Negeri Laut
Di sekitar deret penjual koran
cuaca seperti buku-buku porno
di dekat restoran bermenu sampah
segerombol remaja mengecat oranye di kepalanya
seperti huruf-huruf seragam pada reklame
mereka merasa di seberang benua
di sebuah sudut, di kedai kopi
matamu tersihir juga — serentak bergumam
atau mungkin sejenis dzikir
"dunia seperti dongeng, kambing-kambing
belanja dan merumput di televisi..."
ada juga kalimat sakti pada spanduk
isyarat riwayat gawat, dulu
memang ada sebundel waktu ketika karang
bertemu tangan menjelma gairah
dan laut jadi meriah. Kapal-kapal singgah
buritan penuh dengan rempah-rempah
penduduk sibuk berjabat tangan
membagi senyum dalam syukur dalam ibadah
kini jendela-jendela itu berdebu
tangan berhias golok, senjata di mana-mana
dan kita — juga gerombolan remaja itu — buta
di hadapan mereka yang meluncurkan
kalimat lurus berbaris bagai serdadu
di sekitar deret penjual koran, kota kehilangan akar
lidah, laut dan perahu. Dan di sudut muram
kopi berbau amis. Koran-koran menggambar
peta robek, wirid cabul
dan cinta tergeletak di lantai bursa