Tanah Jawi
Orang-orang putus asa
Habis tanah kami dijual!
Tanah subur, tanah pusaka
Kami ini amat sial,
habis kepunyaan belaka!
Habis kepunyaan bapak!
Bapak beri suar-lelahnya
pada kami anak-anaknya,
tapi hilang semuanya!
Dimakan akal busuk saudagar,
ditelah tipu-daya lintah.
Pusaka mahal kami tukar
dengan tipu berlimpah-limpah.
Tanah pusaka jatuh di tangan,
jatuh di tangan orang lain.
Sekarang tak ada yang dimakan,
bengis kelaparan bukan main!
Wahai tanah yang kucinta!
Engkau telah memuaskan kami!
Jatuh kami meminta-minta!
Kami ini, orang tani!
Badan minta nasi sesuap!
Tangan minta pekerjaan!
Allah Akbar, Allah Kuat,
tolonglah kami, kelaparan!
Pengembara ke mana-mana!
Sedekahkan orang miskin
kena rampasan tanah pusaka!
Sumber: Bunga Bakti (1935)
Analisis Puisi:
Puisi "Tanah Jawi" karya Marius Ramis Dayoh menyuarakan kepahitan dan penderitaan rakyat yang kehilangan tanah pusaka mereka.
Ekspresi Kepahitan dan Kehilangan: Puisi ini segera membangun atmosfir kepahitan dan kehilangan dengan frasa "Habis tanah kami dijual!" yang mengekspresikan rasa kecewa dan amarah terhadap hilangnya tanah pusaka. Tanah, yang dianggap subur dan pusaka, menjadi simbol kehidupan dan identitas yang dicuri dari mereka.
Suar Tani yang Hilang: Bahasa puisi mencirikan rasa kehilangan dari "Habis kepunyaan bapak!" dan "Bapak beri suar-lelahnya." Kehilangan bukan hanya fisik tetapi juga spiritual, dengan suara lelah dan warisan dari bapak yang tidak lagi dapat dinikmati.
Tipu Daya Saudagar: Puisi menyuarakan ketidakadilan dengan menggambarkan tipu daya dan akal busuk saudagar yang merampok tanah pusaka. Saudagar digambarkan sebagai sosok yang jahat dan licik yang memanfaatkan kebutuhan dan kelemahan rakyat untuk mencapai tujuan keuntungan pribadi.
Kerugian yang Tak Terhitung: Ketidakadilan ini tidak hanya dilihat sebagai kerugian materi, tetapi juga kerugian budaya dan spiritual. Pusaka mahal diubah menjadi tipu daya, dan kerugian ini menyentuh aspek-aspek yang lebih dalam dari kehidupan masyarakat.
Panggilan kepada Tanah Pusaka: Puisi mencurahkan perasaan cinta dan keterikatan terhadap tanah pusaka dengan panggilan "Wahai tanah yang kucinta!" Ini menciptakan nuansa kedekatan dan kehilangan yang mendalam, menekankan hubungan emosional antara masyarakat dan tanah mereka.
Kelaparan dan Kesengsaraan: Tanah yang hilang menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan, mengekspresikan betapa pentingnya tanah tersebut dalam menyediakan kehidupan dan mata pencaharian bagi rakyat. Kesengsaraan ini digambarkan dengan kuat melalui penggambaran "bengis kelaparan bukan main!"
Doa dan Panggilan untuk Tolong: Puisi diakhiri dengan doa dan panggilan untuk pertolongan, baik dari Tuhan maupun dari sesama manusia. Doa ini mencerminkan harapan dan keputusasaan rakyat yang merasa ditinggalkan oleh kekuasaan dan merindukan keadilan.
Puisi "Tanah Jawi" tidak hanya menciptakan gambaran visual tentang kehilangan tanah pusaka, tetapi juga menyuarakan ketidakpuasan dan keputusasaan rakyat terhadap ketidakadilan sosial. Dengan kata-kata yang sederhana namun kuat, Marius Ramis Dayoh berhasil menyampaikan pesan yang mendalam dan relevan.
Karya: Marius Ramis Dayoh
Biodata Marius Ramis Dayoh:
- Marius Ramis Dayoh lahir di Airmandidi, Minahasa, Sulawesi Utara, pada tanggal 2 November 1909.
- Marius Ramis Dayoh meninggal di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 15 Mei 1975 (pada usia 65 tahun).