Rumah Kata
— Bulan Ibau
Malam mulai menyusun lagi sebuah buku dari hati yang tak pernah tidur. Aku berjanji padamu untuk merangkai bunga malam itu. Seperti kerinduan yang meminta air matanya sendiri. Suara becak berdering, sebuah rangkaian besi di atas aspal jalan. Kita pulang bersama, aku tahu, sambil membuat malam bertambah panjang. Tapi ke mana kita mau pulang? Rumah kita hanya ada dalam cinta. Sebuah pohon jambu air tumbuh. Teh panas. Lalu suara ledakan. Api. “Apakah kamu baik, Ibau?” Kota ini memiliki sejarah yang liar, di balik panggung-panggung politik penuh pecahan kulit telur, tulang-tulang ayam, dan deretan toko berdagang es campur.
Beras, gula dan minyak goreng mulai menjadi politik. Orang membuat partai-partai baru, seperti memencet tombol tv. Menciptakan seorang presiden yang memimpin dengan menyimpan api pada setiap kata. Ia yang membakar pusat-pusat akademika untuk api politik. Lalu mengirim bangkai sebuah kota, memecah alat-alat kekuasaan untuk menyelamatkan diri. Tak melihat anak-anak mulutnya tak lagi berbau susu. Semua, semua yang menjadi tontonan pedagang modal di luar sana.
Aku genggam seluruh jemari tanganmu, seperti kerinduan yang meminta air matanya sendiri. Lalu cinta seperti pita-pita hitam yang terikat di lengan kiri, memasang kembali sayap-sayap malaikat pada punggung setiap orang. Membiarkan ketakutan pergi dari setiap hati. Dan kata mulai membuat rumah baru lagi di situ. Membiarkan cahaya matahari membuat tanaman di halaman. Pada daun jendela yang terbuka, bermain bola di ruang buku, ikut membuat langit di hatimu. Seperti suara becak yang memasuki genggaman tanganmu.