Yang Ditulis
Sendirian, dan bahkan tanpa dukungan empat kekasih
yang berkoalisi,
kunyatakan rasa tak sukaku.
Betapa engkau bukan lagi kawanan kata yang diburu,
dirundung takut,
dan senantiasa sibuk mengibaslepaskan rasa takut.
Menjadi ucapan sehari-hari,
hingga orang malu hidup sekedarnya,
merasa tak lengkap jika belum menghargai orang lain
atau apapun yang terlintas.
Ingin pergi dan tetap seperti itu?
Begitu mungkin lebih baik.
Pergilah sebelum engkau dikira pikiran tanpa dasar dan berantakan.
Harapan berlebihan orang sadar kenyataan.
Lebih menjijikkan dari rona kesedihan yang dipertontonkan
seorang menteri yang keliru langkah.
Mungkin sehari lagi, sejam lagi, empatbelas menit lagi,
duapuluhtujuh detik lagi,
setengah detik lagi, saat ini bahkan,
engkau hanya lolong kosong di beberapa detik termalam.
Silakan pergi. Tapi baru beberapa langkah
engkau akan merindukan,
betapa di sini, kapan pun bisa saling memberi
sekalian menolak yang disuka.
Merahasiakan biung bunyi atau mencerahkan dengan
sejentik api.
Memuja pekan kosong atau menentukan keberuntungan
dengan suara tekek.
Abaikan tetes pedih pagi hari atau kesetiaan musim hujan.
Pergilah! Sebelum mlethek fajar,
seekor gajah menggosok-gosokkan tubuh
ke batang rambutan depan rumah.
Maka bangunlah. Duduk sebentar di pinggir ranjang.
Engkau akan didukung hingga sebelum subuh
telah menyalakan api di sebuah pantai.
Menggelar tikar di bidang datar sebongkah karang.
Usai sarapan, seekor hiu yang pernah, darahnya
duabelas tahun lebih mendenyutkan nadi para rompak
hingga sejarah tak kuasa nolak, akan mengantarmu
ke seberang,
di mana seekor celeng ngiring telah menunggu sambil menyusui.
Selebihnya, telanjang kaki, engkau akan mengikuti jejak
nrobos hamparan alang-alang,
menghindari lubang jebakan dan jerat yang dipasang
peladang liar.
Sesekali berjalan di atas pecahan batu kapur runcing.
Menuruni jurang hingga dasar.
Hingga yang kautemukan dan makan – cacing tanah,
sisa buah mulai membusuk, sekerumun belatung pada
bangkai hewan –
membuatmu merasa diterima tanpa harus seperti mereka:
Melata lalu melilitkan tubuh ke pohon seperti sanca luwuk
yang kelak dikuliti.
Berjalan dengan empat kaki seperti barongan ebeg,
atau dua kaki seperti pencuri kayu yang sangat percaya
diri.
Mengendus
sambil mengibas-ngibaskan ekor seperti anjing polisi hutan.
Mengaum seperti macan loreng yang telah diawetkan
dalam keadaan menyeringai.
Melolong.
Memekik.
Mengepakkembangkan sayap seperti bangau tong tong sombong
yang lama meninggalkan dongeng. Menukik. Mematuk.
Mencengkeram seperti elang yang bahagia
mendapat seekor tikus wirog.
Hinggap seperti gemalo yang sayapnya digetarkan
gempa.
Meloncat turun seperti beruk yang terlambat
melindungi betinanya.
Menyelam menghindari terkaman seperti kodok.
Mengubah warna kulit.
Menyelinap seperti gemek.
Menyengat seperti tawon gung terakhir.
Menghisap seperti lintah.
Ya, tanpa harus seperti mereka, engkau bisa lebih tajam.
Bisa masuk lebih dalam!
Menyibak belukar. Memenggal akar menghalang langkah.
Menguak pori-pori kulit pohon.
Jika getah bening menjadi beku karena kehadiranmu,
maka yang merasa kuat akan menetes, menetapkanmu
sebagai ancaman.
Dan jika pendendam tahu, bahwa yang kaubawa
sesuatu yang tak terhindarkan, sungguh engkau beruntung.
Engkau akan diterima dengan sedikit bijak.
Didaulat jadi yang terjaga
sampai tak bisa melakukan apapun yang engkau suka.
Sekali lagi, pergilah. Jika sekedar ingin berpanjanglebar
Jangan coba-coba kembali.
Sebab yang engkau ceritakan dengan bangga
mungkin hanya untuk seuntai belas kasih atau setepuk kagum.
Harga murah untuk sesuatu yang ditulis!