Puisi: Keris (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Keris" karya Gunoto Saparie menciptakan narasi sederhana tetapi mendalam tentang makna keris sebagai simbol dan kehampaan dalam suatu ...
Keris

kusimpan di lemari keris itu
bertahun-tahun, mungkin sia-sia
mungkin berkarat tak berguna
kau bukan siapa pun, bukan milikku

2020

Analisis Puisi:
Puisi "Keris" karya Gunoto Saparie menciptakan narasi sederhana tetapi mendalam tentang makna keris sebagai simbol dan kehampaan dalam suatu hubungan atau eksistensi.

Keris sebagai Simbol: Puisi dibuka dengan pernyataan tentang menyimpan keris di lemari, menciptakan gambaran bahwa keris bukan hanya objek fisik, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang mendalam. Keris sering kali dianggap sebagai lambang keberanian, kekuatan, dan kehormatan dalam budaya Jawa.

Kehampaan dan Keris: Penyair menyiratkan pertanyaan tentang arti dan tujuan menyimpan keris tersebut. Apakah penjagaan bertahun-tahun itu berujung sia-sia? Pertanyaan ini menciptakan perasaan kehampaan atau ketidakpastian terhadap nilai dan manfaat yang sebenarnya.

Karakteristik Objek Mati: Keris digambarkan sebagai objek mati yang mungkin telah berkarat dan tak berguna. Dalam konteks puisi ini, keris menjadi representasi objek mati yang dijadikan simbol kehidupan atau hubungan yang mungkin telah meredup.

Identitas dan Milik: Puisi menciptakan atmosfer pengenalan diri dan identitas. Pemilik keris merenungkan kepemilikan dan hubungannya dengan objek tersebut, mengeksplorasi pertanyaan eksistensial mengenai milik dan identitas.

Makna yang Berpotensi Hilang: Meskipun keris memiliki makna dalam budaya dan sejarah, penyair mengeksplorasi ketidakpastian terkait makna objek tersebut dalam konteks yang lebih pribadi. Apakah makna dan nilai yang melekat pada keris tersebut telah pudar?

Pemberian Kepentingan pada Objek: Penyair memberikan perhatian dan perasaan kepada keris sebagai suatu entitas yang dapat menyimpan makna dan emosi. Hal ini menciptakan gambaran tentang bagaimana objek mati dapat menjadi bahan refleksi dan introspeksi.

Kesan Kesia-siaan: Penutup puisi mengandung kesan kesia-siaan, mempertanyakan apakah usaha penyimpanan dan penjagaan keris selama bertahun-tahun sepadan dengan hasil yang diperoleh. Ini mengajukan pertanyaan tentang nilai yang diberikan kepada objek dan apakah pemberian nilai itu dapat diukur atau beralih seiring waktu.

Melalui "Keris," Gunoto Saparie memberikan pemikiran mendalam tentang makna objek dalam kehidupan manusia, mengeksplorasi konsep milik, identitas, dan kehampaan dengan memanfaatkan keris sebagai simbol.

Puisi: Keris
Puisi: Keris
Karya: Gunoto Saparie


BIODATA GUNOTO SAPARIE

Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).  Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.  Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif  (Jakarta).

Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah. 

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.