Catatan 88
saban malam
dendam dipendam
protes diam-diam
dibungkus gurauan
saban malam
menyanyi menyabarkan diri
bau tembakau dan keringat di badan
campur aduk dengan kegelisahan
saban malam
mencoba bertahan menghadapi kebosanan
menegakkan diri dengan harapan-harapan
dan senyum rawan
saban malam
rencana-rencana menumpuk jadi kuburan
Solo-Sorogenen, 1 September 1988
Sumber: Nyanyian Akar Rumput (2014)
Analisis Puisi:
Puisi "Catatan 88" karya Wiji Thukul menggambarkan perasaan perlawanan dan ketidakpuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Penindasan yang Terpendam: Puisi ini dimulai dengan kata-kata "saban malam," menciptakan nuansa rutinitas yang monoton. Namun, di balik rutinitas ini, penyair menyiratkan bahwa ada perasaan dendam dan ketidakpuasan yang terpendam. "Dendam dipendam" menggambarkan bagaimana penindasan mungkin telah menghasilkan perasaan amarah yang harus ditekan.
Protes dalam Diam: Penyair mencatat bahwa "protes diam-diam" terjadi setiap malam. Ini menggambarkan ketidakpuasan yang terus menerus namun sering kali tidak diungkapkan secara terbuka. Orang-orang mungkin merasa takut atau terkekang untuk mengungkapkan perasaan mereka.
Pengalaman Hidup yang Menekan: Penyair menggambarkan kondisi fisik yang sulit, seperti bau tembakau dan keringat di badan, yang menciptakan gambaran kehidupan yang keras. Ini mungkin mencerminkan pengalaman hidup rakyat biasa yang terjebak dalam rutinitas yang berat.
Ketegangan dan Harapan: Puisi ini mencatat "menegakkan diri dengan harapan-harapan." Ini menggambarkan ketegangan antara pengharapan untuk masa depan yang lebih baik dan ketidakpastian yang ada saat ini. Ketegangan ini mungkin menciptakan senyum yang rawan, menunjukkan perasaan yang tercampur antara harapan dan kecemasan.
Rencana yang Tergelincir: Puisi ini mengakhiri dengan mencatat bahwa "rencana-rencana menumpuk jadi kuburan." Ini mungkin merujuk pada kegagalan merencanakan perubahan atau perlawanan yang efektif, sehingga harapan-harapan tersebut akhirnya terkubur oleh rutinitas dan ketidakadilan yang ada.
Puisi "Catatan 88" oleh Wiji Thukul adalah refleksi tentang ketidakpuasan dan perasaan perlawanan yang terpendam dalam kehidupan sehari-hari. Penyair ini menggambarkan ketegangan antara harapan dan kenyataan yang keras serta ketidakmampuan untuk mengubahnya. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana rutinitas dan ketidakadilan dapat menghambat perubahan dan perlawanan.