Puisi: Menjelang Pagi (Karya Rifa'i Ali)

Puisi "Menjelang Pagi" karya Rifa’i Ali menyajikan gambaran yang mendalam dan atmosferik tentang kesunyian dan kesedihan saat menjelang pagi.
Menjelang Pagi

Sunyi sepi seram dan kelam.
Dalam suhur di ujung malam,
Nyenyak terhenyak insan bertilam,
Tiada berbalas desiram' 'alam.

Silu nesan dipuput bayu.
Tersenak keluh angin mendayu.
Tiada seorang mendengar rayu.
Hanyalah daun berdesih sayu.

Sejak senja hendak bernaung.
Ketika syamsyiar darah tertuntung.
Sampai gelap bersayap maung,
Tiada berbalas desiram 'alam.

Kian gelap 'lah hening loka,
Kian seni merandai duka,
Kian korong turut terluka,
Meratapi bahari zaman merdeka.

Sumber: Semangat Pemuda (Oktober, 1934)

Analisis Puisi:

Puisi "Menjelang Pagi" karya Rifa’i Ali menyajikan gambaran yang mendalam dan atmosferik tentang kesunyian dan kesedihan saat menjelang pagi. Dengan gaya bahasa yang khas dan penggunaan simbol yang kuat, puisi ini mengeksplorasi tema keheningan malam, kerinduan, dan dampaknya pada manusia.

Atmosfer Malam dan Keheningan

Puisi ini dimulai dengan penjelasan suasana malam yang "Sunyi sepi seram dan kelam". Penggambaran malam sebagai waktu yang sunyi dan menyeramkan menciptakan atmosfer yang mempengaruhi mood keseluruhan puisi. "Dalam suhur di ujung malam" menunjukkan waktu subuh yang mendekat, namun tetap diselimuti dengan kesunyian yang mencekam. Keheningan malam yang menggema dalam puisi ini adalah inti dari pengalaman batin yang digambarkan.

Ketidakpedulian Alam dan Kesedihan

"Tiada berbalas desiram 'alam" mencerminkan ketidakpedulian alam terhadap ratapan dan kesedihan manusia. Meskipun ada keluhan dan rayuan, alam tidak memberikan respons. "Hanyalah daun berdesih sayu" menekankan bahwa satu-satunya respons terhadap kesedihan manusia adalah suara lembut dari daun yang bergesekan, menambah kesan bahwa kesedihan itu seolah diabaikan oleh dunia luar.

Kontras Waktu dan Emosi

Puisi ini juga mencerminkan pergeseran waktu dan emosi dari senja ke pagi. "Sejak senja hendak bernaung" hingga "Sampai gelap bersayap maung", perubahan waktu ini menunjukkan bagaimana emosi manusia berkisar antara harapan dan kegelapan. Momen-momen ini tidak hanya mengungkapkan ketidakpastian dan kesedihan tetapi juga ketidakmampuan untuk menemukan penyejuk di tengah kesulitan.

Keterhubungan dengan Zaman

Di akhir puisi, "Meratapi bahari zaman merdeka" menghubungkan kesedihan pribadi dengan konteks zaman dan sejarah. Kesedihan tidak hanya merupakan pengalaman individual tetapi juga bagian dari narasi yang lebih besar tentang masa dan masyarakat. "Kian korong turut terluka" menunjukkan bahwa bukan hanya individu yang merasakan kesedihan, tetapi juga masyarakat atau bahkan bangsa.

Puisi "Menjelang Pagi" karya Rifa’i Ali menawarkan pandangan yang mendalam tentang kesunyian dan kesedihan saat menjelang pagi. Melalui penggunaan simbol dan atmosfer malam yang kelam, Ali berhasil menyampaikan pesan tentang bagaimana keheningan malam dan ketidakpedulian alam berkontribusi pada perasaan kesepian dan kerinduan manusia. Dengan menempatkan kesedihan pribadi dalam konteks waktu dan masyarakat, puisi ini tidak hanya menyentuh pengalaman individual tetapi juga resonansi yang lebih luas dengan zaman dan sejarah.

Puisi: Menjelang Pagi
Puisi: Menjelang Pagi
Karya: Rifa'i Ali

Biodata Rifa'i Ali:
  • Rifa'i Ali lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 24 April 1909.
  • Rifa'i Ali adalah salah satu Sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.