Pertemuan dengan Seorang Pengemis
Pembicaraan kita pembicaraan sunyi
antara hati dengan hati
Malam menutupi wajah kita yang sedih
Tanpa pamit mentari di barat pergi
kotoran-kotoran hitam di jalanan
beterbangan
jatuh
dan dilupakan
Burung-burung gereja bertengger
pada atap kelabu gedung-gedung
lalu beterbangan
jauh
dan menghilang
Di atas teras toko cina seekor anjing betina
tegang hitam berdiri
dan mengancam
Kita saling berpandangan
Saling bertanya-tanya
Sunyi mengikat kita
dengan pembicaraan-pembicaraan rahasia
Tanah lapang yang lengang
Bulan di atas menghina
dengan keanggunannya yang memabukkan
Di bawahnya kita saling merasa heran
Adakah akan terjadi lagi suatu pertemuan
yang serupa ini?
Sunyi.
(Tiba-tiba terperanjat oleh satu firasat
Betapakah seandainya ia adalah Tuhan yang menjelmakan diri-Nya
sebagai seorang insan yang melarat?)
Sumber: Horison (Desember, 1966)
Analisis Puisi:
Puisi "Pertemuan dengan Seorang Pengemis" karya Arifin C. Noer merupakan sebuah renungan yang menggugah tentang pertemuan antara dua manusia yang terikat dalam sunyi. Melalui metafora yang kuat dan suasana yang penuh kesenyapan, penyair membawa pembaca untuk merenungkan makna kemanusiaan, kesenjangan sosial, dan kemungkinan hadirnya Tuhan dalam sosok yang tak terduga.
Sunyi yang Mengikat: Percakapan Hati ke Hati
"Pembicaraan kita pembicaraan sunyi / antara hati dengan hati."
Puisi ini dibuka dengan gambaran komunikasi yang tidak membutuhkan kata-kata. Percakapan yang terjadi adalah percakapan sunyi, di mana dua individu saling memahami dalam keheningan. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran seseorang bisa begitu kuat, bahkan tanpa perlu diungkapkan melalui kata-kata.
"Malam menutupi wajah kita yang sedih / Tanpa pamit mentari di barat pergi."
Malam sering kali melambangkan kesedihan, kesunyian, atau keterasingan. Kepergian mentari tanpa pamit seakan menunjukkan bahwa harapan atau kebahagiaan telah menghilang tanpa tanda-tanda, meninggalkan kesedihan yang mendalam.
Kota yang Tak Peduli: Simbol Keterasingan
"Kotoran-kotoran hitam di jalanan / beterbangan / jatuh / dan dilupakan."
Baris ini menggambarkan bagaimana sesuatu yang kotor, tidak diinginkan, dan dianggap tidak penting begitu mudah dilupakan. Ini bisa menjadi metafora bagi kehidupan seorang pengemis yang sering diabaikan oleh masyarakat, seakan-akan keberadaannya sama seperti sampah yang tertiup angin.
"Burung-burung gereja bertengger / pada atap kelabu gedung-gedung / lalu beterbangan / jauh / dan menghilang."
Burung gereja sering kali diasosiasikan dengan kehidupan yang sederhana dan bebas, tetapi di sini mereka hinggap di gedung-gedung kelabu—mungkin melambangkan kehidupan perkotaan yang dingin dan tanpa kehangatan. Ketika burung-burung itu beterbangan dan menghilang, ini bisa melambangkan hilangnya harapan atau makna dalam kehidupan kota yang serba cepat dan individualistis.
Ketegangan dan Rasa Heran dalam Keheningan
"Di atas teras toko cina seekor anjing betina / tegang hitam berdiri / dan mengancam."
Hadirnya anjing dalam puisi ini memberikan kesan waspada dan ancaman. Anjing yang berdiri tegang bisa melambangkan bagaimana dunia luar penuh dengan bahaya atau ancaman bagi mereka yang lemah. Bisa juga, anjing ini menjadi simbol dari ketidakpedulian, seperti kehidupan kota yang sering kali mengancam keberadaan orang-orang miskin dan tersisih.
"Kita saling berpandangan / Saling bertanya-tanya / Sunyi mengikat kita / dengan pembicaraan-pembicaraan rahasia."
Di sini, pengemis dan penyair saling menatap tanpa berkata-kata. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, mungkin rasa iba, mungkin juga rasa heran. Sunyi dalam puisi ini bukan sekadar tidak adanya suara, tetapi sebuah keterikatan emosional yang dalam.
Bulan sebagai Simbol Kontras Antara Keanggunan dan Kemiskinan
"Tanah lapang yang lengang / Bulan di atas menghina / dengan keanggunannya yang memabukkan."
Bulan sering kali menjadi simbol keindahan, romantisme, atau bahkan sesuatu yang jauh dari jangkauan manusia. Namun, di sini, bulan justru menghina. Keindahan bulan seakan bertolak belakang dengan kemelaratan yang dialami oleh sang pengemis dan penyair, menciptakan kesenjangan yang menyakitkan.
"Di bawahnya kita saling merasa heran / Adakah akan terjadi lagi suatu pertemuan yang serupa ini?"
Pertanyaan ini menunjukkan ketidakpastian. Apakah pertemuan ini hanya sebuah kebetulan? Ataukah ini sebuah pengalaman yang akan terulang? Rasa heran ini menandakan bahwa pertemuan ini bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan sesuatu yang menggetarkan hati penyair.
Renungan Spiritual: Apakah Tuhan Hadir dalam Sosok Pengemis?
Bait terakhir puisi ini menjadi puncak perenungan penyair:
"Tiba-tiba terperanjat oleh satu firasat / Betapakah seandainya ia adalah Tuhan yang menjelmakan diri-Nya / sebagai seorang insan yang melarat?"
Baris ini mengandung pertanyaan teologis yang mendalam. Penyair tiba-tiba merasa bahwa pengemis yang ia temui bisa saja bukan sekadar manusia biasa, tetapi mungkin manifestasi Tuhan yang datang dalam rupa orang miskin.
Gagasan ini sejalan dengan ajaran dalam berbagai kepercayaan yang menyebutkan bahwa Tuhan sering kali hadir dalam bentuk yang tidak terduga, untuk menguji empati dan kepedulian manusia. Penyair mempertanyakan apakah pertemuannya dengan pengemis ini adalah ujian bagi dirinya sendiri—apakah ia mampu melihat kehadiran ilahi dalam sosok yang tersisih?
Puisi "Pertemuan dengan Seorang Pengemis" karya Arifin C. Noer adalah sebuah refleksi mendalam tentang kemanusiaan, keterasingan, dan kemungkinan hadirnya Tuhan dalam sosok yang tidak terduga.
- Kota yang digambarkan dalam puisi ini terasa dingin, penuh ancaman, dan tidak peduli terhadap keberadaan kaum marginal.
- Sunyi bukan hanya ketiadaan suara, tetapi juga keterikatan emosional antara dua manusia yang dipisahkan oleh nasib.
- Pertanyaan tentang kehadiran Tuhan dalam sosok pengemis menggugah kesadaran pembaca untuk lebih peka terhadap sesama dan mempertanyakan kembali nilai-nilai kemanusiaan.
Puisi ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat kehidupan dari permukaan, tetapi juga memahami bahwa di balik sosok yang terpinggirkan, bisa jadi ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga.
Karya: Arifin C. Noer
Biodata Arifin C. Noer:
- Arifin C. Noer (nama lengkapnya adalah Arifin Chairin Noer) lahir pada tanggal 10 Maret 1941 di kota Cirebon, Jawa Barat.
- Arifin C. Noer meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 di Jakarta.
- Arifin C. Noer adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.