Puisi: Dalam Lapar (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Dalam Lapar" karya Gunoto Saparie menggambarkan ketidaksetaraan, penderitaan, dan ketidakpuasan yang dalam dalam kehidupan.
Dalam Lapar

dalam lapar aku gemetar
tak bisa lagi menyanyi
atau menulis puisi
menahan rasa tak sabar

dalam lapar aku gemetar
ketika musim paceklik tiba
warna-warna mimpi senada
sepiring nasi dan ikan bakar

dalam lapar aku gemetar
dalam lapar aku berebut luka
tak ada lagi hasrat dan cita-cita
tubuh dan jiwa tak sejajar

2019

Analisis Puisi:
Puisi "Dalam Lapar" karya Gunoto Saparie adalah ungkapan perasaan yang dalam dan intens tentang pengalaman lapar dan penderitaan.

Ekspresi Kelaparan: Puisi ini secara langsung membicarakan perasaan lapar dan bagaimana itu mempengaruhi penyair. Lapar di sini bukan hanya tentang kekurangan makanan fisik, tetapi juga kekurangan dan penderitaan dalam kehidupan secara lebih umum. Hal ini menciptakan perasaan ketidakpuasan dan kekosongan dalam diri penyair.

Gemetar dan Kehilangan Kreativitas: Penyair mengungkapkan bahwa dalam lapar, dia gemetar dan kehilangan kemampuan untuk menyanyi dan menulis puisi. Ini adalah metafora yang kuat untuk dampak lapar yang lebih dalam terhadap kreativitas dan ekspresi diri. Kehilangan hasrat dan inspirasi adalah konsekuensi dari keadaan yang sulit.

Musim Paceklik: Penggunaan istilah "musim paceklik" merujuk pada kondisi sosial ekonomi yang sulit di mana masyarakat mengalami kekurangan pangan dan kehidupan sulit. Ini menciptakan latar belakang yang lebih luas bagi perasaan lapar yang diungkapkan dalam puisi.

Menggambarkan Ketidaksetaraan: Puisi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di mana beberapa orang mengalami kelaparan dan penderitaan, sementara yang lain mungkin hidup dalam kemewahan. Ketidaksetaraan ini sering kali menciptakan konflik sosial dan ekonomi yang mendalam.

Kesimpulan yang Pahit: Puisi ini menggambarkan ketidaksetaraan, penderitaan, dan ketidakpuasan yang dalam dalam kehidupan. Ini adalah sebuah pesan yang pahit tentang kondisi sosial yang sulit, di mana banyak orang harus menghadapi lapar dan penderitaan.

Puisi "Dalam Lapar" karya Gunoto Saparie adalah ungkapan perasaan yang mendalam tentang pengalaman lapar, ketidaksetaraan, dan penderitaan dalam kehidupan. Puisi ini menciptakan gambaran yang kuat tentang dampak lapar dan kekurangan terhadap individu dan masyarakat secara umum. Ini adalah karya sastra yang menggugah dan menggambarkan realitas sosial yang sulit.

Puisi Gunoto Saparie
Puisi: Dalam Lapar
Karya: Gunoto Saparie


Biodata Gunoto Saparie:

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Selain itu, di tengah kesibukannya menulis, ia kadang diundang untuk membaca puisi, menjadi juri lomba kesenian, pemakalah atau pembicara pada berbagai forum kesastraan dan kebahasaan, dan mengikuti sejumlah pertemuan sastrawan di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.