Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja
rimba dahulu kali dahulu bunga dahulu unggas dahulu bukit dahuludahulu sekali bintang-bintang berkirim mawar pada hari ulang tahundahulu sekali awanpayung mengembang layar pada hari penobatandahulu sekali kutilang dan bungacelung berseloroh mengawali percintaan
kini rimba telah menjadikali mengejar jejak angsapengharapan tumbuh liartersesat di sebuah labirin cinta. Di sanabirahi berdesaktangan-tangannya menangkapisatu-persatu unggas berjatuhan
prit prit prit prit tililil .........
seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senjamenanti saat tangan perkasa meraih leher meremas kepaknyanamun ksatria yang ia kasihitak kunjung mau mati bersama(gemerincing kuda berlari menyebar sayap-sayap benturan besi)seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senja prit prit prit prit tililil .........
1976
Sumber: Horison (Februari, 1978)
rimba dahulu
kali dahulu
bunga dahulu
unggas dahulu
bukit dahulu
dahulu sekali bintang-bintang berkirim mawar pada hari ulang tahun
dahulu sekali awanpayung mengembang layar pada hari penobatan
dahulu sekali kutilang dan bungacelung berseloroh mengawali percintaan
kini rimba telah menjadi
kali mengejar jejak angsa
pengharapan tumbuh liar
tersesat di sebuah labirin cinta. Di sana
birahi berdesak
tangan-tangannya menangkapi
satu-persatu unggas berjatuhan
prit prit prit
prit tililil
.........
seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senja
menanti saat tangan perkasa meraih leher meremas kepaknya
namun ksatria yang ia kasihi
tak kunjung mau mati bersama
(gemerincing kuda berlari menyebar sayap-sayap benturan besi)
seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senja
prit prit prit
prit tililil
.........
1976
Sumber: Horison (Februari, 1978)
Analisis Puisi:
Joss Sarhadi, dalam puisinya yang puitis dan penuh simbol, “Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja”, menghadirkan lanskap kerinduan, kerusakan, dan keheningan yang mencekam. Dengan perpaduan diksi alam dan nuansa mitologis, puisi ini tak hanya menyajikan kisah burung yang sepi, melainkan juga gugatan halus atas dunia yang berubah dan manusia yang kehilangan arah.
Puisi ini merupakan karya yang memerlukan pembacaan perlahan dan reflektif. Melalui metafora dan irama lirih, pembaca dibawa menyusuri transformasi waktu dari "dahulu" yang harmoni menjadi "kini" yang hampa dan brutal. Di dalamnya terjalin tema cinta, kekerasan, pengkhianatan, dan penantian dalam bayang-bayang kehancuran.Tema
Puisi ini mengangkat tema besar tentang kerusakan zaman dan kesepian cinta yang tak tersampaikan. Tema lainnya mencakup pengkhianatan, pergeseran nilai, dan kehancuran harmoni alam serta cinta sejati.
Di balik kisah seekor burung kedasih yang setia menunggu, terkandung ratapan tentang dunia yang telah berubah: dari keindahan masa lalu menuju kebengisan zaman kini. Ada kegetiran atas hilangnya nilai luhur, hilangnya cinta yang tulus, dan kebisuan yang tak bisa menuntut keadilan.
Puisi ini bercerita tentang transformasi dari masa lalu yang penuh harmoni menuju masa kini yang penuh kehancuran dan keterasingan. Pada bagian awal, pembaca diajak menyusuri kenangan: tentang rimba, bunga, unggas, dan bintang-bintang yang memberi mawar. Dunia dahulu digambarkan sebagai utopia yang damai, penuh cinta, dan keseimbangan.
Namun, bagian tengah dan akhir puisi menghadirkan kontras drastis. Kini, hutan menjadi rusak, sungai mengejar jejak angsa, cinta tersesat dalam labirin, dan burung-burung berjatuhan. Di tengah kekacauan itu, seekor burung kedasih—yang secara mitologis dikenal sebagai simbol kesetiaan dan penantian dalam duka—menunggu di satu senja. Ia menanti kematian bersama ksatria yang dikasihi, tetapi sang ksatria tak kunjung datang.
Ini adalah kisah tentang kesetiaan yang tak terbalas, cinta yang tak berujung, dan dunia yang tak lagi memeluk keindahan masa silam.Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam. Burung kedasih bukan hanya simbol hewan, melainkan metafora dari jiwa yang setia, yang rela mati bersama cinta, namun ditinggalkan oleh dunia yang terus bergerak menuju kehancuran. Ia menunggu “sepi di satu senja”—bukan hanya waktu literal, tetapi juga metafor untuk senja kehidupan, titik menjelang akhir dari sesuatu yang dulunya indah.
Senja di sini bisa dibaca sebagai akhir zaman, atau akhir dari cinta yang murni. Sang ksatria, yang tak kunjung “mau mati bersama”, menyiratkan sosok yang takut menghadapi kenyataan, atau bisa jadi gambaran manusia modern yang tak lagi berani mencintai dengan segenap jiwa.
Di sisi lain, penggunaan suara burung “prit prit prit, prit tililil” menjadi semacam ratapan alam yang terus bergema—bahwa alam pun menangis atas apa yang terjadi.Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji-imaji puitis dan simbolik yang membentuk lanskap visual dan emosional:- Visual: “bintang-bintang berkirim mawar”, “awanpayung mengembang layar”, “birahi berdesak”, “tangan-tangannya menangkapi”, “unggaspun berjatuhan”. Imaji-imaji ini menciptakan kontras antara masa lalu yang indah dan masa kini yang brutal.
- Auditif: “prit prit prit, prit tililil”, bunyi burung menjadi latar yang menyayat dan menghidupkan suasana duka.
- Kinestetik: “tangan meraih leher meremas kepaknya” – menggambarkan aksi kekerasan terhadap sesuatu yang lembut dan tak berdaya.
Imaji dalam puisi ini mengalir seperti mimpi yang berubah menjadi mimpi buruk, dari cinta menjadi kekerasan, dari keindahan menjadi sepi.Majas
Puisi ini sangat kaya dengan majas yang memperkuat lapisan maknanya:- Metafora: “seekor burung kedasih menunggu sepi” – bukan hanya burung secara literal, tetapi jiwa manusia yang kehilangan tempat berpulang.
- Personifikasi: “awanpayung mengembang layar”, “bintang berkirim mawar” – alam digambarkan memiliki perasaan dan peran dalam perayaan manusia.
- Simbolisme: burung kedasih melambangkan kesetiaan dalam duka, senja melambangkan akhir, ksatria mewakili kekasih atau nilai luhur yang tak lagi hadir.
- Repetisi: Pengulangan baris “seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senja” menciptakan efek elegi dan memperkuat nada ratapan puisi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi berubah dari nostalgia yang hangat ke kegetiran yang menusuk. Ada suasana haru, pilu, dan kehampaan. Senja menjadi ruang sunyi tempat penantian tak kunjung selesai, sementara dunia terus berputar tanpa memperdulikan jiwa yang menunggu.
Suasana ini sangat khas dalam puisi-puisi yang merekam luka peradaban, mirip dengan suasana dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang menyampaikan kepedihan dengan kelembutan dan pengendapan rasa.Amanat / Pesan yang Disampaikan
Jika dicermati secara emosional dan simbolik, amanat puisi ini adalah peringatan: bahwa dunia yang kehilangan cinta, kesetiaan, dan harmoni akan menuju kehancuran yang sunyi. Seekor burung kedasih yang setia menunggu adalah simbol dari harapan yang tak kunjung disambut, atau mungkin kesetiaan yang dibalas dengan pengkhianatan.
Pesan lainnya, manusia modern harus menyadari bahwa dalam mengejar ambisi dan kekuasaan (digambarkan dengan “ksatria” dan “kuda berlari”), kita bisa saja meninggalkan yang paling berharga: cinta, kasih, dan keindahan masa silam.
Puisi “Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja” karya Joss Sarhadi adalah karya kontemplatif yang menyanyikan duka peradaban dan cinta yang kehilangan rumahnya. Dengan tema tentang kehancuran nilai, makna tersirat tentang cinta dan kesetiaan yang ditinggalkan, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak—merenungi suara prit prit prit dari kedalaman sunyi.
Joss Sarhadi, dalam puisinya, menanamkan satu renungan penting: bahwa dunia tidak rusak seketika, tapi dimulai dari diamnya kita terhadap luka-luka kecil, terhadap kesetiaan yang dibiarkan menunggu hingga senja benar-benar menutup langit.
Joss Sarhadi, dalam puisinya yang puitis dan penuh simbol, “Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja”, menghadirkan lanskap kerinduan, kerusakan, dan keheningan yang mencekam. Dengan perpaduan diksi alam dan nuansa mitologis, puisi ini tak hanya menyajikan kisah burung yang sepi, melainkan juga gugatan halus atas dunia yang berubah dan manusia yang kehilangan arah.
Puisi ini merupakan karya yang memerlukan pembacaan perlahan dan reflektif. Melalui metafora dan irama lirih, pembaca dibawa menyusuri transformasi waktu dari "dahulu" yang harmoni menjadi "kini" yang hampa dan brutal. Di dalamnya terjalin tema cinta, kekerasan, pengkhianatan, dan penantian dalam bayang-bayang kehancuran.
Tema
Puisi ini mengangkat tema besar tentang kerusakan zaman dan kesepian cinta yang tak tersampaikan. Tema lainnya mencakup pengkhianatan, pergeseran nilai, dan kehancuran harmoni alam serta cinta sejati.
Di balik kisah seekor burung kedasih yang setia menunggu, terkandung ratapan tentang dunia yang telah berubah: dari keindahan masa lalu menuju kebengisan zaman kini. Ada kegetiran atas hilangnya nilai luhur, hilangnya cinta yang tulus, dan kebisuan yang tak bisa menuntut keadilan.
Puisi ini bercerita tentang transformasi dari masa lalu yang penuh harmoni menuju masa kini yang penuh kehancuran dan keterasingan. Pada bagian awal, pembaca diajak menyusuri kenangan: tentang rimba, bunga, unggas, dan bintang-bintang yang memberi mawar. Dunia dahulu digambarkan sebagai utopia yang damai, penuh cinta, dan keseimbangan.
Namun, bagian tengah dan akhir puisi menghadirkan kontras drastis. Kini, hutan menjadi rusak, sungai mengejar jejak angsa, cinta tersesat dalam labirin, dan burung-burung berjatuhan. Di tengah kekacauan itu, seekor burung kedasih—yang secara mitologis dikenal sebagai simbol kesetiaan dan penantian dalam duka—menunggu di satu senja. Ia menanti kematian bersama ksatria yang dikasihi, tetapi sang ksatria tak kunjung datang.
Ini adalah kisah tentang kesetiaan yang tak terbalas, cinta yang tak berujung, dan dunia yang tak lagi memeluk keindahan masa silam.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam. Burung kedasih bukan hanya simbol hewan, melainkan metafora dari jiwa yang setia, yang rela mati bersama cinta, namun ditinggalkan oleh dunia yang terus bergerak menuju kehancuran. Ia menunggu “sepi di satu senja”—bukan hanya waktu literal, tetapi juga metafor untuk senja kehidupan, titik menjelang akhir dari sesuatu yang dulunya indah.
Senja di sini bisa dibaca sebagai akhir zaman, atau akhir dari cinta yang murni. Sang ksatria, yang tak kunjung “mau mati bersama”, menyiratkan sosok yang takut menghadapi kenyataan, atau bisa jadi gambaran manusia modern yang tak lagi berani mencintai dengan segenap jiwa.
Di sisi lain, penggunaan suara burung “prit prit prit, prit tililil” menjadi semacam ratapan alam yang terus bergema—bahwa alam pun menangis atas apa yang terjadi.
Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji-imaji puitis dan simbolik yang membentuk lanskap visual dan emosional:
- Visual: “bintang-bintang berkirim mawar”, “awanpayung mengembang layar”, “birahi berdesak”, “tangan-tangannya menangkapi”, “unggaspun berjatuhan”. Imaji-imaji ini menciptakan kontras antara masa lalu yang indah dan masa kini yang brutal.
- Auditif: “prit prit prit, prit tililil”, bunyi burung menjadi latar yang menyayat dan menghidupkan suasana duka.
- Kinestetik: “tangan meraih leher meremas kepaknya” – menggambarkan aksi kekerasan terhadap sesuatu yang lembut dan tak berdaya.
Imaji dalam puisi ini mengalir seperti mimpi yang berubah menjadi mimpi buruk, dari cinta menjadi kekerasan, dari keindahan menjadi sepi.
Majas
Puisi ini sangat kaya dengan majas yang memperkuat lapisan maknanya:
- Metafora: “seekor burung kedasih menunggu sepi” – bukan hanya burung secara literal, tetapi jiwa manusia yang kehilangan tempat berpulang.
- Personifikasi: “awanpayung mengembang layar”, “bintang berkirim mawar” – alam digambarkan memiliki perasaan dan peran dalam perayaan manusia.
- Simbolisme: burung kedasih melambangkan kesetiaan dalam duka, senja melambangkan akhir, ksatria mewakili kekasih atau nilai luhur yang tak lagi hadir.
- Repetisi: Pengulangan baris “seekor burung kedasih menunggu sepi di satu senja” menciptakan efek elegi dan memperkuat nada ratapan puisi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi berubah dari nostalgia yang hangat ke kegetiran yang menusuk. Ada suasana haru, pilu, dan kehampaan. Senja menjadi ruang sunyi tempat penantian tak kunjung selesai, sementara dunia terus berputar tanpa memperdulikan jiwa yang menunggu.
Suasana ini sangat khas dalam puisi-puisi yang merekam luka peradaban, mirip dengan suasana dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang menyampaikan kepedihan dengan kelembutan dan pengendapan rasa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Jika dicermati secara emosional dan simbolik, amanat puisi ini adalah peringatan: bahwa dunia yang kehilangan cinta, kesetiaan, dan harmoni akan menuju kehancuran yang sunyi. Seekor burung kedasih yang setia menunggu adalah simbol dari harapan yang tak kunjung disambut, atau mungkin kesetiaan yang dibalas dengan pengkhianatan.
Pesan lainnya, manusia modern harus menyadari bahwa dalam mengejar ambisi dan kekuasaan (digambarkan dengan “ksatria” dan “kuda berlari”), kita bisa saja meninggalkan yang paling berharga: cinta, kasih, dan keindahan masa silam.
Puisi “Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja” karya Joss Sarhadi adalah karya kontemplatif yang menyanyikan duka peradaban dan cinta yang kehilangan rumahnya. Dengan tema tentang kehancuran nilai, makna tersirat tentang cinta dan kesetiaan yang ditinggalkan, serta imaji dan majas yang kuat, puisi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak—merenungi suara prit prit prit dari kedalaman sunyi.
Joss Sarhadi, dalam puisinya, menanamkan satu renungan penting: bahwa dunia tidak rusak seketika, tapi dimulai dari diamnya kita terhadap luka-luka kecil, terhadap kesetiaan yang dibiarkan menunggu hingga senja benar-benar menutup langit.