Puisi: Sajak tentang Kakek (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Sajak tentang Kakek" mengajak kita untuk merenung dan menyadari pentingnya mengetahui dan menghargai sejarah sebagai bagian dari jati diri ...
Sajak tentang Kakek

untuk kesekian kali kakek bercerita
tentang masa-masa pahit dan lara
kisah pilu penuh duka derita
ketika terjajah menjadi romusha

namun bibir keriput itu tersenyum
meski matanya berkaca-kaca
ingat saat terikat tali sang penguasa
kompeni yang bengis tanpa ampun

untuk kesekian kali kakek mengeluh
ketika anak-cucu abai akan sejarah
ketika pahlawan hanya tinggal nama
sia-sia tertulis di batu nisan mereka

tiba-tiba kakek menitikkan air mata
ia ingat soekarno dan hatta
ingat saat proklamasi merdeka
haruskah semua itu kini sia-sia?

2021

Analisis Puisi:

Puisi "Sajak tentang Kakek" karya Gunoto Saparie merangkum perasaan seorang kakek yang menggambarkan kedukaan dan kekecewaannya terhadap ketidakpedulian anak-cucunya terhadap sejarah dan perjuangan bangsa.

Nostalgia dan Pemberontakan Sejarah: Kakek sebagai narator puisi mengekspresikan rasa kesedihannya terhadap ketidakpedulian generasi muda akan sejarah. Dia merasa perjuangan dan penderitaan pada masa lalu diabaikan oleh generasi penerusnya. Kakek terus mengingatkan akan sejarah yang pahit dan melibatkan perjuangan melawan penjajah, seperti masa Romusha, ketika kesejahteraan dan harga diri rakyat diinjak-injak.

Pelajaran dari Sejarah dan Keterpencilan: Puisi menyoroti pemahaman kakek akan pentingnya sejarah. Ia mengekspresikan kekecewaannya terhadap anak-cucunya yang tidak menghargai dan mengingat pahlawan-pahlawan masa lalu. Sejarah perjuangan kemerdekaan dan para pahlawan, seperti Soekarno dan Hatta, menjadi berharga dan bermakna, tetapi sayangnya dilupakan oleh generasi penerusnya.

Sisi Emosional Kakek: Puisi menggambarkan perubahan emosional kakek, dari kesedihan hingga kekesalannya terhadap ketidakpedulian generasi muda. Keterisolasian kakek dengan masa lalu yang penuh penderitaan, bersama dengan ketidaksukaannya terhadap ketidaktahuan dan ketidakpedulian anak-cucunya, menjadi tema utama puisi ini.

Tantangan Kakek terhadap Ketiadaan Harga Diri dan Kebanggaan: Puisi menekankan betapa pentingnya memahami dan menghormati sejarah bangsa sebagai bagian dari identitas dan harga diri. Kakek menantang generasi penerusnya untuk mempelajari, menghormati, dan mengapresiasi sejarah bangsa, terutama perjuangan keras para pahlawan yang telah menegakkan kemerdekaan.

Puisi ini mengajak kita untuk merenung dan menyadari pentingnya mengetahui dan menghargai sejarah sebagai bagian dari jati diri suatu bangsa, dan betapa berharganya masa lalu yang menjadi fondasi kemerdekaan.

Puisi: Sajak tentang Kakek
Puisi: Sajak tentang Kakek
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.