Puisi: Diam (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Diam" karya Gunoto Saparie menyajikan sebuah pandangan mendalam tentang keinginan untuk berdiam diri dan menjauh dari kebisingan dunia.
Diam

kumau sesekali diam
tak berkata-kata
tak bersuara
bagaikan lampu padam

kuingin sesekali bisu
dengan lidah kaku
hanya bisa menahan rindu
kenangan masa lampau

diam mungkin lebih bermakna
dari sejuta suara
diam mungkin lebih berarti
dari seribu petisi

kuingin sesekali bisu
tak peduli hiruk pikuk 
pidato-pidato politisi busuk
kumau, o, sesekali kelu

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Diam" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang mengeksplorasi tema ketenangan, kesunyian, dan makna di balik diam. Dengan gaya yang reflektif dan introspektif, puisi ini menyajikan sebuah pandangan mendalam tentang keinginan untuk berdiam diri dan menjauh dari kebisingan dunia.

Tema Utama

  • Ketenangan dan Kesunyian: Puisi ini mengekspresikan keinginan untuk mengalami ketenangan melalui diam. Dengan frasa seperti "kuingin sesekali bisu" dan "tak berkata-kata tak bersuara," puisi ini menyoroti rasa lelah terhadap kebisingan dan keramaian yang sering mengelilingi kehidupan sehari-hari. Keinginan untuk menjadi "bagaikan lampu padam" mencerminkan keinginan untuk mengalami ketenangan yang mendalam.
  • Makna Diam: Puisi ini menyiratkan bahwa diam mungkin memiliki makna yang lebih dalam daripada berbicara. Frasa "diam mungkin lebih bermakna dari sejuta suara" menunjukkan keyakinan bahwa dalam diam terdapat makna dan kekuatan yang tidak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata. Diam di sini dipandang sebagai bentuk ekspresi yang dapat menyampaikan perasaan dan refleksi dengan cara yang lebih mendalam dan jujur.
  • Kritik terhadap Kebisingan dan Politik: Puisi ini juga mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebisingan dan hiruk-pikuk kehidupan publik, khususnya pidato-pidato politisi. Dengan menyebut "pidato-pidato politisi busuk," puisi ini menunjukkan bahwa suara-suara politik sering kali tidak menggugah atau berharga, dan lebih memilih untuk menjauh dari segala bentuk kebisingan tersebut.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Bahasa yang Sederhana dan Reflektif: Gunoto Saparie menggunakan bahasa yang sederhana dan langsung untuk menyampaikan pesan puisi ini. Dengan ungkapan seperti "kuingin sesekali bisu" dan "diam mungkin lebih berarti," puisi ini memiliki kualitas reflektif yang mendalam, mengajak pembaca untuk merenungkan makna di balik keinginan untuk diam.
  • Struktur yang Berulang dan Teratur: Struktur puisi ini menggunakan pengulangan frasa untuk menekankan tema dan keinginan yang digambarkan. Pengulangan frasa seperti "kuingin sesekali bisu" dan "diam mungkin lebih" menciptakan efek yang mendalam dan memfokuskan perhatian pada inti pesan puisi.
  • Imaji yang Minimalis: Puisi ini menggunakan imaji yang minimalis namun kuat. Frasa seperti "bagaikan lampu padam" dan "lidah kaku" menciptakan gambaran visual dan sensori yang jelas tentang keadaan diam dan kesunyian yang diinginkan.

Makna dan Interpretasi

Puisi "Diam" mengajak pembaca untuk merenungkan nilai dan kekuatan dari diam. Dalam dunia yang penuh dengan kebisingan dan keramaian, puisi ini menyiratkan bahwa terkadang lebih baik untuk mundur sejenak dan meresapi ketenangan. Dengan menekankan bahwa diam mungkin memiliki makna yang lebih dalam dan lebih berarti daripada suara, puisi ini mengajak pembaca untuk menghargai momen-momen tenang sebagai bentuk refleksi dan introspeksi yang berharga.

Kritik terhadap kebisingan politik dan kehidupan publik dalam puisi ini juga mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara-cara komunikasi yang sering kali tidak autentik atau tidak membangun. Dengan memilih untuk berdiam, penulis mengungkapkan keinginan untuk menjauh dari segala bentuk kebisingan yang dianggap tidak penting atau tidak jujur.

Puisi "Diam" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang mengeksplorasi tema ketenangan dan makna diam dengan gaya bahasa yang sederhana namun reflektif. Dengan fokus pada keinginan untuk berdiam dan menjauh dari kebisingan, puisi ini menawarkan perspektif mendalam tentang bagaimana ketenangan dapat menjadi bentuk ekspresi yang kuat dan bermakna. Melalui pengulangan frasa dan imaji minimalis, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai dari diam dan menghargai momen-momen tenang dalam kehidupan.

Gunoto Saparie
Puisi: Diam
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.