Puisi: Lagu Orang Keracunan (Karya Linus Suryadi AG)

Puisi "Lagu Orang Keracunan" karya Linus Suryadi AG tidak hanya menggambarkan kondisi emosional individu tetapi juga menawarkan refleksi tentang ...
Lagu Orang Keracunan

"Bapa, Bapa, mengapa engkau
meninggalkan aku?"

Konon Yesus berseru begitu, kala
menyandung sungkawa di Taman Zaitun
dulu: gelisah dan takut bersatu-padu.
Oh, hatinya pun tergagap, Ibu?

"Bapa, Bapa, mengapa engkau
meninggalkan aku?"

Sedang engkau sibuk urusan-urusan suntuk
tenggelam memburu dan diburu bayang-bayang
waktu: ia anggur sebab ia pun sembilu.
Eh, kapan mencapai hulu?

"Bapa, Bapa, mengapa engkau
meninggalkan aku?"

Namun itu dulu — waktu yang karib
menjelma nasib, aku telah begitu karib
bercumbu: kami tertawa kami pun tersedu
Ah, mengapa menjadi pecandu?

"Bapa, Bapa, mengapa engkau
meninggalkan aku?"

Sumber: Horison (Desember, 1976)

Analisis Puisi:

Puisi "Lagu Orang Keracunan" karya Linus Suryadi AG menampilkan perenungan mendalam mengenai rasa kehilangan, kesepian, dan pencarian jati diri melalui lirik yang penuh dengan referensi religius dan metafora. Dalam puisi ini, Suryadi menggunakan perasaan terasing dan kebingungan untuk menggambarkan dilema emosional dan eksistensial yang dialami oleh individu.

Struktur dan Tema

Puisi ini dibuka dengan seruan yang penuh penderitaan, "Bapa, Bapa, mengapa engkau meninggalkan aku?" yang secara langsung merujuk pada ungkapan Yesus Kristus di Taman Zaitun sebelum penyaliban, seperti yang dicatat dalam Injil. Penggunaan kutipan religius ini menempatkan puisi dalam konteks penderitaan spiritual dan eksistensial yang universal, menggambarkan perasaan keterasingan dan kesedihan yang mendalam.

Keterasingan dan Kesepian

Suryadi memulai puisinya dengan menanyakan kepada figur paternal—"Bapa"—yang telah meninggalkan dirinya. Ini mencerminkan rasa kehilangan dan ketiadaan figur ayah yang krusial dalam kehidupan penyair. Kutipan Yesus menggarisbawahi betapa mendalamnya rasa terputus dari sumber kekuatan atau petunjuk moral.

Dalam konteks puisi ini, "Bapa" bisa diartikan bukan hanya sebagai sosok ayah secara literal, tetapi juga sebagai metafora untuk kekuatan yang lebih besar atau entitas yang diharapkan memberikan dukungan dan arah dalam kehidupan. Ketiadaan ini menyebabkan keraguan dan penderitaan yang mendalam, menciptakan suasana yang gelisah dan penuh kekacauan.

Ketidakpastian dan Keraguan

Puisi berlanjut dengan penggambaran yang menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang ambigu dan sulit dijangkau—"tenggelam memburu dan diburu bayang-bayang waktu". Kalimat ini menciptakan gambaran tentang bagaimana waktu bisa menjadi musuh yang tak terjangkau dan penuh dengan kesulitan. Metafora "ia anggur sebab ia pun sembilu" menunjukkan bahwa waktu bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan namun juga menyakitkan.

Ini mencerminkan ketidakmampuan untuk mengatasi dan memahami perjalanan waktu dan bagaimana kita berusaha untuk mencapai sesuatu yang mungkin tidak pernah kita capai. Ketidakmampuan untuk mencapai "hulu" adalah simbol dari pencarian yang tampaknya tanpa akhir, menambah rasa frustrasi dan kebingungan.

Kesadaran dan Kebiasaan

Suryadi kemudian menggambarkan perubahan dalam sikap dan keadaan—"Namun itu dulu — waktu yang karib menjelma nasib". Kalimat ini menunjukkan transisi dari masa lalu ke keadaan saat ini, di mana masa lalu yang akrab kini menjadi bagian dari nasib yang tak terhindarkan.

Rasa cemas yang digambarkan dalam puisi ini berkembang menjadi kebiasaan, dengan "kami tertawa kami pun tersedu" yang menunjukkan bagaimana seseorang beradaptasi dengan situasi yang penuh kontradiksi, dimana kebahagiaan dan kesedihan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Pertanyaan yang terus-menerus tentang mengapa menjadi "pecandu" menekankan keputusasaan dan kebingungan yang dirasakan penyair tentang keadaan dirinya yang sekarang.

Simbolisme dan Makna

Puisi ini penuh dengan simbolisme yang menggambarkan pergulatan emosional dan spiritual yang mendalam. "Bapa" menjadi simbol untuk entitas yang hilang atau dukungan yang diinginkan namun tidak tersedia. "Tenggelam" dan "diburu bayang-bayang" menunjukkan ketidakpastian dan kekacauan batin yang dirasakan dalam pencarian makna.

Penggunaan frasa-frasa seperti "mengapa menjadi pecandu?" menekankan perasaan yang tidak puas dan kerinduan untuk memahami atau memperbaiki keadaan. Ini bisa juga mencerminkan kecenderungan manusia untuk mencari penghiburan dalam kebiasaan atau bentuk pelarian ketika menghadapi rasa sakit atau kehilangan.

Puisi "Lagu Orang Keracunan" karya Linus Suryadi AG adalah puisi yang kuat dan emosional, menggambarkan perasaan keterasingan, kesedihan, dan pencarian makna melalui simbolisme religius dan metafora yang mendalam. Dengan menggabungkan elemen religius dan eksistensial, Suryadi mengundang pembaca untuk merenungkan perasaan kehilangan dan ketiadaan dalam konteks pribadi dan universal. Puisi ini tidak hanya menggambarkan kondisi emosional individu tetapi juga menawarkan refleksi tentang pengalaman manusia yang lebih luas, membuat pembaca mempertanyakan hubungan mereka dengan diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.

Linus Suryadi AG
Puisi: Lagu Orang Keracunan
Karya: Linus Suryadi AG

Biodata Linus Suryadi AG:
  • Linus Suryadi AG lahir pada tanggal 3 Maret 1951 di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta.
  • Linus Suryadi AG meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1999 (pada usia 48 tahun) di Yogyakarta.
  • AG (Agustinus) adalah nama baptis Linus Suryadi sebagai pemeluk agama Katolik.
© Sepenuhnya. All rights reserved.