Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: TIK (Karya Sutardji Calzoum Bachri)

Puisi “TIK” karya Sutardji Calzoum Bachri bercerita tentang kegelisahan manusia dalam menghadapi waktu. Mulai dari pencarian ("dimana kau?") yang ...
TIK

tibatiba

            dirangkumnya langit
                        dirangkumnya matari
                                            wau!
                                                dimana kau?

ketika
    laut tidur kembali
        dua ribu arloji tak bertuan
                                    yang

                                        dipakai
                                            kepiting
                                                dipantai

                        masih saja berbunyi
                        tiktiktiktiktiktiktiktiktik
        (artinya manakutahu manakutahu artinya)

1975

Sumber: O Amuk Kapak (1981)

Analisis Puisi:

Puisi “TIK” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah contoh tajam dari bagaimana sang Presiden Penyair Indonesia bermain-main dengan bahasa, waktu, dan absurditas realitas. Puisi ini tidak hanya memperlihatkan permainan visual dan suara, namun juga menyiratkan kegelisahan eksistensial tentang waktu, keberadaan, dan pencarian makna dalam kehidupan yang absurd. Dengan gaya khasnya yang eksperimental, Sutardji menantang cara kita membaca dan memahami puisi.

Tema

Tema utama puisi “TIK” adalah waktu dan absurditas eksistensial. Waktu digambarkan sebagai entitas yang lepas dari kendali manusia, bahkan menjadi sesuatu yang tak lagi dapat dimiliki atau dimaknai. Selain itu, puisi ini juga menyentuh pencarian akan kehadiran yang misterius atau hilang—barangkali Tuhan, barangkali makna, atau bahkan diri sendiri.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini berlapis dan terbuka untuk banyak penafsiran. Kalimat seperti “dua ribu arloji tak bertuan yang dipakai kepiting di pantai” memberi gambaran surealis tentang benda-benda waktu (arloji) yang kehilangan tuannya, simbol dari manusia yang telah tercerabut dari keteraturan waktu atau realitas. Kepiting yang memakai arloji menjadi lambang dari absurditas itu sendiri—apa gunanya waktu bagi binatang? Maka, waktu menjadi ironi.

Kemudian, deretan bunyi “tiktiktiktiktiktik” diikuti oleh kalimat “(artinya manakutahu manakutahu artinya)” seolah menegaskan kebingungan atau ketidaktahuan manusia tentang makna waktu itu sendiri. Sebuah lingkaran tak berujung: waktu terus berdetak, tapi kita tidak pernah benar-benar tahu artinya.

Puisi ini bercerita tentang kegelisahan manusia dalam menghadapi waktu. Mulai dari pencarian ("dimana kau?") yang bisa merujuk pada entitas penting seperti Tuhan, sahabat, atau makna hidup itu sendiri, hingga kekacauan waktu yang tidak lagi manusiawi. Waktu tidak menjadi milik manusia, melainkan jatuh ke tangan hal-hal asing (kepiting), dan tetap berdetak tanpa arah.

Ada juga kemungkinan bahwa puisi ini menggambarkan kekosongan spiritual atau alienasi modern, di mana manusia dikepung oleh detak waktu (yang identik dengan mesin dan kehidupan industrial) tetapi kehilangan pegangan tentang apa arti waktu itu bagi keberadaannya.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini sangat surealis, misterius, dan gelisah. Pembaca dihadapkan pada dunia yang tidak biasa: langit dan matahari yang dirangkum tiba-tiba, pencarian terhadap “kau” yang entah siapa, lautan yang tidur, dan kepiting yang mengenakan arloji. Semua ini menciptakan nuansa mimpi yang absurd, namun tetap mengandung kecemasan eksistensial.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang tersirat dalam puisi ini adalah bahwa waktu tidak selalu membawa makna, dan manusia yang terobsesi dengannya bisa tersesat dalam absurditas. Penulis seolah menyindir bagaimana manusia modern menghamba pada waktu (tanda-tanda: jam, detik, tiktik) tapi justru kehilangan pemahaman tentang hakikat waktu itu sendiri. Ada kritik terhadap kehidupan mekanis dan kehilangan spiritualitas.

Puisi ini juga menyampaikan bahwa tidak semua yang berdetak itu bermakna, dan bahwa pencarian terhadap makna harus melampaui tanda-tanda yang bersifat mekanistik.

Imaji

Sutardji menggunakan imaji yang tajam dan ganjil dalam puisi ini:
  • “dua ribu arloji tak bertuan” – membangkitkan bayangan tentang jam-jam yang tidak memiliki pemilik, tersebar tak terurus, menunjukkan ketakberaturan.
  • “kepiting di pantai” memakai arloji – menghadirkan pemandangan absurd yang kuat secara visual.
  • “dirangkumnya langit / dirangkumnya matari” – mengesankan kekuatan yang sangat besar, seolah seseorang bisa menggenggam kosmos.
Semua imaji ini bukan hanya visual, tapi juga menyuguhkan sensasi sureal dan menggelitik rasa penasaran pembaca.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas:
  • Personifikasi: “dua ribu arloji tak bertuan” seolah-olah jam adalah entitas hidup yang bisa memiliki tuan.
  • Metafora: “dirangkumnya langit” dan “dirangkumnya matari” mengisyaratkan kekuatan ilahiah atau ambisi manusia yang terlalu besar.
  • Simbolisme: Arloji menjadi simbol waktu, kepiting bisa menjadi lambang absurditas atau keterasingan.
  • Onomatope: “tiktiktiktiktiktik” meniru bunyi jam yang menciptakan efek audio langsung ke benak pembaca.
Puisi “TIK” karya Sutardji Calzoum Bachri mengajak kita memasuki dunia di mana logika sehari-hari ditanggalkan, dan digantikan oleh kegelisahan filosofis serta permainan bahasa. Dengan tema waktu dan absurditas, serta makna tersirat tentang hilangnya pegangan manusia terhadap realitas, puisi ini menjadi refleksi tajam tentang dunia yang semakin mekanis namun kehilangan makna. Imaji kuat dan majas khas Sutardji semakin mempertegas kedalaman puisi ini.

Puisi ini tidak menawarkan jawaban, tetapi justru menggugah pertanyaan: "manakutahu manakutahu artinya?" — pertanyaan yang terus berdetak, seperti jam yang tak pernah benar-benar berhenti.

Puisi: TIK
Puisi: TIK
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
  1. Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
  2. Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.