Kepada Chairil Anwar Mendiang
Di atas pusingan api yang berbusa
kau terjatuh ke dunia ini,
seperti kucing ke atas kakinya yang empat.
Dayu guruh yang meloporimu
lari ke balik langit
melihat seringaimu terlihat kuning di gelas whisky
dan di darah bibir perempuan
yang kau gigih pecah dalam nafsu jalangmu.
Seperti tank di medan perang
kau mengamuk, dimabuk hidup
yang kaurangkum dari kaki langit ke kaki langit.
Di atas tanah lekang, di antara belukar yang liar
kau berlari, berhenti, menepuk dada sambil memekik-mekik,
hingga pecah anak telinga manusia-pencangkul-ladang
dan pecah dadamu sendiri.
Di antara dua pekikan,
kalau laut merata kembali,
– hanya di sana sini kerut merut –
mengandung senyum matahari pagi yang tertahan –
lambat-lambat engkau bercerita tentang cinta gadis pegunungan,
lalu berkidung di bawah bayangan pohon yang seabad bermenung.
dan aku yang mendengarkan
bertanya di hati: hendak kemana dia,
dan hendak kemana aku.
Kini engkau tersungkur
berseluk mukamu ke dalam duri;
engkau binatang yang diburu,
menganggap diri pemburu
lengkap dengan lembing, bedil asap dan anjing-anjingnya.
Celakamu, garudamu telah patah sayapnya
hingga tak bisa engkau dibawanya ke langit biru.
Raung penghabisanmu melenyap
setelah bergema bermacam-macam di antara granit ini.
Engkaupun jadi granit
tak kan hancur oleh banjir atau peluru.
Sumber: Mimbar Indonesia (21 Januari 1950)
Analisis Puisi:
Puisi "Kepada Chairil Anwar Mendiang" karya Mh. Rustandi Kartakusuma adalah penghormatan dan refleksi yang mendalam terhadap kehidupan dan karya sastra Chairil Anwar, salah satu penyair terkemuka Indonesia.
Imaji yang Kuat: Penyair menggunakan bahasa yang penuh dengan gambaran visual dan sensorial untuk menggambarkan perjalanan hidup Chairil Anwar. Metafora seperti "pusingan api yang berbusa" dan "kucing ke atas kakinya yang empat" membentuk citra yang kuat tentang kejatuhan dan eksistensi.
Penyajian Emosi yang Intens: Puisi ini penuh dengan pengungkapan emosi yang kuat, seperti kemarahan, kegilaan, dan ketidakpuasan. Chairil Anwar digambarkan seperti "tank di medan perang" yang mengamuk dan "mabuk hidup." Hal ini menunjukkan intensitas perasaan yang mendalam dalam hidup dan karya penyair tersebut.
Kritik Terhadap Gaya Hidup dan Nafsu: Penyair tidak ragu-ragu untuk mengeksplorasi sisi gelap dan penuh nafsu dalam kehidupan Chairil Anwar. Penggambaran seringai kuning di gelas whisky dan nafsu jalang menunjukkan kritik terhadap gaya hidup yang mungkin telah memberi kontribusi pada kepatahan dan keguguran Chairil Anwar.
Simbolisme Alam dan Mitos: Penggunaan simbolisme alam, seperti "lambat-lambat engkau bercerita tentang cinta gadis pegunungan" dan bayangan pohon yang bermenung, memberikan dimensi mitis pada puisi ini. Chairil Anwar digambarkan sebagai sosok yang memiliki hubungan erat dengan alam dan mitos.
Tanya Puisi yang Menyentuh: Puisi ini diakhiri dengan pertanyaan yang menyentuh. Penyair bertanya tentang tujuan hidup Chairil Anwar dan tujuan dirinya sendiri. Pertanyaan ini mewakili pencerahan dan ketidakpastian dalam menghadapi hidup dan nasib setelah kematian.
Kekuatan dan Kekalitas: Penggambaran terakhir tentang Chairil Anwar yang berubah menjadi granit menyiratkan kekuatan dan kekekalan karya sastra. Meskipun fisiknya mungkin telah musnah, karyanya akan tetap abadi dan tak terhancurkan oleh waktu.
Secara keseluruhan, puisi "Kepada Chairil Anwar Mendiang" menciptakan suatu perjalanan emosional dan reflektif tentang kehidupan dan karya seorang penyair yang kontroversial dan berbakat, Chairil Anwar.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.