Dinding-Dinding Kota Yogya (1)
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, ikut berduka
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
kerna dindingku, kerna dindingmu
dari mana kita, dunia bersatu
aku bukan aku, kau bukan kau
kau dan aku mendinding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita, tak pernah tahu
Dinding-Dinding Kota Yogya (2)
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, berlalu jua
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi seteru
kerna dindingku, kerna dindingmu
dari mana kita, dunia beradu
aku bukan aku, kau bukan kau
kau dan aku mendinding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita, tak saling tahu
Dinding-Dinding Kota Yogya (3)
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, hilang jua
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi tugu
kerna dindingku, kerna dindingmu
dari mana kita, dunia beku
aku tanya aku, kau tanya kau
kau dan aku mendinding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita, tak bakal tahu
Yogya, Juli 1974
Sumber: Horison (November, 1974)
Analisis Puisi:
Puisi "Dinding-Dinding Kota Yogya" karya Linus Suryadi AG merupakan sebuah karya yang mengeksplorasi tema hubungan manusia, keterasingan, dan dinding sebagai simbol pemisah serta penyatu. Melalui tiga bagian puisi ini, Linus menyampaikan refleksi mendalam tentang bagaimana dinding—baik secara fisik maupun metaforis—mengubah cara kita memahami diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
Bagian (1): Keterhubungan dan Keterasingan
"bukan sanak bukan sahaya bila mati aku, ikut berduka"
Bagian pertama dari puisi ini membuka dengan pernyataan bahwa hubungan antara individu bukanlah hubungan darah atau ikatan sosial yang formal. Meskipun begitu, ada rasa solidaritas dan kedekatan yang mendalam, seolah-olah kematian salah satu individu turut dirasakan oleh yang lainnya.
"kau menuding aku, aku menuding kau kau dan aku menjadi satu kerna dindingku, kerna dindingmu dari mana kita, dunia bersatu"
Di sini, Linus menggambarkan dinamika interaksi antara dua individu yang saling menyalahkan satu sama lain, namun secara paradoksal, hubungan mereka menjadi satu. Dinding—baik dinding fisik maupun simbolis—menjadi penghubung antara mereka, menggambarkan bagaimana pemisahan dapat menciptakan persatuan dalam konteks yang lebih besar.
"aku bukan aku, kau bukan kau kau dan aku mendinding batu kerna batuku, kerna batumu dari mana kita, tak pernah tahu"
Linus mengungkapkan perasaan keterasingan dan kehilangan identitas di balik dinding. Ketika individu terpisah oleh dinding, mereka kehilangan pemahaman yang jelas tentang diri mereka sendiri dan satu sama lain, menciptakan rasa kebingungan tentang asal-usul dan identitas.
Bagian (2): Konflik dan Ketidaktahuan
"bukan sanak bukan sahaya bila mati aku, berlalu jua"
Pada bagian ini, Linus mengulangi pernyataan tentang hubungan yang tidak terikat oleh kekeluargaan atau keakraban formal. Namun, kematian masih meninggalkan dampak, meskipun tidak ada ikatan langsung.
"kau menuding aku, aku menuding kau kau dan aku menjadi seteru kerna dindingku, kerna dindingmu dari mana kita, dunia beradu"
Bagian ini menggambarkan konflik antara dua individu yang menjadi musuh karena adanya dinding pemisah. Dinding yang sama yang awalnya menyatukan mereka sekarang menjadi sumber perpecahan. Dunia menjadi arena perdebatan dan pertentangan.
"aku bukan aku, kau bukan kau kau dan aku mendinding batu kerna batuku, kerna batumu dari mana kita, tak saling tahu"
Dalam konflik ini, perasaan keterasingan dan kebingungan tentang identitas semakin mendalam. Mereka tetap terpisah oleh dinding yang sama, yang mencegah mereka untuk benar-benar memahami satu sama lain atau diri mereka sendiri.
Bagian (3): Keterasingan dan Keterbatasan
"bukan sanak bukan sahaya bila mati aku, hilang jua"
Bagian terakhir ini menegaskan kembali bahwa hubungan antara individu tidak terikat oleh ikatan kekeluargaan atau kedekatan formal. Setelah kematian, hubungan ini menghilang, menyisakan hanya dinding sebagai saksi.
"kau menuding aku, aku menuding kau kau dan aku menjadi tugu kerna dindingku, kerna dindingmu dari mana kita, dunia beku"
Di sini, dinding-dinding menjadi simbol dari ketegangan dan ketidaktahuan yang membeku dalam waktu. Individu menjadi monument atau "tugu" dari perpecahan yang telah terjadi, dan dunia di sekitar mereka menjadi beku dalam ketidakpastian.
"aku tanya aku, kau tanya kau kau dan aku mendinding batu kerna batuku, kerna batumu dari mana kita, tak bakal tahu"
Baris terakhir menggambarkan refleksi mendalam tentang keterasingan. Individu terus-menerus bertanya pada diri mereka sendiri dan satu sama lain tanpa pernah benar-benar menemukan jawaban atau pemahaman. Dinding tetap menjadi penghalang yang tak dapat diatasi, mencegah mereka dari mencapai pemahaman sejati tentang satu sama lain atau diri mereka sendiri.
Puisi "Dinding-Dinding Kota Yogya" karya Linus Suryadi AG mengeksplorasi tema keterhubungan dan keterasingan melalui simbol dinding. Melalui tiga bagian puisi, Linus menyampaikan bagaimana dinding—baik sebagai objek fisik maupun metaforis—mempengaruhi hubungan antar individu, menciptakan rasa keterasingan dan ketidaktahuan tentang identitas dan hubungan. Dinding menjadi simbol dari pemisahan dan persatuan yang paradoks, serta ketidakpastian yang terus menerus dalam hubungan manusia. Dengan bahasa yang kuat dan simbolis, puisi ini menawarkan refleksi mendalam tentang bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan orang lain dalam konteks pemisahan dan keterhubungan.
Biodata Linus Suryadi AG:
- Linus Suryadi AG lahir pada tanggal 3 Maret 1951 di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta.
- Linus Suryadi AG meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1999 (pada usia 48 tahun) di Yogyakarta.
- AG (Agustinus) adalah nama baptis Linus Suryadi sebagai pemeluk agama Katolik.