Puisi: Perhitungan Habis Tahun (Karya Ajip Rosidi)

Puisi "Perhitungan Habis Tahun" karya Ajip Rosidi menggambarkan perenungan seorang individu di akhir tahun, menilai kembali keputusan-keputusan ...
Perhitungan Habis Tahun (1)

Apa lagi yang tinggal
Karena bagimu tiada 'kan sesal:
Toh segalanya telah matang ditimbang!

Telah kaumasuki
Semua lorong dan pelosok bumi
Telah kaucium
Bunga paling harum, buah paling ranum
Dam telah kutempuh
Segala jalan hingga pun yang paling jauh.

Lalu kauambil langkah
Kaupetik buah dari dahan yang rendah
"Inilah! Tak kumau yang lain!"
Maka masihkah kini mungkin
Kaulemparkan lagi hingga pecah cermin!

Perhitungan Habis Tahun (2)

Kaubilang: "Apa pun jua
Dalam kenangan letak nilainya!"
Lalu kauisap pipa, kaunikmati secangkir kopi
Sambil bersandar
Kaukunyah jagung bakar
Dan dengan tenteram kaubaca koran, lalu kausimpulkan:
"Telah kupilih jalan terbaik
Karena yang lain semua munafik.
Kupilih jalan yang membawa selamat
Karena orang pun menaruh hormat
Mendengarkan aku mengeluarkan pendapat.

Dan sambil meram terpejam
Kaurenangi ketenangan senja
Yang terganggu oleh teriakan anak-anak di lapangan
Memperebutkan layangan.

Perhitungan Habis Tahun (3)

"Tiada kucari
Segala yang mempersulit diri. Bodohlah
Mereka yang tak mau yang mudah."

Lalu kauanggap kaulah paling cekatan
Mengayuh biduk mengarungi lautan. Tak tahu
Laut malah diterjang gelombang:
Yang nampak piala kehormatan terbukti belati
Mengancam mati.

Kaucoba pertahankan
Hempasan badai dengan seutas benang:
— Mana dapat?
Sehingga sia-sia kau mengumpat
Sia-sia kau membela diri
Meski kauhadirkan saksi-saksi

Mengapa tidak kauakui saja
Telah kaubeli karcis yang salah
Telah kaunaiki kapal sesat
Meski sebagai penumpang gelap?

(Karena terkadang
Hal yang kelihatan gampang
Adalah tumpukan kesulitan
adalah gunung kesukaran
Adalah risiko terbesar
Yang daripadanya kau tak mungkin terhindar)

Perhitungan Habis Tahun (4)

Kauusap sayang kepada anakmu sulung
Sementara kau pun tahu: Derita menanggung
Adalah hari depannya yang 'kan selalu mengepung
Karena telah kaupermainkan jari nasib dengan curang
Sehingga ia terasing dari kasih sayang
("Anak-anak adalah taman
anak-anak adalah boneka
Namun mereka meraihkan tangan
Meminta Cinta")
("Anak-anak adalah bunga
Anak-anak adalah bidadari
Yang mengulurkan tangan
Dari pintu surga")

"Pergilah main!" kaubilang
Padahal kauingin lupakan segala kenangan
"Pergi!"
Namun kauhindari matanya yang memandang
Karena kau pun mengerti
Tiada yang lain 'kan seperti anakmu mendakwa
("anak-anak
anak-anak adalah jarum
anak-anak adalah peniti
Yang mencucuk mata
Namun tak berdosa")

Lalu kaurebahkan tubuhmu
Tapi ranjang bukan ranjang dulu lagi
Bantal juga bukan lagi bantal lama
Kini berduri dan berapi
Sehingga kau berdiri
Kauambil sepatu dan topi
Dan berjalan
Menempuh malam yang basah oleh hujan
("Jari-jari malaikat
menusuk-nusuk muka
Lalu cair di bumi coklat
Yang menguapkan bencana")

Kau pun terkenang
Akan jalan-jalan kehidupan
Akan sahabat-sahabat, kawan-kawan seperguruan
Yang selama ini kauhindari
Karena kau tak suka teguran dan peringatan
Tinggalah sendiri:
— Juga matahari
Kaujauhi!

Perhitungan Habis Tahun (5)

Lorong kehidupan yang kutempuh
Bukan hanya tempat menjangkarkan sauh untuk berlabuh
Seperti segala jalan
Tidak semua menuju ke arah taman

Kausigi kenyataan
Tidak hanya yang nampak di mata
Terasa sebagai permainan, menyentuh-nyentuh Kebenaran
Namun tak kunjung sampai pada intinya!

Kauanggap hidup ini semata persinggahan
atau senyampang suatu impian —
Maka kautolak Nabi-nabi yang membawa kebenaran
Lalu kaupilih sesamamu sendiri
Siapa yang paling berkenan di hati
— Meski tidak semudah
Memilih bunga yang paling indah.

Kausadari kefanaan segala
Yang melekat dalam hakikat manusia. Kaubilang: "Jadi apa lagi
Yang mesti dibela dengan taruhan mati? Sekali ini
Dan hanya sekali ini aku singgah di bumi, lalu habislah
Menjadi mangsa cacing dan renik
Yang berpesta sampai pun atas jasad paling cantik!"

Waktu berlalu tiada henti
Bersama ubanmu yang tumbuh tak kaumaui
Tapi hati —
Ah, adakah yang ingin selalu remaja seperti hati?
Tahun demi tahun lewat
Terbenam dalam kenangan yang sesekali teringat
Tapi hati —
Adakah lagi yang lebih tegas menolak mati?

Sudah kaulingkari
Separo belahan bumi: Dari Tokyo hingga Helsinki
Dan di mana-mana
Selalu kaudapati dirimu yang dikejar-kejar
Untuk menyatakan sesuatu yang benar: Begitu sederhana
Namun begitu dihindari
Dalam hidup yang fana ini.

Perhitungan Habis Tahun (6)

Kini semuanya telah menjadi riwayat
yang mungkin dicatat oleh para perawi
Yang gemar meneliti. Namun bagimu sendiri
Satu jilid kehidupan sudahlah tamat.

Mungkin kauambil buku yang lain
Tapi kau akan sia-sia
Mencoba menutup segala yang terbaca
Karena bukankah: apa pun jua
Dalam kenanganlah letak nilainya?

Harus kauambil cermin
Untuk menemukan Kebenaran lain
Daripada yang nampak di tepi langit
Yang selama ini tak pernah kaulihat selain bukit
Padahal hutan-hutan lebat
Adalah dunia yang senantiasa minta pengamatan
Adalah kehidupan yang senantiasa minta perhatian

Dan sebelum melangkah
Lebih dulu kautetapkan: "Dalam hujan berbasah-basah
Atau kupilih kamar sendiri
Di mana diriku terasing
— juga dari segala yang kusayang. Tiada lagi
Tempat buat berpaling...."

Kauharus yakin dulu: Hidupku di dunia
Mesti berada di tengah-tengah manusia. Dan rakyat —
Adalah sesuatu yang paling dekat
Adalah kenyataan paling mesra
Adalah kekuatan hakiki
Tak boleh terpisah
Selama berjuang
Dalam iman menegakkan kebenaran...?

                        Insya Allah!

1965-1966

Sumber: Jeram (1970)

Analisis Puisi:

Puisi "Perhitungan Habis Tahun" karya Ajip Rosidi adalah refleksi mendalam tentang kehidupan, pilihan, dan penyesalan. Terdiri dari enam bagian, puisi ini menggambarkan perenungan seorang individu di akhir tahun, menilai kembali keputusan-keputusan hidup dan merenungkan arti serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Melalui bahasa yang kuat dan simbolis, Ajip Rosidi mengajak pembaca untuk merenungkan hidup mereka sendiri.

Struktur dan Gaya Bahasa

  • Struktur Bertahap: Puisi ini terdiri dari enam bagian, masing-masing bagian menggali lebih dalam refleksi dan perasaan si pembicara. Setiap bagian berfungsi sebagai langkah perenungan yang lebih dalam, dari evaluasi tindakan hingga refleksi spiritual.
  • Bahasa Simbolis: Ajip Rosidi menggunakan simbolisme yang kaya untuk menggambarkan perjalanan hidup dan perenungan. Misalnya, "cermin" melambangkan refleksi diri dan "benang" melambangkan usaha yang sia-sia untuk mempertahankan sesuatu yang rapuh.
  • Penggunaan Dialog Internal: Dialog internal pembicara mencerminkan keraguan dan keyakinan yang bertentangan, menciptakan ketegangan emosional yang mendalam. Pembicara berbicara pada diri sendiri, menimbang setiap keputusan dan konsekuensi dengan cermat.

Tema dan Makna

  • Refleksi dan Penyesalan: Tema utama puisi ini adalah refleksi terhadap kehidupan dan penyesalan atas keputusan-keputusan yang diambil. Pembicara menyadari kesalahan dan kebodohan yang dilakukan, serta dampaknya terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama anaknya.
  • Keputusan dan Konsekuensi: Puisi ini menekankan pentingnya setiap keputusan yang diambil dalam hidup. Bagian ketiga, misalnya, menggambarkan bagaimana memilih jalan yang mudah dapat membawa risiko terbesar dan kesulitan yang tak terduga.
  • Kenangan dan Nilai Hidup: Bagian kedua dan keenam menekankan bahwa kenangan adalah tempat nilai hidup berada. Meskipun mungkin terdapat penyesalan, kenangan tersebut membentuk siapa kita dan memberikan pelajaran berharga.

Karakter dan Perspektif

  • Pembicara: Karakter utama dalam puisi ini adalah individu yang merenung di akhir tahun, mengevaluasi kehidupannya. Pembicara menunjukkan kesadaran diri yang mendalam dan kemauan untuk menghadapi kebenaran pahit tentang pilihan hidupnya.
  • Anak: Anak dari pembicara muncul dalam bagian keempat sebagai simbol harapan dan masa depan. Namun, anak juga mengingatkan pembicara akan tanggung jawab dan beban yang telah ditangguhkan oleh keputusan-keputusan yang salah.

Simbol dan Metafora

  • Cermin: Cermin adalah simbol utama dalam puisi ini, melambangkan refleksi diri dan kebenaran yang tak terhindarkan. Pembicara dihadapkan pada realitas hidupnya dan tidak bisa lagi menghindari kebenaran.
  • Laut dan Badai: Laut dan badai melambangkan perjalanan hidup yang penuh tantangan dan kesulitan. Mengayuh biduk mengarungi lautan adalah metafora untuk perjalanan hidup yang penuh risiko dan tidak dapat diprediksi.
  • Anak-Anak: Anak-anak melambangkan kepolosan, harapan, dan juga tanggung jawab. Mereka adalah pengingat bahwa tindakan dan keputusan kita mempengaruhi generasi mendatang.

Emosi dan Suasana

  • Melankolis dan Reflektif: Suasana puisi ini adalah melankolis dan penuh refleksi. Pembicara merenungkan hidupnya dengan penyesalan dan introspeksi yang mendalam.
  • Ketegangan dan Keputusan: Ada ketegangan emosional yang kuat dalam puisi ini, terutama ketika pembicara berhadapan dengan kebenaran pahit tentang pilihannya. Keputusan dan konsekuensi menciptakan konflik internal yang signifikan.
Puisi "Perhitungan Habis Tahun" karya Ajip Rosidi adalah puisi yang menggugah perenungan mendalam tentang kehidupan, pilihan, dan penyesalan. Melalui struktur yang bertahap, simbolisme yang kaya, dan dialog internal yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan mereka sendiri dan menghadapi kebenaran tentang keputusan-keputusan mereka. Puisi ini menekankan bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi dan bahwa kenangan, meskipun mungkin pahit, adalah bagian tak terpisahkan dari nilai hidup kita. Dalam kesederhanaan narasinya, puisi ini berhasil menyampaikan pesan yang mendalam tentang arti kehidupan dan pentingnya refleksi diri.

Puisi Ajip Rosidi
Puisi: Perhitungan Habis Tahun
Karya: Ajip Rosidi

Biodata Ajip Rosidi:
  • Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
  • Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
  • Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Lagu KerinduanWajahmu antara batang kelapa langsing menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana mengiku…
  • Tamu Malam (1) Jingga membayang Dan langit lembayung Tenteram dan lengang Seluruh kampung. Kian gelap dan sunyi Bintang-bintang bekerdipan sama sendiri Nafas malam berat …
  • Pantun Pulau Seribu Pulau Seribu di Teluk Jakarta laut tenang langit kelabu; Hati rindu tak menemukan kata hendak bersimpuh di pangkuanmu. Pulau Seribu kebun kelapa nela…
  • Panggilan Mesti kutinggalkan hidup tenang Mesti pergi ke kehidupan gelombang Dan mengerti riak tersenyum pedih Ia bangunkan warna tanpa dosa: putih. Lalu…
  • Mata Derita Ada yang datang bermata derita pagi berwarna olehnya Ada perawan bermata derita berselendang angin remaja Ada yang memandang ke dalam hatiku bum…
  • Pantun Air Mancur Air mancur di jalan Thamrin tempat mandi anak jalanan; Takkan keliru dengan yang lain kalau denganmu berhadapan. Air mancur memancar je…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.