Batu ke Lima Puluh Satu
Seorang penjahat dan pembunuh lama
Sedang berjalan sendirian
Di lebuh pasir ini
Gamisnya terjela menyapu debu
Cambangnya lebat tak teratur
Dia sudah berangkat tua
Dan mulai berpikir tentang dosa
Pezina ini sudah bertanya-tanya
Apa?
Siapa?
Dimana?
Bagaimana?
Sesekali dia berhenti.
Ada nyeri di dada
Itu gangguan pada klep jantungnya
Tapi semua orang menghindarinya
Pedagang-pedagang sutra, pengunjung warung syahi
Ibu-ibu menyentakkan dan menariki anak-anak mereka
Perempuan-perempuan muda mengintip dari celah jendela
Tukang poci menutup dagangannya
— Neraka wail juga baginya!
Terpancar dari cahaya mata mereka
— Neraka wail juga bagimu!
Ketika pandangan mereka bertemu
Pemabuk itu bisa saja sangat marah
Pada umur 49, dia masih amat mahir dengan jenawinya
Tapi sesuatu mencegahnya untuk marah
Mengamuk dan membunuh. Agak aneh
Tiba-tiba dia bisa amat sabar
Dan pergi saja meninggalkan bazaar
Sesuatu mendorongnya segera berangkat
Siapa?
Dimana? Bagaimana?
Gamisnya terjela menyapu debu
Pasir masuk keluar antara jari di sandalnya
Ketika matahari jazirah tepat di tengah
Dan di gerbang, dia bersobok lelaki itu
Ganteng dan putih, tinggi tujuh kaki
Sukar diterka berapa umurnya
Muda tiada, tua belum pula
Penjahat itu tiba-tiba merasa nyeri
Di balik tulang dada-kirinya ke tujuh
Dia hampir pula terjatuh
Lelaki itu menangkap lengannya
Kemudian menjentik dada-kirinya
Nyeri itu hilanglah seketika
— Assalamu'alaikum, katanya
"Selamat dan sejahtera buat saya?
Wahai. Tidak pernah orang mengucapkan itu
Kepadaku!
Mmm. Tapi tuan tidak kenal saya. Siapa anda?
Penghulu kabilah mana?
Saudagar perca?
Ulama?
Perantau dari Farsi? Aaa.
Hulubalang raja barangkali?
Atau pedagang batu-batuan berharga?
Tidak semuanya. Jadi...
Tapi saya senang memandang mukamu
Sungguh. Ini jarang terjadi".
— Anda harus pergi segera
"Kemana? Bagaimana? Sekarang juga
Tapi umurku empat puluh sembilan
Aku sering asma dan tentu memerlukan kuda
Paling tidak seekor unta
Jadi aku harus jalan kaki
Ini tidak sepenuhnya kumengerti
Tapi sutra anda amat berwibawa
Dan saya senang memandang mukamu
Aku sebenarnya cuma bajingan
Dan dimana perlu saya membunuh
Serta meniduri perempuan kemah mana saja
Atas perintah bukan siapa, hanya kemauan saya
Tidak suatu pun bisa merintangi kehendakku
Bersama anak-buahku
Tapi sesudah tiga puluh tahun
Aku cape
Amat cape
Apa?
Siapa?
Dimana?
Bagaimana ini semua?
Coba tuan katakan, apa saya akan masuk neraka
Semua orang begitu berkata. Awam dan ulama desa
Siapa bisa membebaskan dan menebus dosa saya
Tolong tuan katakan. Tidak ada?
Jadi anak Abdullah itu juga tak bisa?
Oh?
"Hanya dengan kekuatan sendiri
Menebus dosa pribadi".
Tidak tergantung penolongan siapapun?
Ini berat.
Dosaku bukit batu, beban di atas bahu
Jadi saya mesti berangkat sekarang. Baiklah
Seratus batu jalan kaki
Aku mengerti. Suara anda amat berwibawa
Saya sebenarnya bajingan tak kena diperintah
Tapi saya senang pada pribadimu
Jadi Utusan itu tak bisa memohonkan ampun kedurjanaanku
Karena antara Tuhan dan daku
Tak ada perantara
Wahai garis tegaklurus yang ajaib!
Hubungan yang kiranya amat karib!
Ya Raqib!
Ya Ghafur!
Ya Mujib!
Biarlah sengangar padang pasir
Biarlah tali terompahku putus
Biarlah otot-ototku kampuh".
Dan malam tenggelam
Dan fajar menggariskan api
Angin samun
Membadaikan bukit pasir
Awan-awan meniupkan api
Lelaki itu berjalan seperti histeris
Gamisnya berkibar-kibar
Dimana? Bagaimana?
Waktu cair
Meleleh di padang pasir
Menjelang separuh jarak, sang musafir
Digoyang mabuk panas
Sejuta bunga api berputar ganas
Katup jantungnya serasa ditusuk
Dia tersungkur
Pundi-airnya kosong
Tiba-tiba lelaki perkasa itu muncul lagi
Menarik bahunya sampai berdiri sendiri
— Beringsutlah selangkah lagi maju
Supaya genap lima puluh satu batu
Sesak nafas terhuyung dia maju
Kedua lelaki itu berpandangan kini
Si ganteng tersenyum sedikit
Bajingan itu letih, asmatis, berkomat-kamit
Si ganteng lalu menjentik dada-kirinya
Katup jantungnya mendadak macet
Dan menutup sirkulasi. Tubuh itu melemas
Maka Malaikat Maut memeluknya cepat
Kemudian membawanya terbang melesat
Gamis mereka berkibar-kibar
Si penjahat tak sempat melihat Muhammad
Karena di tengah jalan Malaikat Maut mencegat
Yang menerbangkannya
Langsung ke suarga
1968
Sumber: Horison (September, 1968)
Catatan Kaki:
Ar-Raqib (Yang Menjaga), Al-Ghafur (Yang Pengampun) dan Al-Mujib (Yang Mengabulkan Segala Permintaan) adalah tiga dari sembilan puluh sembilan Asma'ul-Husna, sama-sama sifat Tuhan Yang Sempurna.
Analisis Puisi:
Puisi "Batu ke Lima Puluh Satu" karya Taufiq Ismail mengisahkan perjalanan seorang penjahat tua dalam pencarian penebusan dosa. Melalui narasi yang penuh warna dan simbolis, puisi ini mengeksplorasi tema penebusan, keputusasaan, dan pertarungan antara kekuatan spiritual dan kekuatan material.
Plot dan Konteks
Puisi ini dimulai dengan gambaran seorang penjahat tua yang merenungkan dosa-dosanya sambil berjalan di padang pasir. Dia mengalami nyeri di dada, yang mungkin merupakan metafora dari beban dosa dan penyesalan yang dia rasakan. Dia digambarkan sebagai seseorang yang telah hidup dalam kejahatan dan kekacauan, tetapi kini mulai bertanya-tanya tentang makna hidup dan pengampunan.
Deskripsi Karakter dan Perubahan
Penjahat ini, yang telah menjalani kehidupan penuh dosa, merasa semakin letih dan mencari arti dari segala yang terjadi dalam hidupnya. Meskipun dia masih memiliki kemahiran dan kekuatan dalam kejahatannya, sesuatu dalam dirinya berubah. Dia menjadi lebih sabar dan mulai mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti "Apa?", "Siapa?", "Dimana?", dan "Bagaimana?"
Pertemuan dengan Lelaki Misterius
Di tengah perjalanan, penjahat ini bertemu dengan seorang lelaki misterius yang tampaknya memiliki kekuatan luar biasa. Lelaki ini, yang digambarkan tinggi, ganteng, dan penuh wibawa, menangkap lengannya dan menghilangkan rasa nyeri di dadanya dengan sebuah sentuhan. Percakapan antara penjahat dan lelaki ini menyoroti ketidakpastian dan keputusasaan penjahat dalam mencari penebusan. Lelaki tersebut menyarankan agar penjahat berangkat dan menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk mencari penebusan dosanya, tanpa mengandalkan bantuan siapapun.
Simbolisme dan Makna
Lelaki misterius ini, yang tampaknya merupakan simbol dari kekuatan spiritual atau pemandu ilahi, mengarahkan penjahat untuk melakukan perjalanan sejauh "lima puluh satu batu." Ini merupakan perjalanan metaforis yang menunjukkan pencarian penebusan dan pengampunan. Penjahat itu harus menghadapi kesulitan dan penderitaan sepanjang perjalanan, simbol dari tantangan spiritual yang harus dihadapi untuk mendapatkan penebusan.
Konfrontasi dengan Kematian
Saat penjahat mendekati akhir perjalanannya, dia mengalami kelelahan dan keputusasaan yang mendalam. Tiba-tiba, dia bertemu lagi dengan lelaki misterius yang membantunya menempuh "lima puluh satu batu" terakhir. Ketika penjahat mencapai batas kemampuannya, lelaki tersebut menjentik dada-kirinya, yang menyebabkan penjahat meninggal dunia. Ini menggambarkan peralihan dari kehidupan yang penuh dosa menuju kehidupan akhir yang penuh penebusan.
Kesimpulan dan Makna
Puisi ini berakhir dengan kematian penjahat dan pengangkatannya oleh Malaikat Maut menuju surga. Meskipun dia tidak sempat melihat Nabi Muhammad, perjalanan spiritualnya dianggap selesai. Kematian penjahat, yang diperlakukan dengan cara yang penuh kehormatan, menunjukkan bahwa meskipun hidupnya penuh dosa, dia mendapatkan kesempatan untuk penebusan melalui usaha dan keinginan tulus untuk memperbaiki diri.
Puisi "Batu ke Lima Puluh Satu" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang mendalam dan simbolis tentang pencarian penebusan dan makna hidup. Melalui narasi perjalanan seorang penjahat tua, Ismail mengeksplorasi tema spiritual, keputusasaan, dan penebusan dengan gaya penceritaan yang kaya akan simbolisme. Karya ini menggambarkan perjuangan internal seseorang dalam mencari pengampunan dan arti sejati dari kehidupan mereka.
Karya: Taufiq Ismail
Biodata Taufiq Ismail:
- Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
- Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.