Angin pun Melintas Depan Beranda
angin pun melintas depan beranda
hai! jangan juga engkau bicara
atau berdiam atau bergumam
mengental dalam rabu malam
sambil duduk di bangku panjang
kilatkah menjalin bayang-bayang
atau rancangan atau kenangan
memudar dalam remang pandang
tidak juga musim tidak juga angin
bertiup merendah demikian dingin
tapi bayang apa di pohon beringin
menggigilkan tubuhmu ke tepi dinding
Solo, 1974
Sumber: Horison (November, 1974)
Analisis Puisi:
Puisi "Angin pun Melintas Depan Beranda" karya Linus Suryadi AG menyajikan suasana malam yang penuh refleksi dan melankolis. Dengan bahasa yang sederhana namun kaya akan makna, puisi ini mengeksplorasi tema kesepian, kenangan, dan perasaan yang muncul di hadapan keheningan malam.
Tema Kesepian dan Refleksi Malam
Puisi ini dimulai dengan "angin pun melintas depan beranda," menggambarkan suasana malam yang tenang dan dingin. Angin, sebagai elemen alam, sering kali digunakan dalam puisi untuk menandakan perubahan atau ketidakpastian. Di sini, angin yang melintas di depan beranda menciptakan suasana yang tenang namun penuh dengan refleksi. Penggunaan frasa "hai! jangan juga engkau bicara" menunjukkan keinginan untuk tetap dalam keheningan, menekankan tema kesepian dan introspeksi.
Kontras Antara Realitas dan Imajinasi
Puisi ini menggambarkan gambar yang kontras antara dunia nyata dan dunia imajinasi. Sambil duduk di bangku panjang, penulis bertanya apakah "kilatkah menjalin bayang-bayang," yang mengindikasikan pertanyaan tentang kenyataan dan ilusi. "Rancangan atau kenangan" memperlihatkan pergeseran antara memori dan pengalaman masa lalu yang mungkin mulai memudar. Kontras ini menonjolkan bagaimana pengalaman dan kenangan terkadang bisa menjadi kabur dan sulit untuk dipahami sepenuhnya.
Simbolisme dan Suasana
Simbolisme dalam puisi ini sangat kental, terutama dengan kehadiran pohon beringin. Pohon beringin, yang sering dikaitkan dengan kekuatan dan ketahanan, di sini menggambarkan sesuatu yang menakutkan atau menggigilkan tubuh. "Bayang apa di pohon beringin" mungkin merujuk pada ketidakpastian atau ketakutan yang mengganggu penulis, menambah kesan misteri dan keheningan malam.
Konflik antara Musim dan Perasaan
Ketika puisi menyebutkan "tidak juga musim tidak juga angin," ada perasaan bahwa faktor eksternal seperti musim atau angin tidak mempengaruhi suasana hati dan perasaan dalam puisi ini. Ini menunjukkan bahwa ketidaknyamanan atau kekhawatiran yang dialami adalah internal dan tidak tergantung pada kondisi luar. Perasaan dingin dan "menggigilkan tubuhmu ke tepi dinding" menambah nuansa melankolis dan kesepian yang mendalam.
Puisi "Angin pun Melintas Depan Beranda" karya leh Linus Suryadi AG menyelami kedalaman perasaan kesepian dan refleksi malam melalui penggunaan simbolisme dan suasana. Dengan menggambarkan angin malam, bayangan, dan pohon beringin, Suryadi menciptakan suasana yang penuh introspeksi dan melankolis. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang pengalaman pribadi dan kenangan yang mungkin memudar, serta bagaimana perasaan internal kita bisa terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Suryadi dengan cermat menampilkan bagaimana keheningan dan kesepian malam bisa menjadi latar belakang untuk refleksi mendalam dan pencarian makna dalam kehidupan.
Biodata Linus Suryadi AG:
- Linus Suryadi AG lahir pada tanggal 3 Maret 1951 di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta.
- Linus Suryadi AG meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1999 (pada usia 48 tahun) di Yogyakarta.
- AG (Agustinus) adalah nama baptis Linus Suryadi sebagai pemeluk agama Katolik.
