Doa Seorang WTS
Tuhan, jangan harapkan saya sempurna.
Kesucian saya tak mungkin bisa pulih.
Laki saya kerja di pabrik rokok. Yang
dibawa pulang saban bulan cuma
10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan
judi buntut. Sedang anak-anak masih
kecil, tiga. Yang sulung baru kelas dua
SD. Mereka perlu makan, perlu obat
kalau sakit. Belum lagi pakaian
untuk lebaran, hiburan ke kebun binatang.
Mana bisa cukup uang segitu.
Pernah saya coba jualan kain di pasar
dan menjaga toko juragan beras. Tapi hasilnya
cuma pas-pasan. Badan saya jadi kurus
tidak terpelihara. Lalu saya beginilah jadinya.
Sekali-kali saya diajak hidung belang
ke Jakarta bermalam di hotel mewah.
Lumayan pendapatannya. Berapa sudah
lelaki yang sempat tidur sama saya.
Bisa saya renteng sepanjang jalan dari
Solo ke Yogya. Saya tidak sedih,
tidak berkeluh kesah. Justru ini
nasib yang saya pilih. Saya tidak perduli
pada neraka. Yang saya cari cuma sorga.
Bilanglah mana yang disebut dosa
kalau memang butuh menyambung nyawa.
Ah, Tuhan, jangan harapkan saya sempurna.
Sumber: Horison (November, 1988)
Analisis Puisi:
Puisi "Doa Seorang WTS" karya Subagio Sastrowardoyo menawarkan sebuah gambaran yang mendalam dan emosional tentang kehidupan seorang wanita tuna susila (WTS) yang menghadapi berbagai tantangan dan keputusasaan. Melalui lirik yang penuh perasaan dan pengakuan yang jujur, puisi ini mengeksplorasi tema keputusasaan, pengorbanan, dan pencarian makna dalam hidup yang penuh kesulitan.
Struktur dan Tema
Puisi ini disusun dalam bentuk monolog internal yang menceritakan keluh kesah dan permohonan seorang WTS kepada Tuhan. Struktur yang langsung dan tanpa hiasan ini menekankan kejujuran dan kesederhanaan dalam pengungkapan perasaan dan kondisi hidup.
Permohonan dan Pengakuan
"Tuhan, jangan harapkan saya sempurna. / Kesucian saya tak mungkin bisa pulih."
Baris pertama adalah permohonan yang menunjukkan kesadaran akan ketidaksempurnaan dan keputusasaan. Penulis meminta Tuhan untuk tidak mengharapkan kesempurnaan darinya karena ia menyadari bahwa kesuciannya tidak bisa kembali. Pengakuan ini menetapkan nada untuk sisa puisi, di mana penulis mengungkapkan realitas pahit hidupnya.
Kehidupan Ekonomi dan Keluarga
"Laki saya kerja di pabrik rokok. Yang / dibawa pulang saban bulan cuma / 10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan / judi buntut. Sedang anak-anak masih / kecil, tiga."
Baris ini menggambarkan kondisi ekonomi yang buruk dan ketidakmampuan suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Uang yang diterima tidak cukup untuk menghidupi keluarga, dan suami lebih banyak menghabiskan uang untuk berjudi daripada untuk kebutuhan keluarga. Ini mencerminkan beban berat yang harus ditanggung oleh penulis.
Upaya dan Kesulitan
"Pernah saya coba jualan kain di pasar / dan menjaga toko juragan beras. Tapi hasilnya / cuma pas-pasan. Badan saya jadi kurus / tidak terpelihara."
Penulis menyebutkan usaha-usaha yang telah dilakukan untuk memperbaiki keadaan, seperti berdagang dan bekerja di toko, tetapi hasilnya tidak memadai. Kesulitan ini berdampak pada kondisi fisik dan emosionalnya, memperlihatkan penderitaan yang dialaminya.
Kehidupan sebagai WTS dan Penerimaan
"Sekali-kali saya diajak hidung belang / ke Jakarta bermalam di hotel mewah. / Lumayan pendapatannya. Berapa sudah / lelaki yang sempat tidur sama saya."
Di sini, penulis mengungkapkan bagaimana ia terpaksa terlibat dalam pekerjaan sebagai WTS untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia menceritakan pengalamannya dengan para lelaki dan bagaimana pekerjaan tersebut memberikan pendapatan yang membantu, meskipun itu bukanlah pilihan idealnya.
Pengakuan dan Penerimaan Dosa
"Saya tidak sedih, tidak berkeluh kesah. Justru ini / nasib yang saya pilih. Saya tidak perduli / pada neraka. Yang saya cari cuma sorga."
Penulis menunjukkan sikap penerimaan terhadap nasibnya dan mengakui bahwa ia tidak merasa sedih atau menyesali keputusannya. Ia lebih fokus pada pencarian kebahagiaan atau "sorga" meskipun ia sadar akan kemungkinan hukuman di akhirat. Ini menggambarkan keterbukaan dan ketidakpedulian terhadap pandangan moral masyarakat.
Interpretasi
Puisi "Doa Seorang WTS" adalah sebuah pengakuan penuh dan realistis tentang kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh seorang wanita dalam profesi yang penuh stigma. Subagio Sastrowardoyo menggunakan bahasa yang lugas dan jujur untuk mengungkapkan kenyataan hidup yang pahit dan pilihan-pilihan sulit yang harus dihadapi oleh individu dalam keadaan tertekan.
Tema utama puisi ini adalah keputusasaan dan pengorbanan, di mana penulis dengan berani menggambarkan kondisi ekonomi yang buruk, usaha-usaha yang sia-sia, dan akhirnya, keterlibatan dalam pekerjaan sebagai WTS. Pengakuan ini menunjukkan bagaimana penulis menghadapi kehidupannya dengan sikap realistis dan penerimaan terhadap situasi yang tidak ideal.
Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh individu yang terpinggirkan, serta menyoroti bagaimana mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencari pengertian dalam kondisi yang tidak ideal. Dengan gaya penulisan yang langsung dan penuh perasaan, "Doa Seorang WTS" adalah sebuah refleksi mendalam tentang penderitaan dan pencarian makna dalam kehidupan yang penuh kesulitan.
Karya: Subagio Sastrowardoyo
Biodata Subagio Sastrowardoyo:
- Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
- Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.