Puisi: Auman-Mu (Karya Melki Deni)

Puisi "Auman-Mu" karya Melki Deni mengajak pembaca untuk merenungkan dampak revolusi industri, kapitalisme, dan industrialisasi terhadap lingkungan ..
Auman-Mu

Sion terdengar sampai kini,
seketika langit dan bumi berguncang-guncang,
seketika dunia berlari begitu gesit. Sementara jutaan orang
masih merangkak di bawah permainan bahasa  dan cerita-cerita besar kekuasaan.
Tanah kehilangan kesuburan sejak revolusi industri,
sawah-sawah dan kebun tidak mengalirkan beras,
sungai pun mengalirkan racun ke seluruh arah,
air racun terbit mengalir tanpa henti dari poros-poros industri,
udara dikepung asap pabrik yang menghanguskan siapa dan apa saja

Kota-kota tidak pernah sunyi,
dikeroyok ramai-ramai oleh kebisingan mesin-mesin,
langit diduga mendung, ternyata bingung entah ke mana
sementara tanah rakyat biasa dirampas sampai tuntas,
hutan-hutan di kampung masyarakat adat dikoyak-koyak ekskavator sampai plontos,
Oleh sebab modal, pemilikan pribadi, pasar bebas, persaingan pasar, dan industrialisasi di mana-mana
tuan-tuan menolak keturunan dari masa depan. Menghentikan Waktu, melanggengkan uang.
Sejak tuan-tuan membantai dan membasmi orang-orang yang tak bersalah di tanahnya sendiri.

Ledalero, 10 Oktober 2021

Analisis Puisi:

Puisi "Auman-Mu" karya Melki Deni mengajak pembaca untuk merenungkan dampak revolusi industri, kapitalisme, dan industrialisasi terhadap lingkungan serta masyarakat. Dengan gaya bahasa yang tajam dan penuh simbolisme, puisi ini menggambarkan kerusakan yang ditimbulkan oleh permainan kekuasaan dan ambisi ekonomi yang mengesampingkan hak-hak rakyat kecil serta kelestarian alam. Melki Deni dengan cerdas menyampaikan kritik sosial yang mendalam melalui lirik-lirik yang menggugah kesadaran pembaca terhadap isu-isu ekologis dan sosial yang semakin relevan di dunia modern.

Pengantar: Ketegangan antara Manusia dan Alam

Puisi ini dimulai dengan gambaran dramatis mengenai kekuatan alam yang terombang-ambing oleh perubahan besar yang dibawa oleh revolusi industri. Baris pertama puisi, "Sion terdengar sampai kini," mengarah pada suara keras yang menandai awal perubahan besar, seolah-olah ada teriakan alam atau manusia yang terpinggirkan yang berusaha didengar, meskipun teredam oleh kebisingan sistem yang ada.

Kemudian, dilanjutkan dengan pernyataan "seketika langit dan bumi berguncang-guncang, seketika dunia berlari begitu gesit." Kalimat ini menggambarkan perubahan cepat dan dramatis yang terjadi di dunia, sebuah transformasi yang tidak selalu positif, karena ini juga membawa dampak buruk, seperti yang tergambar dalam bagian-bagian selanjutnya.

Dampak Revolusi Industri terhadap Alam

Puisi ini secara jelas menunjukkan dampak revolusi industri terhadap alam dan lingkungan. "Tanah kehilangan kesuburan sejak revolusi industri," mengindikasikan bahwa eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara besar-besaran dalam rangka industrialisasi telah merusak keseimbangan ekosistem. Pencemaran tanah, udara, dan air menjadi fenomena yang tak terelakkan akibat aktivitas industri.

Bagian berikutnya "sawah-sawah dan kebun tidak mengalirkan beras, sungai pun mengalirkan racun ke seluruh arah," melanjutkan gambaran kehancuran alam yang disebabkan oleh perkembangan industri. Alam yang dahulu subur dan memberi kehidupan kini berubah menjadi medan kehancuran. Sungai yang dulunya merupakan sumber kehidupan kini menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya.

Kota-Kota dan Kebisingan Mesin: Kehidupan yang Terperangkap dalam Kapitalisme

Dalam puisi ini, kota-kota digambarkan sebagai tempat yang tidak pernah sunyi, dikelilingi oleh kebisingan mesin-mesin yang terus berputar tanpa henti. "Kota-kota tidak pernah sunyi, dikeroyok ramai-ramai oleh kebisingan mesin-mesin," menjadi simbol kehidupan urban yang terjebak dalam lingkaran kapitalisme dan industrialisasi. Kehidupan manusia di kota-kota besar sering kali terperangkap dalam rutinitas yang bising dan penuh tuntutan, yang mengesampingkan kebutuhan dasar manusia seperti kedamaian dan keberlanjutan alam.

Lebih lanjut, "langit diduga mendung, ternyata bingung entah ke mana," menggambarkan kebingungan alam yang tidak dapat mengimbangi kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Langit, yang biasanya menjadi simbol ketenangan, kini terlihat ragu-ragu dan tidak jelas arah tujuannya.

Kritik Terhadap Kapitalisme dan Penguasa

Melki Deni mengkritik keras sistem kapitalisme dan cara-cara yang ditempuh oleh para penguasa dan korporasi dalam meraup keuntungan. "Tanah rakyat biasa dirampas sampai tuntas, hutan-hutan di kampung masyarakat adat dikoyak-koyak ekskavator sampai plontos," menggambarkan bagaimana tanah dan hutan milik masyarakat adat yang seharusnya menjadi hak mereka, dirampas demi kepentingan pribadi dan keuntungan finansial. Eksploitasi sumber daya alam ini dilakukan dengan cara yang sangat merugikan masyarakat kecil dan merusak keberagaman hayati.

Kritik terhadap sistem pasar bebas, persaingan pasar, dan industrialisasi ditunjukkan dalam baris "Oleh sebab modal, pemilikan pribadi, pasar bebas, persaingan pasar, dan industrialisasi di mana-mana." Di sini, Melki Deni menyoroti bagaimana nilai-nilai kapitalisme yang mengutamakan keuntungan individu atau kelompok tertentu telah menggusur nilai-nilai keadilan sosial dan keberlanjutan.

Pemilik Kekuasaan yang Membantai Tanahnya Sendiri

Pada bagian akhir puisi, penulis menegaskan peran para penguasa yang tidak hanya melakukan eksploitasi tetapi juga melakukan kekerasan terhadap rakyat yang tidak bersalah. "Tuan-tuan menolak keturunan dari masa depan. Menghentikan Waktu, melanggengkan uang," mengungkapkan bahwa penguasa-penguasa ini lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada memperhatikan masa depan generasi yang akan datang. Mereka memanipulasi waktu dan ruang untuk keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi anak cucu mereka.

Akhir puisi yang menggambarkan "sejak tuan-tuan membantai dan membasmi orang-orang yang tak bersalah di tanahnya sendiri," memberikan gambaran betapa besar ketidakadilan yang terjadi. Puisi ini mengajak pembaca untuk mengingat bahwa sejarah penuh dengan penindasan terhadap mereka yang tidak berdaya, dengan kekerasan yang seringkali dilakukan atas nama kekuasaan dan keuntungan.

Simbolisme dalam Puisi

Melki Deni menggunakan simbolisme yang kuat dalam puisi ini untuk menggambarkan kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme dan industrialisasi. Simbol-simbol seperti "langit yang bingung," "sungai yang mengalirkan racun," dan "tanah yang dirampas" menggambarkan kehancuran yang disebabkan oleh ketidakadilan sosial dan alam yang terlupakan.

Simbol "Sion terdengar sampai kini" membuka puisi ini dengan kesan bahwa peringatan tentang kerusakan yang terjadi masih terus bergema hingga sekarang, sebuah panggilan untuk bertindak dan memperbaiki keadaan.

Puisi "Auman-Mu" karya Melki Deni adalah sebuah seruan untuk menyadarkan pembaca tentang dampak besar yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme dan industrialisasi terhadap alam dan manusia. Puisi ini tidak hanya mengkritik kerusakan lingkungan tetapi juga menyoroti ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan gaya yang penuh emosi dan simbolisme, Melki Deni mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang kita anut dalam kehidupan modern dan untuk bertindak lebih bijak demi keberlanjutan masa depan yang lebih adil dan ramah lingkungan.

Puisi Melki Deni
Puisi: Auman-Mu
Karya: Melki Deni

Biodata Melki Deni:
  • Melki Deni adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
  • Aktif menulis puisi sejak sekolah menengah pertama.
  • Buku Puisi Pertama berjudul TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik! (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022).
© Sepenuhnya. All rights reserved.