Puisi: Nelayan Pantai Barat (Karya Lazuardi Anwar)

Puisi "Nelayan Pantai Barat" menggambarkan perjuangan yang keras, harapan yang tak selalu terwujud, dan ketidakpastian yang menyelimuti kehidupan ...
Nelayan Pantai Barat

Bukit curam
bukit batu menggeliat dipanggang hari
pecah-pecah ombak bersimpuh di lututnya
matahari terjun ke balik batu karang.

nelayan bergegas berkayuh pulang
nganga harap yang hampa
tawar laut air ludahnya.

Musim-musim berdatangan
derai puting beliung di pusar laut
terkulai menatap laut busa hidup
cadar bias berlumur kelabu

Nelayan pantai barat
jemari hari memilin-milin kehidupan
ke laut, bintang pagi belum berangkat tidur
ke darat, matahari terjun ke balik batu karang.

Bukit batu menggeliat sepanjang pantai
derai puting beliung di pusar laut
nelayan pantai barat
cadar bias berlumur kelabu

Medan, 1970

Sumber: Horison (Februari, 1970)

Analisis Puisi:

Puisi "Nelayan Pantai Barat" karya Lazuardi Anwar mengungkapkan gambaran hidup yang keras dan penuh perjuangan melalui imaji alam yang kuat. Puisi ini membahas kehidupan seorang nelayan di pantai barat, dengan latar belakang alam yang penuh kontradiksi antara keindahan dan kekerasan, antara harapan dan kenyataan. Penulis dengan cermat menggabungkan elemen-elemen alam, seperti ombak, bukit, matahari, dan puting beliung, untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh para nelayan.

Kontras Alam: Keindahan dan Kekerasan

Puisi ini dimulai dengan gambaran alam yang kuat: "Bukit curam / bukit batu menggeliat dipanggang hari / pecah-pecah ombak bersimpuh di lututnya / matahari terjun ke balik batu karang." Penggunaan kata-kata seperti "curam", "menggeliat", dan "dipanggang hari" memberikan gambaran tentang alam yang keras, penuh tantangan dan pergerakan. Bukit yang curam dan batu yang terpanggang matahari seolah menggambarkan ketangguhan alam, namun juga menghadirkan gambaran kekerasan dan ketidakpastian.

Ombak yang "pecah-pecah" dan "bersimpuh di lututnya" memperlihatkan adanya ketidakstabilan, perlawanan, dan fragilitas dalam hidup. Ombak, meskipun tampak kuat dan besar, akhirnya akan pecah dan mereda, mencerminkan bahwa meskipun perjuangan itu keras, pada akhirnya akan ada akhir atau resolusi, meskipun tak selalu sempurna. Hal ini juga bisa dilihat sebagai gambaran perjuangan nelayan yang keras, berkelanjutan, dan penuh ketidakpastian.

Konsep Waktu dan Kehidupan Nelayan

Senja di pantai barat merupakan waktu yang simbolik, menggambarkan peralihan antara hari dan malam, antara kerja keras dan waktu untuk beristirahat. Di saat senja, "nelayan bergegas berkayuh pulang / nganga harap yang hampa / tawar laut air ludahnya." Kalimat ini menggambarkan nelayan yang pulang setelah hari penuh perjuangan. "Nganga harap yang hampa" menyiratkan rasa kecewa atau ketidakpastian dalam hasil yang didapatkan. Harapan yang kosong ini menggambarkan betapa kerasnya kehidupan mereka, di mana hasil dari kerja keras mereka di laut sering kali tak sesuai dengan harapan.

Bahkan laut pun digambarkan dengan keras, sebagai "air ludahnya", yang bisa diartikan sebagai sesuatu yang kotor atau tidak murni, menciptakan kontras antara keindahan alam yang sering digambarkan romantis dengan kenyataan yang lebih keras dan tak terduga.

Musim dan Perubahan Alam

Puisi ini juga berbicara tentang perubahan musim dan kondisi alam yang tak menentu. "Musim-musim berdatangan / derai puting beliung di pusar laut / terkulai menatap laut busa hidup / cadar bias berlumur kelabu." Musim yang datang, seperti puting beliung yang menghantam, menunjukkan perubahan dan kesulitan yang datang secara tiba-tiba. Alam yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi para nelayan justru menjadi medan yang penuh dengan ancaman dan ketidakpastian.

Laut yang penuh dengan "busa hidup" mengandung ironi, menggambarkan kehidupan yang penuh dengan perlawanan, ketidakpastian, dan pertempuran yang tak pernah selesai. "Cadar bias berlumur kelabu" adalah gambaran visual yang kuat, menciptakan suasana muram, gelap, dan suram, memperlihatkan betapa kehidupan nelayan pantai barat dipenuhi dengan perjuangan dan ketidakpastian.

Rutinitas Kehidupan Nelayan

Bagian berikutnya dari puisi ini menggambarkan kehidupan nelayan dalam rutinitas yang tak pernah berhenti: "Nelayan pantai barat / jemari hari memilin-milin kehidupan / ke laut, bintang pagi belum berangkat tidur / ke darat, matahari terjun ke balik batu karang." Di sini, kehidupan nelayan digambarkan sebagai sebuah siklus yang terus berulang. Rutinitas mereka antara laut dan darat, malam dan siang, menunjukkan bahwa meskipun tantangan terus ada, kehidupan harus terus berlanjut.

Matahari yang "terjun ke balik batu karang" dan bintang yang "belum berangkat tidur" memberikan kesan bahwa waktu berlalu begitu cepat, tetapi kehidupan nelayan tetap berputar tanpa henti. Keindahan alam yang digambarkan dengan metafora matahari dan bintang ini juga menambahkan dimensi ironi, bahwa meskipun ada keindahan, kenyataan kehidupan tetap harus diterima dengan segala kesulitannya.

Puisi "Nelayan Pantai Barat" karya Lazuardi Anwar menyajikan gambaran kehidupan nelayan dengan sangat kuat dan penuh makna. Melalui simbolisme alam yang kaya, seperti ombak, bukit, matahari, dan puting beliung, puisi ini menggambarkan perjuangan yang keras, harapan yang tak selalu terwujud, dan ketidakpastian yang menyelimuti kehidupan nelayan. Kehidupan mereka yang penuh dengan rutinitas dan perubahan alam yang tidak dapat diprediksi menjadi cermin dari kerasnya hidup, di mana perjuangan tak pernah berhenti dan setiap hasil yang didapatkan selalu penuh dengan pertanyaan.

Puisi ini menggugah pembaca untuk merenungkan realitas kehidupan yang sering kali penuh dengan penderitaan dan ketidakpastian, namun tetap ada harapan dan perjuangan yang tak pernah padam.

Lazuardi Anwar
Puisi: Nelayan Pantai Barat
Karya: Lazuardi Anwar

Biodata Lazuardi Anwar:
  • Lazuardi Anwar lahir pada tanggal 12 april 1941 di Pariaman, Sumatera Barat.
© Sepenuhnya. All rights reserved.