Merenungi Kesaktian Anak
Anak menangis, terisak-isak,
Menahan sakit, menyenak badan,
Ibu duduk, tidak berasak,
Beserta bapa tersedan-sedan.
Anak menggeliat menahan sakit,
Tangan dan kaki tergapai-gapai,
Ibu melihat rongkongan tersepit,
Obat digosok bermacam rampai.
Anak mengerang tiada terhenti,
Nyawa di dada rupanya sesak,
Ibu memandang, napas terhenti,
Darah di dada, tampil menyesak.
O! Anak belahan nyawa,
O! Sayang si jantung hati,
Ibu dan bapa tentu kecewa,
Jika sayangku dahulu mati.
Sembuh jiwa, sembuhlah sayang,
Pindahkah sakit dari badanmu.
Ibu melihat, arwah melayang,
Mata kabur, pandangan semu.
Wahai, anak, kekasih bunda!
Ruh di dada hilang mengirap
Ibu melihat, berdebarlah dada,
Iman di badan, bergerap menyerap.
Sumber: Pujangga Baru (Juli, 1937)
Analisis Puisi:
Puisi "Merenungi Kesaktian Anak" menggambarkan suatu momen kepedihan dan kehilangan dalam konteks seorang anak yang sakit dan akhirnya meninggal.
Ekspresi Penderitaan dan Kesedihan: Puisi dibuka dengan gambaran anak yang menangis dan menderita, memaksa pembaca untuk merasakan penderitaan dan kesedihan yang melanda. Anak yang menggeliat dan menahan sakit menciptakan gambaran yang mendalam tentang pengalaman penderitaan.
Peran Ibu dalam Mengatasi Penderitaan Anak: Peran ibu sangat terasa dalam puisi ini. Ibu berusaha meredakan penderitaan anak dengan berbagai cara, mulai dari mendudukkan anak, menggosok obat, hingga melihat rongga dada. Ini menciptakan citra seorang ibu yang berjuang keras untuk mengatasi penyakit anaknya.
Kesedihan Orang Tua atas Kehilangan Anak: Kesedihan orang tua, yang diwakili oleh ibu dan bapa, tercermin dalam puisi. Kehilangan anak menjadi momen yang penuh duka, terutama diungkapkan dalam baris "Ibu dan bapa tentu kecewa, Jika sayangku dahulu mati." Kesedihan ini menyentuh hati pembaca dan menciptakan empati terhadap orang tua yang kehilangan anak.
Simbolisme Sakit dan Kematian: Anak yang menahan sakit dan akhirnya meninggal melambangkan kejadian dramatis dan tragis. Penggunaan gambaran seperti "nyawa di dada rupanya sesak" dan "darah di dada, tampil menyesak" menekankan betapa beratnya sakit dan kematian yang dialami anak.
Perpindahan Roh dan Kesakralan Kematian: Puisi menciptakan perasaan kesakralan dalam momen kematian dengan menyebutkan "Ruh di dada hilang mengirap" dan "Iman di badan, bergerap menyerap." Ini bisa diartikan sebagai perpindahan roh yang meninggalkan tubuh dan kemungkinan adanya harapan dalam iman.
Bahasa yang Emosional dan Mengharukan: Bahasa puisi sangat emosional dan mengharukan, menciptakan nuansa kesedihan yang mendalam. Pemilihan kata-kata yang kuat, seperti "mata kabur, pandangan semu" dan "kekasih bunda" menggambarkan intensitas perasaan dan kehilangan.
Puisi "Merenungi Kesaktian Anak" karya Hamidah adalah sebuah karya yang menggambarkan penderitaan, kehilangan, dan kepedihan yang dirasakan oleh seorang ibu dan bapa atas kepergian anak tercinta. Dengan penggunaan bahasa yang kuat dan gambaran yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi makna kemanusiaan dan keberanian orang tua di tengah situasi yang sulit.
Puisi: Merenungi Kesaktian Anak
Karya: Hamidah
Biodata Hamidah:
- Hamidah (nama sebenarnya Fatimah; nama setelah menikah Fatimah Hasan Delais) lahir di Muntok, Pulau Bangka, Sumatra Selatan, pada tanggal 13 Juni 1915.
- Hamidah meninggal dunia di rumah sakit Charitas, Palembang, pada tanggal 8 Mei 1953.
- Hamidah adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.