Mantan Musikus Jalanan
Seorang wartawan beli rokok di tokonya, baca koran eceran, mewawancarainya di bawah Bungur berbunga ungu. "Mau dikorankan lagi? Lho, belum bosan-bosannya wartawan menulis?" katanya nyengir. "Ya, 10 anakku kini sudah jadi sarjana. Biaya studi mereka? Hasil toko klontong ini, 55 %. Sisa 45 % dari hasil kerja ngamen!"
Dia berumur 77. Jadi musikus jalanan pada umur 40 sejak 1950-an. Ia mahir memainkan semua instrumen dan pintar menyanyi. Dulu, dia tokoh orkes dan sering siaran di RRI. Dia berhenti ngamen ketika bungsunya sudah lulus dokter. "Aku menggugat pengamen masa kini!" protesnya sengit. "Cuma modal gitar, vokal jelek, bakat nihil, kok berani jadi pengamen. Walhasil, jumlah pengamen dilanda inflasi. Rumah orang sedang sibuk, 07.00-08.30, sudah dingameni. Tempo orang ngaso pada 18.00-22.00 masih diganggu pengamen. Siang, malam, melulu ngejar duwit. Ia merusak citra pengamen deh!"
Selama 1950-1977, dia profesional jadi musikus jalanan. Instrumennya beragam. Gitar. Suling. Harmonika. Biola. Ketipung. Semua jenis lagu, bisa. Semua alat musik dia mahir memainkannya. Ia hanya mengameni rumah para langganan. Jika tuan-rumahnya paceklik duwit, ia ikhlas main gratis. Mau dibayar beras, gula, palawija atau snack. Dia cinta musik, ngamen tidaklah sekadar memburu duwit. Demi hobi, dia suka main gratis.
Kini 10 anaknya jadi orang. Tokonya tetap dibuka, sekadar melayani langganan. Pecinta musiknya masih dikunjunginya gantian, tapi dia menolak bayaran. Ngamennya sekadar silaturahmi. Dia balas budi, tahu merekalah yang turut membiayai 10 anaknya studi sampai selesai.
Jakarta, 1986
Sumber: Salam Penyair (2002)
Analisis Puisi:
Puisi "Mantan Musikus Jalanan" karya Ragil Suwarna Pragolapati adalah cerita tentang seorang mantan musikus jalanan yang membagikan kisah hidupnya dan pengalamannya. Puisi ini mencerminkan tema tentang perjalanan hidup, cinta pada musik, dan nilai-nilai kehidupan yang mendalam.
Kehidupan Seorang Musisi Jalanan: Dalam puisi ini, kita diperkenalkan kepada seorang musisi jalanan yang pernah menjalani karirnya dengan penuh semangat. Dia adalah seorang multi-instrumentalis yang mahir dalam berbagai alat musik dan bisa bernyanyi dengan baik. Puisi ini merujuk pada era 1950-an hingga 1977, ketika dia aktif sebagai musisi jalanan profesional.
Pengorbanan dan Pendidikan Anak: Penyair mengungkapkan pengorbanan yang besar yang dia lakukan demi pendidikan anak-anaknya. Dia menjelaskan bahwa dari hasil usahanya sebagai pemilik toko klontong, dia dapat membiayai pendidikan sepuluh anaknya, yang semuanya telah menjadi sarjana. Ini adalah contoh nyata dari seorang ayah yang peduli dan berkomitmen terhadap masa depan anak-anaknya.
Nilai-Nilai Kehidupan yang Mendalam: Puisi ini menggarisbawahi nilai-nilai seperti cinta pada musik, kejujuran, dan penghargaan terhadap cita-cita dan hobi seseorang. Sang musisi jalanan tidak hanya mencari uang, tetapi dia juga bermain musik untuk kesenangan dan sebagai wujud silaturahmi dengan pelanggannya. Ini menunjukkan kesederhanaan dan keikhlasan hati yang jarang ditemukan dalam dunia yang semakin serba materi.
Pesan tentang Pengamen Masa Kini: Puisi ini juga menyampaikan pesan tentang pengamen masa kini. Sang musisi jalanan merasa kecewa dengan generasi pengamen yang lebih mementingkan uang daripada musik itu sendiri. Dia mencatat bahwa sekarang jumlah pengamen telah melonjak, dan beberapa di antaranya bahkan kurang memiliki bakat. Pesan ini mencerminkan kekhawatiran terhadap kehilangan nilai sejati dalam seni dan musik.
Silaturahmi dan Balas Budi: Dalam bagian terakhir puisi, sang musisi jalanan mengungkapkan bahwa meskipun ia tidak lagi menjalani profesi tersebut, ia masih membuka tokonya untuk melayani pelanggan lamanya. Dia tidak lagi menerima bayaran dan mengamen hanya sebagai bentuk silaturahmi. Sikap balas budi ini mencerminkan kebaikan hati dan penghargaan terhadap mereka yang telah mendukungnya dalam hidupnya.
Puisi ini adalah sebuah kisah hidup yang menginspirasi, menggarisbawahi nilai-nilai keluarga, musik, pengorbanan, dan hobi. Melalui narasi tentang seorang mantan musikus jalanan, pembaca diajak untuk merenungkan pentingnya mengejar kebahagiaan sejati dan membagi keberkahan dengan orang lain.
Karya: Ragil Suwarna Pragolapati
Biodata Ragil Suwarna Pragolapati:
- Ragil Suwarna Pragolapati lahir di Pati, pada tanggal 22 Januari 1948.
- Ragil Suwarna Pragolapati dinyatakan menghilang di Parangtritis, Yogyakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
- Ragil Suwarna Pragolapati menghilang saat pergi bersemadi ke Gunung Semar. Dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Semar menuju Gua Langse (beliau berjalan di belakang murid-muridnya) tiba-tiba menghilang. Awalnya murid-muridnya menganggap hal tersebut sebagai kejadian biasa karena orang sakti lumrah bisa menghilang. Namun, setelah tiga hari tiga malam tidak kunjung pulang dan dicari ke mana-mana tidak diketemukan. Tidak jelas keberadaannya sampai sekarang, apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.
- Dikutip dari Leksikon Susastra Indonesia (2000), pada masa awal Orde Baru, Ragil Suwarna Pragolapati pernah ditahan tanpa proses pengadilan karena melakukan demonstrasi.
- Ragil Suwarna Pragolapati sering terlibat dalam aksi protes. Berikut beberapa aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Protes breidel pers 1977-1978.