Puisi: Bawakaraeng (Karya Rahman Arge)

Puisi "Bawakaraeng" karya Rahman Arge adalah sebuah penggambaran puitis tentang keberlanjutan warisan nenek moyang dan pentingnya menghargai serta ...
Bawakaraeng


Telah kusapa malam sejak senja
Menelan matahari rindumu
Serumpun camar kebaikan
Menyapu gelombang menjadi sayap-sayap
keperakan
Dan kita dituntunnya ke puncak
Bawakaraeng

    Di sini masih tersisa semerbak kebaikan
    Bertahan di tiang tengah
    Rumah purba
    Nenek moyang

Dari pucuk-pucuk awan
Kenangan lama itu tak henti bernyanyi
Di tengah debur hari
Berlari memanjat tebing-tebing waktu
dan berkata:
    Selamat tinggal rumah purba
    Nenek moyang adalah sebongkah
    Batu gunung
    Yang tak lagi bisa bicara

Ah, Bawakaraeng
Gerakkan sunyi punggungmu
pada anak cucu
yang terkepung bingung
mencari
jalannya


Bukit Lebong, Gowa, 1979

Sumber: Jalan Menuju Jalan (2007)

Catatan:
Bawakaraeng: salah satu gunung tertinggi di Sulawesi Selatan.

Analisis Puisi:
Puisi "Bawakaraeng" karya Rahman Arge adalah sebuah penggambaran puitis tentang keberlanjutan warisan nenek moyang dan pentingnya menghargai serta mengambil inspirasi dari masa lalu. Puisi ini mengangkat tema warisan budaya, pemahaman masa lalu, dan pentingnya meneruskan nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang.

Malam yang Menyambut Kepulangan: Puisi ini dimulai dengan "kusapa malam sejak senja," menciptakan suasana peralihan dari siang ke malam, dari aktivitas ke hening. Penulis mengaitkan matahari terbenam dengan "menelan matahari rindumu," menggambarkan pengalaman melihat matahari terbenam sebagai momen introspeksi dan nostalgia.

Camar Kebaikan dan Gelombang Kehidupan: "Camar kebaikan" disebutkan sebagai simbol yang menyapu "gelombang menjadi sayap-sayap keperakan." Ini menggambarkan tindakan positif dan nilai-nilai yang membentuk hidup seorang individu dan masyarakat. Gelombang kehidupan dan perubahan diumpamakan sebagai laut, dan "sayap-sayap keperakan" mencerminkan kemampuan manusia untuk berkembang dan berubah.

Puncak Bawakaraeng dan Keabadian Warisan: "Puncak Bawakaraeng" adalah titik tertinggi dalam puisi ini, mewakili tempat tinggi secara fisik dan spiritual. Ini juga dapat diartikan sebagai metafora untuk kedalaman pemahaman dan warisan budaya. Penyebutan "Bawakaraeng" merujuk pada tokoh Bawakaraeng, seorang pahlawan dari Sulawesi Selatan yang terkenal karena perjuangannya melawan penjajah.

Nenek Moyang dan Warisan: Puisi ini mengandung penghargaan terhadap nenek moyang sebagai sumber nilai-nilai dan tradisi. "Nenek moyang adalah sebongkah batu gunung" mengilustrasikan kekokohan dan keteguhan nilai-nilai tersebut. Namun, penyebutan bahwa "nenek moyang tidak lagi bisa bicara" mengacu pada kehilangan arus komunikasi langsung dengan masa lalu dan mengakibatkan hilangnya pemahaman tentang sejarah dan budaya.

Kenangan dan Penutup: Malam yang menyambut kepulangan juga membawa "kenangan lama itu tak henti bernyanyi." Ini menggambarkan bagaimana kenangan dan pengalaman masa lalu terus hadir dalam ingatan dan memberikan panduan dalam perjalanan hidup.

Bawakaraeng sebagai Pemandu: Puisi ini mengakhiri dirinya dengan merujuk pada Bawakaraeng sebagai pemandu. "Gerakkan sunyi punggungmu pada anak cucu yang terkepung bingung mencari jalannya" adalah panggilan untuk meneruskan warisan nilai-nilai dan panduan yang diwariskan oleh tokoh masa lalu.

Puisi ini mengingatkan kita tentang pentingnya menghormati dan memahami nilai-nilai yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Warisan budaya, nilai-nilai kebaikan, dan panduan dari masa lalu membantu membentuk identitas dan arah perjalanan kita. Puisi ini memotivasi pembaca untuk tidak hanya melihat ke masa lalu sebagai kenangan, tetapi juga sebagai sumber inspirasi untuk menjalani masa depan.

Rahman Arge
Puisi: Bawakaraeng
Karya: Rahman Arge

Biodata Rahman Arge:
  • Rahman Arge (Abdul Rahman Gega) lahir pada tanggal 17 Juli 1935 di Makassar, Sulawesi Selatan.
  • Rahman Arge meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 2015 (pada usia 80).
  • Edjaan Tempo Doeloe: Rachman Arge.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Semakin Tinggi MonyetSemakin tinggiMonyet memanjatSemakin jelasBelang pantatnyaSumber: Jalan Menuju Jalan (2007)Puisi: Semakin Tinggi MonyetKarya: Rahman ArgeBiodata…
  • PasomppeMengantar M. T. Gega ke Pelabuhantelah buntinglayarbadik terhunus segalaarahtembok-tembokkarangmengantar cemaskuke ronggakelamlaut        menoleh ke bur…
  • Perempuan di Pantai Paotereangin pantai ujung tanahmenari bersamagelepar kerudungmupucuk-pucuk gelombangpecahdi buritan pinisiusia bertahan pada musimmenabur jejak panritadalam wak…
  • KursiKarena kursi cuma satuMaka saya duduk di kursiKamu di tiang gantunganSumber: Jalan Menuju Jalan (2007)Puisi: KursiKarya: Rahman ArgeBiodata Rahman Arge:Rahman A…
  • Khotbah MafiosoKita dengarkan percakapan ituDi kursi-kursi atas orang-orang atasTak ada beda nonton filmKetika Don Artobello, cukong para gangsterSisiliaMeminta Don Luchessi, polit…
  • Di Depan Patung TolstoyMata tajam di lekuk dalamRimba janggut putihmumenatapkuSeakan engkau menyerukuSudah baca War and Peace?Supaya kau tahuDi sini tak ada yang damba perangRusia …
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.