Percakapan Malam
bulan meniti pedih
malam setan setan
bir neguk jam
tak ngucap heran
bulan bilang tangis
bir bilang setan
bulan bilang sadis
bir bilang paham
bulan melengking
bir goyang goyang
1977
Sumber: Horison (Januari, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi “Percakapan Malam” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah salah satu contoh eksplorasi liris yang nyentrik sekaligus menyentuh. Dalam baris-baris pendek dan sederhana, penyair menyajikan suasana malam yang absurd, kelam, namun penuh makna simbolik. Gaya khas Sutardji yang eksperimental sangat terasa dalam puisi ini—dengan diksi nyeleneh, ritme tak biasa, dan permainan bunyi yang mengejutkan. Namun justru di situlah kekuatan puisi ini: sebuah perenungan tentang keterasingan, mabuk eksistensial, dan keretakan batin dalam ruang yang sunyi.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah pergulatan batin dan percakapan absurd dalam keheningan malam. Malam digambarkan sebagai ruang hadirnya perasaan sedih, mabuk, absurditas, dan perbincangan imajinatif antara dua entitas simbolik: bulan dan bir. Tema lain yang bisa dibaca adalah keresahan eksistensial, yakni tentang bagaimana manusia mencoba mencari makna dalam keadaan mabuk kesepian dan pikiran yang mengambang.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan kondisi jiwa yang goyah dan terjebak dalam absurditas hidup. Sosok “bulan” dan “bir” dapat dimaknai sebagai dua aspek dari kesadaran manusia: satu tenang namun pedih, satunya lagi mengguncang dan mengacau. “Bulan” bisa mewakili nalar, hati, atau perasaan, sementara “bir” melambangkan pelarian, mabuk, atau kebebasan tanpa arah.
Makna tersirat lainnya adalah ketidakmampuan manusia untuk menjelaskan penderitaan secara rasional. Semua percakapan yang dilakukan antara bulan dan bir terkesan sia-sia, absurd, bahkan saling bertentangan. Namun, justru dari ketidaksinkronan itulah lahir sebuah potret kejujuran batin yang sedang kacau.
Puisi ini bercerita tentang peristiwa malam hari di mana bulan dan bir seolah berdialog satu sama lain, mewakili dua kutub dalam diri seseorang yang sedang berada di titik kelelahan emosional. Percakapan yang berlangsung tak runut, penuh simbol, dan bersifat asosiatif—seperti mimpi yang patah-patah. Ada kesan bahwa sang tokoh aku-liris sedang mabuk atau melarikan diri dari kenyataan yang menghimpit, dan satu-satunya teman yang tersedia hanyalah bulan dan botol bir. Narasi dalam puisi ini bukan narasi kronologis, melainkan narasi emosional yang meloncat-loncat namun menggambarkan satu kondisi jiwa yang rapuh.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini memunculkan suasana yang kabur, gelap, murung, dan mengambang. Kata-kata seperti “pedih”, “setan-setan”, dan “sadis” memperkuat atmosfer yang tidak stabil, sementara penggunaan frasa “bir goyang goyang” memberi kesan mabuk dan kehilangan kendali. Suasana keseluruhan adalah suram dan liminal: antara sadar dan tidak sadar, antara logika dan kegilaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang mungkin bisa ditarik dari puisi ini adalah bahwa dalam kesunyian malam dan kegelisahan batin, manusia sering berbicara dengan dirinya sendiri melalui simbol-simbol yang tampak kacau namun justru jujur. Sutardji tampaknya ingin menyampaikan bahwa dunia tak selalu dapat dijelaskan secara logis, dan kadang penderitaan lebih nyata saat diungkapkan dalam absurditas daripada dalam kalimat bijak.
Pesan lainnya adalah bahwa pelarian dalam bentuk apa pun (misalnya alkohol) tak serta-merta menghapus kesedihan—justru sering kali membuat realitas yang dihindari menjadi lebih puitis, lebih absurd, dan lebih menusuk.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji yang menggabungkan keindahan visual dan rasa getir:
- “bulan meniti pedih”: Imaji yang kuat, menghadirkan visual bulan berjalan di atas luka atau penderitaan. Ini menciptakan gambaran kesunyian yang memedihkan.
- “malam setan setan”: Imaji yang menciptakan kesan malam sebagai ruang penuh gangguan batin atau pikiran liar.
- “bir bilang sadis / bir bilang paham”: Menggambarkan botol bir seolah memahami rasa sakit manusia, atau justru ikut memperparahnya.
- “bir goyang goyang”: Imaji mabuk yang konkret dan menggambarkan ketidakstabilan psikis.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: Bulan dan bir diberi kemampuan untuk “bilang”, “melengking”, dan “paham”, yang tentu saja bukan sifat alami benda-benda itu.
- Metafora: “bulan meniti pedih” adalah metafora penderitaan yang senyap tapi konstan. Bulan dijadikan representasi rasa sedih yang terus berjalan.
- Simbolisme: Bulan melambangkan ketenangan, kerapuhan, atau kesedihan; sementara bir melambangkan pelarian, ketidakstabilan, dan keinginan untuk melupakan.
- Repetisi: Pola pengulangan seperti “bulan bilang” dan “bir bilang” menambah ritme puisi sekaligus memperkuat absurditas percakapan yang ditampilkan.
Puisi “Percakapan Malam” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebuah elegi absurd tentang malam, kesepian, dan pencarian makna. Melalui percakapan imajinatif antara bulan dan bir, Sutardji membongkar kegelisahan batin manusia modern yang gamang dan ingin lari dari kenyataan. Meski diksi yang digunakan terkesan ringan dan bahkan ‘main-main’, makna tersiratnya justru dalam dan menggugah.
Dengan tema yang kontemplatif, imaji yang padat, serta penggunaan majas yang kreatif, puisi ini menghadirkan suasana malam yang bukan hanya sepi, tapi juga mengguncang dan menggugah kesadaran akan absurditas hidup. Inilah kejeniusan Sutardji: membuat kata-kata menari, mabuk, dan akhirnya, menangis bersama malam.
Karya: Sutardji Calzoum Bachri
Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
- Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
- Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.