Hiba Hatiku
Hiba-hibalah hatiku o, teman
Mendengar bunyi suling petani
Tengah langit disungkup awan
Sedang lengang kampung negeri.
Di dangau-dangau di tengah sawah
Di antara terang dengan tiada
Terbujur badan yang sedang payah
Payah rindu disiram duka.
Sesekali ditingkah keluh
Terhenti suling penambah rusuh
Teringat masa yang silam
Terkenang gurau nan lama.
Rasalah di sana badan
Di terang-terang cuaca
Kiranya terbujur badan
Tiada terasa kelamlah tiba.
Hiba-hibalah hatiku wai teman
Melihat burung terkurung
Pandang lepas ke balik awan
Terjerat badan termenung.
Kubanding diriku teman
Senasib kami berdua
Khayal menyingkap gumpalan awan
Amboi, perih pedih letihlah tiba.
Sumber: Pedoman Masyarakat (30 September 1936)
Analisis Puisi:
Puisi "Hiba Hatiku" karya Hamidah menciptakan sebuah lukisan indah yang memperlihatkan perasaan kesepian dan kerinduan yang mendalam.
Suara Petani dan Kesendirian: Puisi dimulai dengan gambaran bunyi suling petani yang memecah kesendirian langit yang disungkup awan. Suara suling ini menciptakan nuansa kedamaian dan kesunyian, yang pada saat yang sama, merangkul kesedihan hati penyair.
Gambaran Alam Desa yang Sejuk: Deskripsi tentang dangau-dangau dan sawah menciptakan gambaran alam desa yang tenang. Terang-terang cuaca dan lengangnya kampung menciptakan suasana damai yang menyelubungi kesepian penyair.
Rindu dan Duka dalam Penderitaan: Puisi menciptakan citra seorang petani yang tengah bekerja dengan badan yang terbujur payah, melambangkan perjuangan hidup dan rindu yang disiram oleh duka. Keluhan terhenti suling menunjukkan momen introspeksi di tengah kerja keras.
Kenangan dan Gurau yang Lama: Penyair merenungkan masa lalu dan kenangan gurau yang lama, menciptakan lapisan emosional yang lebih dalam. Kata-kata ini membangkitkan nostalgia dan menunjukkan bahwa kenangan itu memiliki kekuatan yang abadi.
Perasaan Bersama dengan Alam: Melalui gambaran badan yang terbujur di terang-terang cuaca, puisi menciptakan rasa kebersamaan penyair dengan alam sekitarnya. Pengalaman ini menambah dimensi emosional dalam puisi.
Hiba dalam Terkekangnya Burung: Gambarkan burung terkurung menciptakan simbol kesedihan dan keterbatasan. Pandangan lepas ke balik awan menunjukkan keinginan untuk melepaskan diri dari keterbatasan dan memandang hidup dari perspektif yang lebih luas.
Bahasa yang Merekam Sentuhan Emosi: Pemilihan kata-kata seperti "hibalah hatiku," "payah rindu disiram duka," dan "perih pedih letihlah tiba" menciptakan atmosfer yang kaya akan sentuhan emosional. Pemakaian bahasa yang mendalam dan indah meningkatkan daya ungkap puisi.
Puisi "Hiba Hatiku" karya Hamidah adalah sebuah karya yang menciptakan suasana sejuk desa yang terbawa oleh melodi suling petani. Dalam kesendirian dan kerinduannya, penyair mengekspresikan perasaan hati yang hiba dan menghadirkan gambaran yang penuh emosi tentang alam dan kehidupan. Puisi ini menuntun pembaca untuk merenungi perasaan kehidupan sederhana dan perasaan yang melibatkan hati manusia.
Puisi: Hiba Hatiku
Karya: Hamidah
Biodata Hamidah:
- Hamidah (nama sebenarnya Fatimah; nama setelah menikah Fatimah Hasan Delais) lahir di Muntok, Pulau Bangka, Sumatra Selatan, pada tanggal 13 Juni 1915.
- Hamidah meninggal dunia di rumah sakit Charitas, Palembang, pada tanggal 8 Mei 1953.
- Hamidah adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru.