Puisi: Muaradua (Karya Mansur Samin)

Puisi "Muaradua" bukan hanya sekedar narasi sejarah, melainkan juga membawa pesan moral dan filosofis yang dalam. Melalui cerita tragis konflik ...
Muaradua

Maka atas titah Dewata
telah tercipta dua muara
letaknya nun di wilayah Angkola
antara Sitinjak, Batunadua

Sebuah risalah di tengah pribumi
tetap terpelihara hingga kini
ada raja Si Gempalangit
penguasa luhak batas Mandailing
karena ditimpa penyakit
menyerahkan tahta
kepada putra belia
Sidoppak dan Porkaslela

Di barat kuasa Sidoppak bertanah subur
di utara kuasa Porkaslela berbukit kapur
bertahun diperintah saudara sekandung
menjunjung adat, hukum leluhur

Ketika di barat musim menugal
tersiar berita kemana-mana:
Porkaslela melanggar batas
para dan tusam ditebas
dan kaum peladang
banyak tak pulang
disamun di jalan

Atas mupakat pemelihara adat:
Siapa pemula sengketa
raja utara atau di barat
sebab dengki atau loba?

Kala gerimis tengah hari
pribumi himpun di balai
putusan tidak tercapai

Dari keranda Gempalangit bertitah:
Ananda Sidoppak
tinggal kalian dua saudara
pewaris hukum, kuasa Angkola
pelihara adat, pelihara pribumi
selamatkan ke jalan damai

Sidoppak menekur lama
lalu menjawab titah ayahanda:
Hukum pusaka telah ternoda
dilanggar dinda Siporkaslela
menanam bibit selisih
sebab tak kuasa mengekang diri
seharian di balai judi
malam di istana dilipur tari

jika kehabisan wang
menyuruh hulubalang
menyamun orang

Apa jadinya pesan leluhur
jika dibiarkan kejahatan subur?

Yang tertua jadi pelita
sebagai suluh untuk adiknya

Tika pribumi menuai gambir
berpulanglah Si Gempalangit
karena seharian di balai judi
karena keasyikan dilipur tari
Porkaslela tak munculkan diri

Seminggu sudah rajatua berpulang
berkumpul peradatan
membuka wasiat dan pesan:
Jika ingin hidup sentosa
damailah dua saudara
menjunjung adat pusaka
menjunjung hukum Angkola

Diundang Porkaslela
berbulan tak ada berita

Berlaku utusan kedua
dibalas lain pula:
Sidoppak loba pusaka
membunuh ayah dengan racunnya
kutuklah bagi si doppak
putus tali saudara

Pribumi dirubung sedih:
damai tak mungkin lagi

Bertahun tak saling berita
dendam membusuk sudah

Bila senja berangkat malam
anjing menyalak bersautan
burung kulik berciap di jauhan
pribumi pada bertanya:
isarat apa ini kiranya
rizki bagi Angkola
atau alamat ada bahaya?

Tengah pribumi merimbas ladang
terbetik berita dari selatan:
pribumi utara dan Porkaslela
menghimpun dukun. Pandaisenjata
sore di gelanggang bermain tombak
malam di istana beruji ilmukebal

Panen cengkehpun tiba
pribumi di barat berdagang ke utara
perangkatan tak pulang
disamun di hutan

Siapa lagi yang punya ulah
kalau tidak Si Porkaslela?

Di bulan kedua
ladang pribumi utara
dibakar musnah

Tak ada lagi maksud damai
sekalipun sesudara, sekalipun serahim
apakah masih manusia
merampok, membunuh dan menganiaya?

Sebuah sore di balai dalam
dilingkar datu dan peradatan
bersabdalah raja Sidoppak:
Para tua penjunjung hukum yang terhormat
para hulubalang yang perwira
telah tiba waktunya
menghalau nista dari Angkola
angkat senjata!

Setelah berbulan senjata berlaga
kedua pihak sama perkasa

Bulan ketujuh di pagi buta
laskar Porkaslela membanjir dari utara
merompak dan melanda Batunadua
Sidoppak menyingkir ke baratdaya

Gemuruh sorai kemenangan
segala pendekar, segala hulubalang
pesta ria semalaman

Tersebut raja Sidoppak
Setelah tersingkir ke hutan
atau petunjuk datu kenamaan
Kini punya senjata
yang bisa diterbangkan
lewat angkasa

Setelah meneliti langkah
dibuka serangan pertama

Berulang kaki menghentam bumi
mantera diacungkan ke tiap arah
anginpun berdesing
guruh dan kilat bersautan

Sidoppak meludahi bumi
terciptalah tembaga merah
berjalan api
dari ujungnya menjelma sebuah gada
berputar, melayang menuju Porkaslela

Dari barat api tak henti-hentinya
tapi dari utara menyongsong sebuah tombak
menuju raja Sidoppak
maka tombak dan gada
bertarung di angkasa
menyemburkan apinya

Bumipun berguyang
hutan terbakar
tombak dan gada masih berlaga
tiada yang kalah
tiada yang patah

Tiba-tiba ke barat bersemburat pijarhitam
di ujungnya menjelma sebuah tembilang
tapi disambut oleh gedubang
saling menikam
keduanya seimbang

Telah berbulan perang di angkasa
bumi hitam pekat, malam laiknya
oleh takdir Dewata
kedua senjata
cairlah

Di bawah kedua reruntuh senjata
tercipta dua muara
satu bersungai berair merah
satu bersungai berair kesumba

Sejak itu di wilajah angkola
jika sengketa dua saudara
selalu bersantun para tua:
Jangan seperti Porkaslela dituntun angkara murka
Jangan seperti Sidoppak diperbudak api napsunya

Selama manusia tak kenal dirinya
apakah ada damai di dunia?


Solo, 1962

Sumber: Horison (Mei, 1971)

Analisis Puisi:
Puisi "Muaradua" karya Mansur Samin mengisahkan kisah tragis pertikaian antara dua kelompok atau klan yang berasal dari wilayah Angkola. Puisi ini bukan hanya sekedar cerita, tetapi juga mengandung banyak pesan filosofis dan moral yang mendalam.

Konteks Sejarah dan Geografis: Puisi membuka dengan menciptakan gambaran geografis dan sejarah dua muara, yang terletak di wilayah Angkola antara Sitinjak dan Batunadua. Penggunaan nama tempat dan tokoh memberikan fondasi historis pada narasi.

Pergantian Kekuasaan: Puisi menggambarkan pergantian kekuasaan di antara raja-raja atau kepala suku. Kekuasaan awalnya dipegang oleh raja Si Gempalangit, yang kemudian menyerahkannya kepada putra belia Sidoppak dan Porkaslela akibat penyakit yang dideritanya.

Perpecahan dan Pelanggaran: Narasi berlanjut dengan menggambarkan pelanggaran yang dilakukan oleh Porkaslela di barat, yang kemudian mengakibatkan perpecahan dan konflik antara kedua saudara tersebut. Pelanggaran ini menciptakan suasana konflik dan ketidakpastian.

Pertemuan Damai yang Gagal: Puisi menyampaikan upaya damai yang gagal terjadi di tengah pribumi, dan tidak adanya kesepakatan atau penyelesaian. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan ketegangan dalam hubungan antar pribumi.

Tindakan dan Balas Dendam: Konflik semakin meruncing ketika Porkaslela melanggar batas dan menyerang pribumi di barat. Tindakan balas dendam pun terjadi, menciptakan keadaan yang semakin sulit untuk dicapai perdamaian.

Kehilangan dan Dendam yang Bertahan Lama: Puisi menciptakan suasana kesedihan dan kehilangan, terutama dengan kematian raja Si Gempalangit dan perasaan dendam yang bertahan lama antara kedua kelompok.

Perang di Angkasa: Narasi mencapai puncaknya ketika Sidoppak menggunakan kekuatan magisnya untuk menciptakan perang di angkasa antara dua senjata, tombak dan gada. Ini menciptakan gambaran epik dan dramatis dalam konflik tersebut.

Kesetaraan Kekuatan: Meskipun pertempuran berlangsung dengan sengit, pada akhirnya, senjata-senjata tersebut saling mencair, menciptakan dua muara yang bersatu, satu dengan air merah dan satu dengan air kesumba. Ini menggambarkan kesetaraan kekuatan dan akhirnya penyelesaian konflik.

Pesan Filosofis: Puisi menyimpulkan dengan pertanyaan filosofis tentang damai di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa pertikaian dan konflik tidak dapat dihindari selama manusia tidak mengenali diri mereka sendiri dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka.

Puisi "Muaradua" bukan hanya sekedar narasi sejarah, melainkan juga membawa pesan moral dan filosofis yang dalam. Melalui cerita tragis konflik antar dua kelompok, Mansur Samin menyampaikan kebijaksanaan tentang pentingnya perdamaian, penyelesaian konflik, dan pemahaman diri untuk mencegah pertikaian yang merugikan. Puisi ini menciptakan kisah epik yang memikat dan memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan nilai-nilai hidup.

Mansur Samin - Horison
Puisi: Muaradua
Karya: Mansur Samin

Biodata Mansur Samin:
  • Mansur Samin mempunyai nama lengkap Haji Mansur Samin Siregar;
  • Mansur Samin lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara pada tanggal 29 April 1930;
  • Mansur Samin meninggal dunia di Jakarta, 31 Mei 2003;
  • Mansur Samin adalah anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Haji Muhammad Samin Siregar dan Hajjah Nurhayati Nasution;
  • Mansur Samin adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.