Layu
Kepada Pujangga Tua
Semalam di atas meja pertekunan,
Megahkan indah juita parasmu,
Pagi datang, pergi suraman,
Ta' kekal hidupmu dalam jambangan.
Layu daun rurunlah kembang,
Ta'kan kembali megahmu selama-lama,
Nasibmu kembang, nasibmu kesuma,
Ta'kan megah di masa datang ....
Tir hayatmu ta' kan menyuburkan kau,
Pesona indahmu telah lampau,
Terbenam dalam edaran zaman.
Jangan muram puspa jambangan,
Hidupmu kucatat dalam kenangan,
Hiasan meja pertekunan.
Sumber: Panji Islam (5 Februari 1938)
Analisis Puisi:
Puisi "Layu" karya A. Damhoeri menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan keindahan, keterbatasan, dan kerentanan. Dengan metafora kembang yang layu, penyair menciptakan gambaran tentang sementara dan kehancuran yang tak terelakkan.
Kehidupan sebagai Kembang yang Megah: Puisi ini dimulai dengan gambaran kehidupan sebagai kembang yang megah di atas meja pertekunan. Ini menciptakan nuansa keindahan dan keelokan dalam awal perjalanan hidup, di mana potensi dan kecantikan mencorong.
Perubahan Siklus Hidup dan Layu Kembang: Penyair menggambarkan perubahan siklus hidup dengan peralihan dari malam ke pagi. Pergantian waktu menjadi simbol perubahan dan keterbatasan. Kembang yang semalam megah, pada pagi harinya mengalami kelangkaan dan kehilangan kehidupan yang selama ini dimilikinya.
Keterbatasan Kehidupan dan Nasib Kembang: Kembang diibaratkan sebagai simbol kehidupan manusia yang sementara. Nasib kembang tak dapat dielakkan, dan meskipun semalam megah, pada pagi harinya kembang tersebut layu dan ta'kan kembali megah selama-lamanya. Hal ini mencerminkan sifat fana dan keterbatasan manusia.
Tirai Hayat yang Tak Menyuburkan: Penyair menyampaikan bahwa tirai hayat, atau jalur perjalanan hidup, tak dapat menyuburkan kehidupan. Pesona indah dan kejayaan yang pernah dimiliki seseorang bisa terkikis oleh waktu dan perubahan. Puisi ini menggambarkan kerentanan dan keterbatasan manusia dalam menghadapi perjalanan hidup.
Nasib Kesuma yang Tidak Megah di Masa Datang: Melalui metafora kesuma, penyair mengekspresikan bahwa nasib kembang tersebut tidak akan megah di masa datang. Ini menciptakan nuansa nostalgia dan ketidakpastian terhadap masa depan, di mana keindahan dan kejayaan bisa mengalami penurunan.
Kenangan yang Diabadikan dalam Layu: Penyair mengajak agar kembang jambangan, meskipun layu, tidak merasa muram. Hidupnya diabadikan dalam kenangan dan menjadi hiasan meja pertekunan. Hal ini menunjukkan pentingnya menghargai setiap momen dalam hidup, baik saat kehidupan sedang berbunga maupun pada saat keindahannya mulai meredup.
Simbolisme Hidup dan Kematian: Puisi ini mengandung simbolisme kuat tentang hidup dan kematian. Kembang yang layu menjadi gambaran tentang akhir dari suatu kehidupan, sementara nasib kesuma mencerminkan keterbatasan dan ketidakpastian akan masa depan.
Puisi "Layu" adalah puisi yang merenungkan tentang sifat sementara dan penuh kerentanan dalam kehidupan manusia. Dengan menggunakan metafora kembang yang layu, penyair menciptakan gambaran tentang perjalanan hidup yang diwarnai oleh perubahan dan ketidakpastian. Puisi ini memberikan pesan tentang pentingnya menghargai setiap momen dalam hidup dan menerima keterbatasan serta siklus alamiah kehidupan yang tak terelakkan.
Puisi: Layu
Karya: A. Damhoeri
Biodata A. Damhoeri:
- A. Damhoeri (atau Ahmad Damhoeri) lahir di Batu Payung, Payakumbuh, Sumatra Barat, pada tanggal 31 Agustus 1915.
- A. Damhoeri meninggal dunia di Jorong Lurah Bukik, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, pada tanggal 6 Oktober 2000 (pada usia 85 tahun).