Puisi: Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair (Karya Wiji Thukul)

Puisi "Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair" karya Wiji Thukul adalah kritik sosial yang tajam dan pemanggilan untuk menyadari realitas sekitar.
Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair

lupakanlah itu para kritikus sastra!
biarkanlah jiwamu berlibur hei penyair
segarkanlah paru-paru dengan pemandangan-pemandangan baru
pergilah ke parangtritis menikmati gubug-gubug penduduk
yang menangkap jingking
atau makam imogiri berziarah
atau pergi menyelamlah ke keributan jalan raya kotamu
barangkali masih akan kautemukan polisi lalu lintas
yang seperti maling,
berdagang kesempatan dalam pasar lakon
aku kepingin ngopi di pinggir jalan
sambil menertawakan sejarah dan kebenaran
mengisap rokok mbako lintingan
menatap zaman yang makin mirip kebun binatang!
begitu panjang riwayat bangsa
tetapi hari ini kita baru pandai memuja
masa lalu,
mengelus-ngelus borobudur mendewakan nilai ketimuran
semu
tetapi sibuk breakdance
dan membiarkan penyelewengan kekuasaan
membangun gedung-gedung melebarkan jalan raya
dan menyingkirkan kaki lima
iki jaman edan!
bukan! ini bukan zaman edan pak
jika kita masih punya malu pada diri sendiri
dan berhenti mengotori teluk jakarta dengan kotoran industri
berhenti membabati hutan-hutan kalimantan
dan kemudian kembali kita ber-sumpah pemuda:
Indonesia! satu tanah airku, satu bangsaku, satu bahasaku
pulau kita di ujung sana
dan pulau kita di ujung sana adalah kepulauan kita
bukan lumbung padi jepang, cina, atau amerika
bangsa kita di ujung sana dan di sudut situ
bukan hanya milik para nelayan yang dibelit hutang
juga bukan cuma milik kaum petani
yang gagal panennya dikhianati kemarau panjang
bukan pula milik satu-dua tauke atau juragan atau cukong!
bahasa kita adalah bahasa indonesia benar
bukan bahasa yang gampang dibolak-balik artinya oleh penguasa
BBM adalah singkatan dari Bahan Bakar Minyak
bukan Bolak Balik Mencekik
maka berbicara tentang nasib rakyat
tidak sama dengan PKI atau malah dicap anti-Pancasila
itu namanya manipulasi bahasa
kita harus berbahasa indonesia yang baik dan benar,
kata siapa kepada siapa.
biarkanlah jiwamu berlibur, hei penyair!
pergi tamasya ke mana saja lepaskan penat
tapi jangan pergi ke taman hiburan jurug
di sana malam sudah jadi tempat praktik majalah sex
pergi saja kepada Gesang,
katakan bahwa bengawan Solo semakin gawat.
biarkanlah jiwamu berlibur, hei penyair!
lupakanlah hiruk-pikuk dunia pendidikan
lupakanlah jumlah spanduk universitas swasta
yang ditawarkan tahun ajaran baru ini
lupakanlah barisan penganggur
yang berbaris lulus dari bangku SMA
ya, tinggalkanlah sementara waktu dunia lakon kita ini
baharui kembali Cinta di hati.

Mei, 1985

Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair" karya Wiji Thukul adalah kritik sosial yang tajam dan pemanggilan untuk menyadari realitas sekitar serta memperjuangkan perubahan.

Pembebasan Jiwa Penyair: Puisi ini membuka dengan seruan agar para penyair melepaskan diri dari kritikus sastra dan tugas-tugas mereka yang berat. Penyair diundang untuk beristirahat sejenak, meresapi pemandangan baru, dan menjernihkan pikiran mereka. Ini adalah panggilan untuk menyegarkan kembali jiwa dan imajinasi mereka.

Penggambaran Kehidupan Sehari-hari: Wiji Thukul menciptakan gambaran kehidupan sehari-hari yang nyata dalam puisi ini. Dia mengajak penyair untuk mengalami berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti berlibur ke Parangtritis untuk melihat penduduk menangkap jingking atau berziarah ke Makam Imogiri di Mataram. Ini adalah pengingat bahwa penyair seharusnya terhubung dengan realitas sosial.

Kritik Terhadap Masa Kini: Puisi ini mengkritik berbagai isu sosial dan politik dalam masyarakat saat itu. Wiji Thukul menyinggung pengrusakan lingkungan, perubahan ekonomi, dan ketidaksetaraan sosial yang sedang terjadi. Dia menyoroti tindakan yang merusak lingkungan dan ketidaksetiaan terhadap nilai-nilai tradisional.

Penghargaan Terhadap Bahasa Indonesia: Penyair menegaskan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia menentang manipulasi bahasa oleh penguasa dan mengingatkan pada pentingnya menjaga bahasa sebagai alat komunikasi yang jelas dan akurat.

Panggilan untuk Kesadaran dan Perubahan: Meskipun puisi ini meminta penyair untuk beristirahat, itu juga adalah panggilan untuk menggali makna dalam realitas sekitar dan bersuara dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Wiji Thukul mengingatkan bahwa tugas penyair adalah berbicara tentang nasib rakyat dan mengkritik ketidakadilan dalam masyarakat.

Puisi "Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair" adalah karya yang penuh semangat dan kritik sosial. Wiji Thukul mengajak penyair dan pembaca untuk tidak hanya berdiam diri, tetapi juga untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial dan menjaga bahasa dan nilai-nilai yang penting bagi masyarakat.

Puisi: Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair
Puisi: Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair
Karya: Wiji Thukul

Biodata Wiji Thukul:
  • Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
  • Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
  • Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
© Sepenuhnya. All rights reserved.