Pantun Anak Ayam
Anak ayam turun sepuluh
mati satu tinggal sembilan
Di hadiratmu aku bersimpuh
dengan airmata bercucuran
Anak ayam turun sembilan
mati satu tinggal delapan;
Dengan airmata bercucuran
mengetuk pintumu dengan harapan
Anak ayam turun delapan
mati satu tinggallah tujuh;
Mengetuk pintu penuh harapan
tapi engkau begitu jauh
Anak ayam turun tujuh
mati satu tinggallah enam
Entahlah dekat entahlah jauh
tak dapat kuduga lautan dalam
Anak ayam turun enam
mati satu tinggallah lima;
Kuketuk terus siang dan malam
namun diammu bikin kesima
Anak ayam turun lima
mati satu tinggalah empat;
Entah aku takkan kauterima
karena bersimbah peluh maksiat
Anak ayam turun empat
mati satu tinggal tiga;
Akan akhirat tidak teringat
karena terikat dunia fana
Anak ayam turun tiga
mati satu tinggallah dua;
Yang fana yang serba hingga
menenggelamkan diri dalam lupa
Anak ayam turun dua;
mati satu tinggal satu;
Aku menunggu pintumu terbuka
entah kapan aku tak tahu
Anak ayam turun satu
mati satu habis semua;
kalau kau tetap membisu
nasibku malang tersia-sia
Analisis Puisi:
Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar Indonesia, melalui puisi berjudul "Pantun Anak Ayam," menyampaikan pesan mendalam tentang kesedihan, harapan, dan pencarian pengampunan. Puisi ini menggunakan struktur dan simbolisme yang sederhana namun penuh makna, menggambarkan perasaan manusia yang berusaha mencari jalan menuju pengampunan dan penerimaan.
Simbolisme Anak Ayam dan Kesedihan
Puisi ini diawali dengan gambaran anak ayam yang turun dan mati satu per satu, yang berfungsi sebagai simbol dari penurunan kondisi atau keadaan emosional yang semakin buruk:
Anak ayam turun sepuluh
mati satu tinggal sembilan Di hadiratmu aku bersimpuh dengan airmata bercucuran
Melalui pengulangan motif anak ayam yang terus berkurang, Ajip Rosidi menciptakan sebuah narasi kesedihan dan penurunan yang perlahan. Anak ayam yang berkurang menggambarkan bagaimana rasa duka dan penyesalan semakin mendalam, sementara penulis bersimpuh dengan air mata sebagai simbol dari tangisan dan keputusasaan.
Harapan dan Pencarian Pengampunan
Bait-bait berikutnya melanjutkan tema kesedihan, tetapi juga memperkenalkan elemen harapan. Meskipun jumlah anak ayam terus berkurang, penulis tetap mengetuk pintu dengan harapan akan mendapatkan pengampunan atau penerimaan:
Anak ayam turun sembilan
mati satu tinggal delapan; Dengan airmata bercucuran mengetuk pintumu dengan harapan
Di bagian ini, pengulangan proses mengetuk pintu dengan harapan menunjukkan tekad yang kuat untuk mencari pengampunan, meskipun keadaan semakin sulit. Penulis terus-menerus berusaha mendekati Tuhan atau entitas yang diidamkan, berharap pintu akan terbuka untuknya.
Kesulitan dan Jarak yang Terasa
Seiring dengan berkurangnya jumlah anak ayam, bait-bait berikutnya menggambarkan rasa frustrasi dan kesulitan yang dihadapi penulis:
Anak ayam turun delapan
mati satu tinggallah tujuh; Mengetuk pintu penuh harapan tapi engkau begitu jauh
Perasaan bahwa "engkau begitu jauh" mencerminkan rasa terasing dan kesulitan untuk merasakan kehadiran Tuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan. Ini adalah refleksi dari perasaan manusia yang sering merasa jauh dari pengampunan atau penerimaan, meskipun mereka terus-menerus berusaha.
Ketidakpastian dan Keterbatasan Duniawi
Pada bagian selanjutnya, puisi ini menyoroti ketidakpastian dan keterbatasan duniawi yang sering kali menghalangi pencarian spiritual:
Anak ayam turun enam
mati satu tinggallah lima; Kuketuk terus siang dan malam namun diammu bikin kesima
Di sini, ketidakpastian tentang jarak dan keadaan duniawi yang membingungkan menunjukkan bagaimana kehidupan dapat terasa membingungkan dan tidak pasti dalam pencarian makna dan pengampunan. Penulis merasa tertekan dan bingung karena usaha-usahanya tampaknya tidak membuahkan hasil.
Keterikatan Dunia dan Penyesalan
Seiring dengan berkurangnya jumlah anak ayam, puisi ini juga menggambarkan penyesalan dan keterikatan duniawi:
Anak ayam turun empat
mati satu tinggal tiga; Akan akhirat tidak teringat karena terikat dunia fana
Di bait ini, penulis mengakui bahwa keterikatan pada duniawi membuatnya lupa akan kehidupan akhirat dan pencarian spiritual yang lebih dalam. Ini mencerminkan betapa mudahnya seseorang terjebak dalam kehidupan sehari-hari dan melupakan tujuan yang lebih tinggi.
Akhir dari Pencarian
Bagian akhir puisi ini menunjukkan keputusasaan dan keinginan terakhir untuk mendapatkan pengampunan atau penerimaan:
Anak ayam turun satu
mati satu habis semua; kalau kau tetap membisu nasibku malang tersia-sia
Dengan hanya tersisa satu anak ayam yang tersisa, penulis merasa bahwa jika Tuhan tetap membisu dan tidak memberikan jawaban atau pengampunan, maka seluruh usaha dan pencariannya akan sia-sia. Ini adalah ungkapan terakhir dari keputusasaan dan harapan yang mendalam.
Puisi "Pantun Anak Ayam" karya Ajip Rosidi adalah sebuah karya yang menyentuh dan penuh makna, menggambarkan perjalanan emosional yang dalam melalui simbolisme sederhana anak ayam. Melalui struktur yang repetitif dan narasi yang kuat, Rosidi menyampaikan pesan tentang kesedihan, harapan, dan pencarian pengampunan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi perjalanan spiritual dan pencarian makna yang sering kali penuh dengan tantangan dan keputusasaan, namun tetap merupakan bagian penting dari perjalanan manusia menuju pemahaman dan penerimaan.
Karya: Ajip Rosidi
Biodata Ajip Rosidi:
- Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
- Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
- Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.