, puisi ini mengajarkan kita bahwa surga dapat ditemukan dalam kasih sayang ibu yang tulus dan pengorbanan yang tak terhingga. Meskipun pencarian makna surga tidak selalu mudah dan penuh dengan keraguan, puisi ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati sering kali datang dari kasih sayang yang kita terima dan berikan, terutama dalam hubungan yang paling fundamental, yaitu hubungan antara ibu dan anak.
Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini tidak hanya menyoroti keindahan hubungan ibu-anak, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan makna surga dalam kehidupan kita, baik dalam bentuk pengertian spiritual maupun kenangan-kenangan yang tak terhingga.
Puisi: Surga
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.
Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.