Suara dari Rumah-Rumah Miring
di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
di dalam rumah miring ini
kami mencium selokan dan sampan
bagi kami setiap hari adalah kebisingan
di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
bersama tumpukan gombal-gombal
dan piring-piring
di sini kami bersetubuh dan melahirkan
anak-anak kami
di dalam rumah miring ini
kami melihat matahari menyelinap
dari atap ke atap
meloncati selokan
seperti pencuri
radio dari segenap penjuru
tak henti-hentinya membujuk kami
merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
sandiwara obat-obatan
dan berita-berita yang meragukan
kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
tapi bersama hari-hari pengap yang
menggelinding
kami harus angkat kaki
karena kami adalah gelandangan
Solo, Oktober 1987
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Suara dari Rumah-Rumah Miring" karya Wiji Thukul menghadirkan gambaran puitis tentang kehidupan di tengah kemiskinan, kesulitan, dan ketidakadilan sosial. Puisi ini menggunakan metafora rumah-rumah miring untuk menggambarkan tempat tinggal yang penuh dengan penderitaan dan keterbatasan.
Metafora Rumah-Rumah Miring: Rumah-rumah miring dalam puisi ini menjadi metafora untuk kondisi sosial yang rendah dan terpinggirkan. Rumah-rumah ini menggambarkan tempat tinggal yang sempit, penuh dengan kebisingan, dan dikelilingi oleh kesulitan hidup. Rumah-rumah miring juga mencerminkan ketidakstabilan dan keberpihakan sistem sosial yang tidak adil.
Kemiskinan dan Keterbatasan: Puisi ini menggambarkan kehidupan dalam kemiskinan dan keterbatasan. Penggambaran cicit tikus, selokan, dan sampan menciptakan citra ketidaknyamanan dan kehidupan yang sulit. Kehidupan sehari-hari yang penuh dengan kebisingan, desakan, dan berkeringat menggambarkan realitas keras yang dihadapi oleh mereka yang tinggal di rumah-rumah miring.
Pengaruh Media dan Kekosongan Makna: Puisi ini juga mengkritik pengaruh media yang merampas perhatian dan waktu orang-orang yang tinggal di rumah-rumah miring. Radio dan berita yang meragukan tidak hanya mengganggu, tetapi juga menciptakan kekosongan makna dalam kehidupan mereka.
Impian dan Realitas: Penyebutan impian memiliki rumah untuk anak-anak menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi sulit, masih ada harapan dan impian untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, realitas yang keras dan kesulitan sehari-hari membuat mereka harus pindah dan menghadapi kenyataan sebagai gelandangan.
Puisi "Suara dari Rumah-Rumah Miring" menghadirkan gambaran yang mengharukan tentang kehidupan yang sulit dan penuh kesulitan di tengah ketidakadilan sosial. Melalui gambaran rumah-rumah miring, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang kondisi sosial dan perlunya perubahan yang lebih adil dan manusiawi.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).