Puisi: Djuhainah Masih Bernyanyi (Karya HR. Bandaharo)

Puisi "Djuhainah Masih Bernyanyi" karya HR. Bandaharo menggambarkan kisah perjuangan dan penderitaan rakyat, terutama buruh-paksa, dalam menghadapi ..
Djuhainah Masih Bernyanyi

Djuhainah bernyanyi
diiringi angklung Bayuwangi

Tapi kawan-kawan, ini bukan dendang
ini rintihan manusia meregang

Cambuk mendera, lapar mendera
buruh-paksa bergelimpangan.

Sawah terlantar, keluarga terlantar
mati lapar atau mati melawan.

Dalam sekarat ini lahirnya nyanyi
mendukung rintih hati yang geram.

Siksa dan derita membawa maut
takbisa membungkam kemauan berlawan.

Siksa dan derita lebih panjang
dari jalan-raya Anyar-Bayuwangi.

Kawan-kawan, Djuhainah masih bernyanyi
masih bernyanyi.

Bayuwangi, Maret 1962

Sumber: Dari Bumi Merah (1963)

Analisis Puisi:

Puisi "Djuhainah Masih Bernyanyi" karya HR. Bandaharo menggambarkan kisah perjuangan dan penderitaan rakyat, terutama buruh-paksa, dalam menghadapi kekejaman kolonialisme. Nama Djuhainah dalam puisi ini dapat dipahami sebagai simbol perlawanan dan kekuatan perempuan yang tidak pernah menyerah, meskipun didera oleh penderitaan fisik dan mental.

Struktur dan Nada

Puisi ini menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna. Dengan struktur yang tidak terlalu panjang, HR. Bandaharo berhasil menangkap perasaan mendalam tentang kesengsaraan yang dialami oleh rakyat kecil. Penggunaan repetisi, terutama pada kata "masih bernyanyi", menciptakan efek yang kuat, menunjukkan bahwa meskipun penderitaan berkepanjangan, semangat perlawanan tetap ada.

Diksi seperti "cambuk mendera, lapar mendera" memperlihatkan betapa brutalnya situasi yang dihadapi oleh para buruh-paksa. Kombinasi kata-kata tersebut menggambarkan penderitaan yang tak hanya fisik, tetapi juga mental, di mana "lapar" dan "cambuk" menjadi simbol kekejaman yang dialami oleh rakyat tertindas.

Makna dan Simbolisme

Puisi ini berpusat pada sosok Djuhainah, yang digambarkan sebagai seseorang yang masih bernyanyi di tengah penderitaan. Nyanyian Djuhainah bukanlah nyanyian kegembiraan, melainkan "rintihan manusia meregang" yang mengekspresikan kesakitan dan ketidakadilan yang dialami. Meskipun diiringi oleh "angklung Bayuwangi", sebuah instrumen tradisional yang sering diasosiasikan dengan musik yang merdu, nyanyian Djuhainah menjadi kontras yang tragis, karena lebih menyerupai jeritan penderitaan.

Dalam bait berikutnya, HR. Bandaharo menyebut:

"Sawah terlantar, keluarga terlantar
mati lapar atau mati melawan."

Ini mengilustrasikan bagaimana kehidupan rakyat di bawah penjajahan menjadi begitu sulit hingga mereka harus memilih antara kematian akibat kelaparan atau mati dalam perlawanan. Kondisi ini menyiratkan bahwa di bawah sistem yang menindas, semua opsi berujung pada penderitaan, tetapi tetap ada harapan di tengah situasi tersebut: pilihan untuk melawan.

Puisi ini juga menyinggung proyek jalan raya Anyar-Banyuwangi, yang dibangun pada masa penjajahan Belanda, seringkali dengan tenaga buruh-paksa yang mengalami kondisi kerja sangat buruk. HR. Bandaharo menggunakan jalan tersebut sebagai simbol penderitaan yang panjang dan berkelanjutan:

"Siksa dan derita lebih panjang
dari jalan-raya Anyar-Bayuwangi."

Baris ini menyoroti bahwa kesengsaraan yang dialami oleh para buruh-paksa melebihi panjangnya jalan fisik, menandakan bahwa penderitaan itu berlangsung dalam waktu yang lama, melampaui apa yang bisa dilihat secara kasat mata.

Kekuatan Perlawanan

Meskipun menggambarkan penderitaan yang mendalam, puisi ini tidak sepenuhnya pesimis. Pada bait terakhir, Bandaharo menulis:

"Siksa dan derita membawa maut
takbisa membungkam kemauan berlawan."

Di sini tersirat bahwa meskipun siksaan fisik mungkin bisa membunuh tubuh, semangat perlawanan yang ada dalam jiwa rakyat tidak bisa dibungkam. Bahkan di ambang maut, keinginan untuk melawan masih ada, dan inilah yang menjadi inti kekuatan dalam puisi ini.

Djuhainah, sebagai simbol, adalah representasi dari semangat yang tidak pernah padam. Nyanyiannya, meski penuh penderitaan, adalah suara dari jiwa-jiwa yang berjuang melawan penindasan. Bandaharo menutup puisinya dengan pengulangan:

"Kawan-kawan, Djuhainah masih bernyanyi
masih bernyanyi."

Repetisi ini memberi kesan bahwa meskipun segala sesuatu tampak suram, semangat perlawanan tidak pernah benar-benar hilang. Djuhainah, dan orang-orang sepertinya, terus bernyanyi sebagai tanda perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan.

Puisi "Djuhainah Masih Bernyanyi" adalah karya yang kuat dalam menyuarakan penderitaan dan perlawanan rakyat kecil, terutama buruh-paksa, di masa penjajahan. Melalui sosok Djuhainah, HR. Bandaharo menunjukkan bahwa meskipun siksaan fisik dan mental sangatlah berat, semangat perlawanan tetap hidup dan terus berlanjut. Nyanyian Djuhainah menjadi simbol ketidakluluhan di hadapan penindasan dan kekejaman.

Dengan perpaduan antara citraan yang kuat dan pesan yang jelas, puisi ini mengingatkan kita bahwa meski penderitaan bisa membelenggu tubuh, jiwa yang berjuang tidak bisa dibungkam. Djuhainah, dan mereka yang berjuang bersamanya, tetap bernyanyi—melawan, meski dalam derita.

HR. Bandaharo
Puisi: Djuhainah Masih Bernyanyi
Karya: HR. Bandaharo

Biodata HR. Bandaharo:
  • HR. Bandaharo (nama lengkapnya Bandaharo Harahap) lahir di Medan pada tanggal 1 Mei 1917.
  • HR. Bandaharo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 1 April 1993.
  • HR. Bandaharo adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.