Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lalat (Karya Sutardji Calzoum Bachri)

Puisi “Lalat” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah potret kecil tentang realitas besar: bahwa penderitaan, kekotoran, dan kematian bukanlah hal ...
Lalat

dengan lalat
terbang dari nanah ke nanah
dari ngilu ke ngilu
dari resah sampai ke barah

aku terbang
sama lalat arwah
(kini dia mati
kena tempeleng)
dari timbangan ke lain timbangan
dari titian ke lain titian

- bahkan lalat masuk surga
kata lalatlalat yang di surga
- apalagi kalau mati kena tempeleng
mereka bilang

1976-1977

Sumber: Horison (Januari, 1978)

Analisis Puisi:

Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair yang membebaskan kata-kata dari makna konvensional. Puisinya kerap menyuarakan absurditas realitas, dengan permainan bunyi, pengulangan, dan penggalan-penggalan makna yang menyeret pembaca ke wilayah perenungan paling liar. Salah satu puisi pendeknya, "Lalat", adalah contoh tepat bagaimana hal-hal remeh-temeh—dalam hal ini, lalat—bisa menyimpan muatan simbolik yang dalam dan tragis.

Tema

Puisi ini mengangkat tema eksistensi dalam penderitaan, dengan lalat sebagai simbol kehidupan yang menjijikkan, diabaikan, namun tetap terus ada dan hidup. Lalat juga menjadi gambaran pergerakan, perjalanan, bahkan nasib yang absurd.

Makna Tersirat

Puisi ini menyimpan makna tersirat tentang perjalanan hidup manusia dalam penderitaan dan absurditas realitas yang kejam. Dengan menghadirkan citra lalat yang "terbang dari nanah ke nanah", penyair menyiratkan bahwa kehidupan kadang bergerak dari luka ke luka, dari satu bentuk penderitaan ke bentuk penderitaan lain. Bahkan, saat "mati kena tempeleng", seolah-olah kematian pun menjadi jalan menuju pembebasan (bahkan ke "surga") bagi mereka yang hina dan kecil.

Baris terakhir—"mereka bilang"—mengindikasikan bahwa narasi tentang surga pun bisa jadi hanya mitos penghibur, dongeng yang diucapkan berulang-ulang oleh mereka yang telah lebih dulu pergi.

Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seekor lalat—atau "aku" liris yang bersatu dengan lalat—yang melakukan perjalanan dari luka ke luka, dari satu penderitaan ke penderitaan lain, hingga akhirnya mati. Kematian lalat bukan akhir dari absurditas, melainkan bagian dari siklusnya: bahkan kematian pun dihiasi dengan ironi. Lalat yang mati "kena tempeleng" malah dianggap masuk surga, seolah kematian menjadi kemuliaan tersendiri bagi makhluk terbuang.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa suram, getir, dan ironis. Kata-kata seperti "nanah", "ngilu", "barah", serta kematian yang datang lewat "tempeleng" menggambarkan suasana sakit dan tragis. Namun, di balik itu ada semacam kejenakaan getir—nyaris seperti satire eksistensial—yang membuat pembaca terdiam dan berpikir ulang tentang nasib dan arti hidup.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan amanat bahwa kehidupan tak selalu mulia dan indah. Kadang manusia, seperti lalat, bergerak dalam dunia yang kotor, menyakitkan, dan penuh penderitaan. Namun bahkan dari tempat seperti itu, ada harapan akan pembebasan, meskipun dalam bentuk yang tragis dan ironis: kematian yang menjadi "surga". Namun, amanat ini tak ditawarkan sebagai kepastian, melainkan sebagai ironi, mungkin juga kritik atas keyakinan yang terlalu mudah tentang kehidupan setelah mati.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji sensorik, terutama imaji visual dan kinestetik:
  • "terbang dari nanah ke nanah / dari ngilu ke ngilu" – menggambarkan pergerakan dalam penderitaan fisik.
  • "dari timbangan ke lain timbangan / dari titian ke lain titian" – menimbulkan kesan pergerakan tanpa arah atau tujuan, sebuah pencarian yang tak selesai.
  • "kena tempeleng" – imaji tubuh yang tiba-tiba dipukul, kasar, mengejutkan, dan final.

Majas

Sutardji memakai berbagai majas, antara lain:
  • Metafora: Lalat dalam puisi ini menjadi metafora bagi manusia atau makhluk kecil yang hidup dalam penderitaan.
  • Ironi: Kalimat "bahkan lalat masuk surga" adalah bentuk ironi yang menyindir absurditas keyakinan dan nasib.
  • Personifikasi: Lalat-lalat digambarkan bisa berbicara dan "bilang" sesuatu.
  • Pengulangan (repetisi): Frasa "pukau" dalam puisinya yang lain, dan di puisi ini, frasa "dari... ke..." menciptakan ritme dan tekanan makna yang mendalam.
  • Simbolisme: Nanah, barah, lalat, dan tempeleng digunakan sebagai simbol penderitaan, kekotoran, dan kematian.
Puisi “Lalat” karya Sutardji Calzoum Bachri adalah potret kecil tentang realitas besar: bahwa penderitaan, kekotoran, dan kematian bukanlah hal yang bisa dihindari dalam kehidupan. Namun melalui puisi ini, kita juga diajak untuk merenungkan absurditas dari sistem nilai yang menyamakan kematian dengan surga, bahkan untuk makhluk sejenak dan sepintas lalu seperti lalat. Sutardji tidak memberi jawaban, hanya cermin—dan kadang, cermin itu memantulkan wajah yang getir sekaligus menggelikan.

Dengan liris yang padat dan simbolik, “Lalat” tak hanya berbicara tentang serangga. Ia berbicara tentang kita semua yang terbang dari luka ke luka, dari duka ke duka, dan masih percaya, atau pura-pura percaya, bahwa suatu saat akan masuk ke “surga” juga.

Sutardji Calzoum Bachri
Puisi: Lalat
Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Biodata Sutardji Calzoum Bachri:
  • Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941.
  • Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.