Antara Bumi dan Langit
Kita adalah dua manusia
dari dua pandangan-hidup
dipanaskan matahari satu zaman.
Engkau dan aku mencoba
menjauhi permainan hitam-putih
kita cari lapang luas
di mana kata merdeka
berhenti menjadi semboyan hampa.
Kita sama-sama cinta merdeka
tetapi isi kata kita cari masing-masing
dan detik aku temui warna
yang tak luntur diuji waktu
gila kita terus-menerus jadi pencari?
Engkau mabok gairah langkah mencari
niadakan segala nilai hasil kerja
aku minta kau ambil posisi
ini senjata tidak serampangan
dia keringat dan otak sejarah umat.
Engkau dan aku cinta merdeka
tapi lapang luang punya batas
kalau kau berlagak dewa
ku proklamir Manusia darah-daging
zaman ini pelaksana kata Merdeka.
Kita berdua sama-sama tidak bebas
kau terikat pada dirimu
aku pada manusia dan zaman kini.
Sumber: Majalah Pujangga Baru (Februari, 1952)
Analisis Puisi:
Puisi "Antara Bumi dan Langit" karya Adi Sidharta merupakan sebuah karya sastra yang menggambarkan perjalanan manusia dalam mencari makna kebebasan dan merdeka. Puisi ini mengeksplorasi perbedaan pandangan hidup, pencarian makna merdeka yang unik, dan batasan-batasan yang ada di antara bumi dan langit.
Kontras Dua Pandangan-Hidup: Puisi ini mengawali dengan pengakuan bahwa "kita adalah dua manusia dari dua pandangan-hidup." Penggunaan kontras ini menciptakan dimensi perbedaan dalam sudut pandang, nilai-nilai, dan pemahaman tentang kebebasan dan merdeka.
Pencarian Makna Merdeka: Puisi menyoroti upaya bersama "menjauhi permainan hitam-putih" dan mencari "lapang luas" di mana kata merdeka memiliki makna yang lebih dalam. Ada kesadaran bahwa kata merdeka tidak hanya boleh menjadi semboyan tanpa makna, tetapi harus diisi dengan substansi yang khas dan berarti bagi setiap individu.
Gairah Mencari dan Warna yang Tak Luntur: Penyair mengekspresikan tekad untuk terus mencari makna merdeka dengan gairah yang mungkin membuat seseorang "gila" karena ketidakpuasan terhadap jawaban-jawaban yang sederhana. Temuan "warna yang tak luntur diuji waktu" menciptakan metafora bahwa makna yang ditemukan tidak lekang oleh waktu dan pengalaman.
Batasan-Batasan dan Proklamasi Manusia: Meskipun terdapat kecintaan bersama terhadap merdeka, puisi menyoroti bahwa "lapang luang punya batas." Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa kebebasan yang dicari memiliki batasan-batasan tertentu. Penyair kemudian "proklamir Manusia darah-daging" sebagai bentuk afirmasi bahwa kebebasan sejati ditemukan dalam kemanusiaan yang konkret.
Perang Nilai dan Pelaksanaan Merdeka: Puisi menyoroti perang nilai antara individu dan masyarakat. Dengan menggambarkan bahwa "zaman ini pelaksana kata Merdeka," penyair menyiratkan pentingnya mengamalkan nilai-nilai merdeka dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pelaksana merdeka di tengah-tengah dinamika zaman.
Ketidakbebasan yang Relatif: Meskipun menyatakan bahwa "kita berdua sama-sama tidak bebas," puisi mengajak pembaca untuk merenung tentang sifat relatif dari ketidakbebasan. Engkau terikat pada dirimu, sementara aku terikat pada manusia dan zaman kini. Ungkapan ini memberikan pemahaman bahwa kebebasan juga dapat diartikan sebagai tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat.
Puisi "Antara Bumi dan Langit" adalah karya yang memprovokasi pemikiran tentang makna merdeka dan kebebasan. Adi Sidharta dengan penuh kepekaan menggambarkan perjalanan pencarian yang penuh gairah dan kemungkinan kesulitan dalam menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang nilai-nilai merdeka, batasan-batasan yang ada, dan bagaimana setiap individu dapat menjalani kehidupan yang merdeka dalam konteksnya masing-masing.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.