Puisi: Pantun Anak Ayam (Karya Ajip Rosidi)

Puisi "Pantun Anak Ayam" karya Ajip Rosidi mengajak pembaca untuk merenungi perjalanan spiritual dan pencarian makna yang sering kali penuh dengan ...
Pantun Anak Ayam

Anak ayam turun sepuluh
mati satu tinggal sembilan
Di hadiratmu aku bersimpuh
dengan airmata bercucuran

Anak ayam turun sembilan
mati satu tinggal delapan;
Dengan airmata bercucuran
mengetuk pintumu dengan harapan

Anak ayam turun delapan
mati satu tinggallah tujuh;
Mengetuk pintu penuh harapan
tapi engkau begitu jauh

Anak ayam turun tujuh
mati satu tinggallah enam
Entahlah dekat entahlah jauh
tak dapat kuduga lautan dalam

Anak ayam turun enam
mati satu tinggallah lima;
Kuketuk terus siang dan malam
namun diammu bikin kesima

Anak ayam turun lima
mati satu tinggalah empat;
Entah aku takkan kauterima
karena bersimbah peluh maksiat

Anak ayam turun empat
mati satu tinggal tiga;
Akan akhirat tidak teringat
karena terikat dunia fana

Anak ayam turun tiga
mati satu tinggallah dua;
Yang fana yang serba hingga
menenggelamkan diri dalam lupa

Anak ayam turun dua;
mati satu tinggal satu;
Aku menunggu pintumu terbuka
entah kapan aku tak tahu

Anak ayam turun satu
mati satu habis semua;
kalau kau tetap membisu
nasibku malang tersia-sia

Sumber: Pantun Anak Ayam (2006)

Analisis Puisi:

Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar Indonesia, melalui puisi berjudul "Pantun Anak Ayam," menyampaikan pesan mendalam tentang kesedihan, harapan, dan pencarian pengampunan. Puisi ini menggunakan struktur dan simbolisme yang sederhana namun penuh makna, menggambarkan perasaan manusia yang berusaha mencari jalan menuju pengampunan dan penerimaan.

Simbolisme Anak Ayam dan Kesedihan

Puisi ini diawali dengan gambaran anak ayam yang turun dan mati satu per satu, yang berfungsi sebagai simbol dari penurunan kondisi atau keadaan emosional yang semakin buruk:

Anak ayam turun sepuluh
mati satu tinggal sembilan
Di hadiratmu aku bersimpuh
dengan airmata bercucuran

Melalui pengulangan motif anak ayam yang terus berkurang, Ajip Rosidi menciptakan sebuah narasi kesedihan dan penurunan yang perlahan. Anak ayam yang berkurang menggambarkan bagaimana rasa duka dan penyesalan semakin mendalam, sementara penulis bersimpuh dengan air mata sebagai simbol dari tangisan dan keputusasaan.

Harapan dan Pencarian Pengampunan

Bait-bait berikutnya melanjutkan tema kesedihan, tetapi juga memperkenalkan elemen harapan. Meskipun jumlah anak ayam terus berkurang, penulis tetap mengetuk pintu dengan harapan akan mendapatkan pengampunan atau penerimaan:

Anak ayam turun sembilan
mati satu tinggal delapan;
Dengan airmata bercucuran
mengetuk pintumu dengan harapan

Di bagian ini, pengulangan proses mengetuk pintu dengan harapan menunjukkan tekad yang kuat untuk mencari pengampunan, meskipun keadaan semakin sulit. Penulis terus-menerus berusaha mendekati Tuhan atau entitas yang diidamkan, berharap pintu akan terbuka untuknya.

Kesulitan dan Jarak yang Terasa

Seiring dengan berkurangnya jumlah anak ayam, bait-bait berikutnya menggambarkan rasa frustrasi dan kesulitan yang dihadapi penulis:

Anak ayam turun delapan
mati satu tinggallah tujuh;
Mengetuk pintu penuh harapan
tapi engkau begitu jauh

Perasaan bahwa "engkau begitu jauh" mencerminkan rasa terasing dan kesulitan untuk merasakan kehadiran Tuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan. Ini adalah refleksi dari perasaan manusia yang sering merasa jauh dari pengampunan atau penerimaan, meskipun mereka terus-menerus berusaha.

Ketidakpastian dan Keterbatasan Duniawi

Pada bagian selanjutnya, puisi ini menyoroti ketidakpastian dan keterbatasan duniawi yang sering kali menghalangi pencarian spiritual:

Anak ayam turun enam
mati satu tinggallah lima;
Kuketuk terus siang dan malam
namun diammu bikin kesima

Di sini, ketidakpastian tentang jarak dan keadaan duniawi yang membingungkan menunjukkan bagaimana kehidupan dapat terasa membingungkan dan tidak pasti dalam pencarian makna dan pengampunan. Penulis merasa tertekan dan bingung karena usaha-usahanya tampaknya tidak membuahkan hasil.

Keterikatan Dunia dan Penyesalan

Seiring dengan berkurangnya jumlah anak ayam, puisi ini juga menggambarkan penyesalan dan keterikatan duniawi:

Anak ayam turun empat
mati satu tinggal tiga;
Akan akhirat tidak teringat
karena terikat dunia fana

Di bait ini, penulis mengakui bahwa keterikatan pada duniawi membuatnya lupa akan kehidupan akhirat dan pencarian spiritual yang lebih dalam. Ini mencerminkan betapa mudahnya seseorang terjebak dalam kehidupan sehari-hari dan melupakan tujuan yang lebih tinggi.

Akhir dari Pencarian

Bagian akhir puisi ini menunjukkan keputusasaan dan keinginan terakhir untuk mendapatkan pengampunan atau penerimaan:

Anak ayam turun satu
mati satu habis semua;
kalau kau tetap membisu
nasibku malang tersia-sia

Dengan hanya tersisa satu anak ayam yang tersisa, penulis merasa bahwa jika Tuhan tetap membisu dan tidak memberikan jawaban atau pengampunan, maka seluruh usaha dan pencariannya akan sia-sia. Ini adalah ungkapan terakhir dari keputusasaan dan harapan yang mendalam.

Puisi "Pantun Anak Ayam" karya Ajip Rosidi adalah sebuah karya yang menyentuh dan penuh makna, menggambarkan perjalanan emosional yang dalam melalui simbolisme sederhana anak ayam. Melalui struktur yang repetitif dan narasi yang kuat, Rosidi menyampaikan pesan tentang kesedihan, harapan, dan pencarian pengampunan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi perjalanan spiritual dan pencarian makna yang sering kali penuh dengan tantangan dan keputusasaan, namun tetap merupakan bagian penting dari perjalanan manusia menuju pemahaman dan penerimaan.

Puisi Ajip Rosidi
Puisi: Pantun Anak Ayam
Karya: Ajip Rosidi

Biodata Ajip Rosidi:
  • Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
  • Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
  • Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Sepanjang Gunung Sahari Kami lupakan lapar dengan perempuan Bersusu hitam: daki dan mentari Kami lupakan kesibukan kota Derum mobil dan kapal terbang Anak-anak berkejaran men…
  • Ular Ular yang mendesis merisik, dengan warna kulit indah mengejarku, bahkan sampai dalam mimpi. Berhenti! kataku. Dan ia menatap patuh, namun gelisah Tiba-…
  • Piknik Perawan putih berperahu ke pulau bersamaku bertanyakan siapa ibu dari ufuk mana abang datang? Sehari cuma kami bercinta — pelabuhanku membuka ke segala pantai —…
  • Pasar Minggu di Roma Ke pasar ini manusia mengalir, lalu pergi melintas ruang dan waktu yang nyaris terjaring dalam keisengan harapan, dalam hidup ini yang …
  • Lagu Tanah Air (1) Adalah hijau pegunungan Adalah biru lautan Adalah hijau Adalah biru Langit dan hatiku Adalah aku pucuk tatapan Adalah pucuk Adalah tat…
  • Percakapan Akankah ini suatu permainan Sedang wajah jadi layu, ayip. Malam terlalu tebal di matamu Hidup menjanjikan tantangan kepadaku. Dekapkan wa…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.