Puisi: Mulutmu Mencubit Mulutku (Karya Chairil Anwar)

Puisi "Mulutmu Mencubit Mulutku" karya Chairil Anwar menghadirkan gambaran yang kuat tentang kecemburuan dan penderitaan dalam hubungan asmara.
Mulutmu Mencubit Mulutku

Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-pedih kau meluka??

12 Juli 1943

Sumber: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)

Catatan Admin:
Puisi ini tidak diberi judul.

Analisis Puisi:

Chairil Anwar, salah satu penyair terkemuka Indonesia, dikenal karena keberaniannya dalam mengeksplorasi tema cinta dan penderitaan dalam karya-karyanya. Puisi "Mulutmu Mencubit Mulutku" tidak terkecuali, menghadirkan gambaran yang kuat tentang kecemburuan dan penderitaan dalam hubungan asmara.

Ekspresi Kecemburuan: Dalam pengantar puisi, Chairil menggunakan kata-kata yang menggambarkan perasaan kecemburuan dan ketidakpuasan. Ungkapan "Mulutmu mencubit di mulutku" menciptakan gambaran fisik dari kecemburuan itu sendiri, seolah-olah pasangan tersebut menggigit atau menyakiti pasangannya melalui perkataan atau perbuatan.

Menggelegak Benci: Kata "Menggelegak benci sejenak itu" menyoroti intensitas perasaan benci yang meluap-luap sesaat. Ini menggambarkan momen di mana kecemburuan mencapai puncaknya, menciptakan kemarahan yang mungkin sulit untuk dikendalikan.

Pertanyaan Penderitaan: Puisi ini juga mengajukan pertanyaan yang menggugah perasaan, yaitu "Mengapa merihmu tak kucekik pula?" Ungkapan ini mencerminkan perasaan kesakitan dan keputusasaan dalam menghadapi cemburu dan pengkhianatan.

Kontras Dalam Bahasa: Puisi ini menciptakan kontras yang kuat antara gambaran fisik kekerasan ("Mencubit") dengan rasa sakit dan pertanyaan penderitaan. Kontras ini menghadirkan dimensi emosional yang mendalam, mengeksplorasi bagaimana kecemburuan dapat memicu konflik dan penderitaan dalam hubungan.

Keputusasaan dan Pengorbanan: Dalam ungkapan "Ketika halus-pedih kau meluka," terdapat unsur pengorbanan dan keputusasaan. Kata "halus-pedih" menciptakan gambaran rasa sakit yang lembut namun tajam, menunjukkan bagaimana cinta dalam hubungan ini masih hadir meskipun terluka.

Gaya Bahasa Chairil Anwar: Puisi ini mencerminkan gaya bahasa khas Chairil Anwar yang lugas dan tajam. Dalam mengekspresikan perasaan cinta dan penderitaan, Chairil tidak ragu untuk menggunakan bahasa yang sederhana namun mendalam.

Puisi Cinta dan Penderitaan: Secara keseluruhan, "Mulutmu Mencubit Mulutku" dapat dilihat sebagai representasi dari tema umum yang sering diangkat oleh Chairil, yaitu cinta dan penderitaan. Puisi ini menggambarkan ketidaksempurnaan hubungan asmara, ketidakamanan, dan konflik yang muncul dalam dinamika cinta.

Dengan begitu, Chairil Anwar lagi-lagi berhasil menciptakan karya yang memukau, menjelajahi kompleksitas emosi dalam hubungan manusia.

Chairil Anwar
Puisi: Mulutmu Mencubit Mulutku
Karya: Chairil Anwar

Biodata Chairil Anwar:
  • Chairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli 1922.
  • Chairil Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 (pada usia 26 tahun).
  • Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.
© Sepenuhnya. All rights reserved.